Author: admin

  • Yang Terkasih, An

    Dalam tiap puisi yang lahir kembali pada kertas kosong milikku.

    Dalil-dalilnya yang penuh bualan dan kecintaan semata.

    Yang kerap kali membuatku terjaga semalaman.

    Hanya untuk merapalkan kerinduan pada kekasihku.

    Puisi-puisiku, lahir karenanya.

    Dia yang kini tak lagi ku saksikan tawanya.

    Dia yang ku kasihi, ku sayangi, dan ku puja setahun ini.

    Mungkin juga—yang akan ku saksikan pernikahannya

    di Gereja suatu hari nanti.

    Akankah aku duduk tersenyum, turut berbahagia.

    Pada bangku terujung di Gereja.

    Saat kau pada akhirnya mampu menentukan pilihanmu?

    Semoga. Seperti doa-doa kita sebelumnya, sembuhku untukku,

    Untukmu. Untuk kita.

    Rekahlah An, berbahagialah untukku, untukmu juga.

    Karya Intan Adelia Putri

  • Di Kehidupan yang Lain, Semoga itu Milik Kita

    Aku ingin tidur di belakang punggungmu yang berisik.

    Membacakanmu puisi-puisi yang bermekaran di tiap Juli.

    Bergelayut dalam lengan kekalmu yang penuh paham tak pasti.

    Merasuki isi kepalamu agar aku mengerti.

    Aku ingin merinduimu tiap hari.

    Di tiap-tiap langkah yang ku lalui.

    Di tiap-tiap hal baik yang ku temui.

    Pada tiap-tiap tempat yang ku singgahi.

    Barangkali—di tiap kereta yang membawaku pergi.

    Tiap jengkal ingin ku cumbu dirimu.

    Menanam segala bisu dalam kepalaku.

    Pada rupamu yang teduh layaknya tirai hujan di jendela kamarku.

    Tiap jengkal ingin ku saksikan tawamu.

    Melebur dalam tiap sisi kepekaanku.

    Rekah mewangi dalam hati.

    Menghidupkan yang telah lama mati.

    Jika tidak hari ini, mungkin di kehidupan yang lain.

    Semoga itu milik kita.

    Karya Intan Adelia Putri

  • Bego dan Gendut

    Kutumpuk seribu carutan tiap kali waktu

    menyatukan kami.

    Namun, yang berbunga sejuta cinta,

    yang dipetik selalu doa. 

    Aku tak paham anggapannya tentang angsa.

    Dia tak tahu cintaku pada kupu-kupu .

    Kami menyemaikan bibit-bibit permintaan untuk Tuhan,

    agar hingga di penghujung waktu,

    tangan kami saling menggenggam. 

    Walaupun, jika si gendut membaca suratku ini,

    adalah kebingungan yang didapatnya.

    Karya Aulia Fatihatu Zulfanisa

  • Ku Titip, Ya

    Bu, ku titipkan rindu pada angin yang berhembus ke arah barat,

    karena ku yakin ia memelukmu.

    Di sela-sela debu yang dibawanya,

    ada doa agar kau panjang umur.

    Ku titipkan lagi rindu kepada air laut,

    agar rintik-rintik yang turun

    menenangkan istirahatmu,

    menemani makanmu,

    Tak lupa juga aku titipkan surat kepada senja sore ini,

    agar ketika ia bersinar,

    Ayah tak perlu merasa sendiri disesaki orang-orang buruk itu.

    Tenang saja, bu, yah.

    Kupesankan kepada angin dan hujan agar tak mengirim badai.

    Kupesankan juga kepada matahari agar tak menyengat tubuh.

    Setelah berdoa kepada Tuhan.

    Karya Aulia Fatihatu Zulfanisa

  • Kucing!

    Jono memicingkan mata saat kakinya melangkah melewati gerbang besi yang menjulang dan berkarat. Sinar matahari Cipinang di sore hari terasa seperti tamparan panas di wajahnya, menusuk kulit setelah lima tahun hanya akrab dengan pendar lampu neon dan bayang-bayang kelabu sel penjara. Udara terasa berat, penuh dengan debu yang beterbangan dari jalan raya dan aroma samar-samar masakan padang yang menguar dari seberang. Lima tahun. Waktu yang terasa seperti keabadian, namun dunia di luar seolah tidak banyak berubah, hanya terasa lebih asing dan menyesakkan.

    Di bawah naungan pohon mangga yang rimbun, Cimeng sudah menunggunya. Ia bersandar di kap mobil Kijang kotak cokelatnya yang legendaris, kendaraan yang menjadi saksi bisu petualangan mereka sejak SMA, dari sekadar bolos sekolah untuk main di rental PS dekat Stasiun Depok Lama hingga mengantarJono yang kemabukan setelah menginap di Puncak. Rambut Cimeng tampak sedikit menipis di bagian depan, dan perutnya yang dulu rata kini membuncit samar di balik kaus oblong bergambar band The Cure. Ia menyeringai lebar, memperlihatkan deretan gigi yang tidak lagi serapi dulu, kuning karena nikotin tembakau kretek yang sudah dihisapnya sejak menengah pertama.

    “Jon!” serunya, melambaikan tangan dengan antusiasme yang canggung. “Bebas juga lo akhirnya, anjing.”

    Jono menghampirinya. Mereka berpelukan canggung, tepukan di punggung terasa kaku, tetapi di balik gestur itu ada rasa familier yang tidak hilang setelah lima tahun.

    “Gimana kabar lo, Meng?” suara Jono terdengar serak, seperti mesin yang lama tidak dinyalakan.

    “Baik, Jon, baik. Ya, beginilah. Masih narik ojek online, sesekali bantu nyokap di warung. Lo… gimana di dalam?” Cimeng menatapnya lekat, matanya yang biasanya jenaka kini menyiratkan kekhawatiran yang tulus.

    Jono menghela napas panjang, berat. “Hahaha, basa-basi lu jelek banget.” Ia menoleh ke belakang, menatap gerbang penjara yang kini tertutup rapat. Ada sebagian dari dirinya yang masih tidak percaya bahwa ia telah benar-benar keluar.

    Cimeng membukakan pintu penumpang. Saat Jono masuk, aroma khas mobil Kijang itu langsung menyergap indranya: campuran wangi rokok kretek, pengharum mobil rasa kopi yang sudah habis, dan bau karpet yang sedikit lembap. Dasbornya adalah sebuah museum kecil kehidupan Cimeng; koin receh, bungkus permen Tolak Angin, dan sebuah gantungan kunci ondel-ondel yang warnanya sudah memudar tergantung di spion tengah.

    “Mau langsung ke rumah nyokap lo?” tanya Cimeng sambil menyalakan mesin. Suara mesin diesel yang kasar itu terdengar familiar di telinga Jono.

    Jono terdiam sejenak, bukan karena larut dalam kesedihan, melainkan menimbang pilihan. Baginya, rumah itu hanyalah properti yang perlu diurus. Sebuah masalah yang bisa ditunda.

    “Nggak usah, Meng,” jawabnya datar, tatapannya lurus ke depan. “Nggak ada apa-apa lagi di sana. Nanti aja diurus.”

    Cimeng meliriknya sekilas, menangkap nada dingin dalam suara sahabatnya. Ia tidak berkomentar, hanya meraih sebungkus rokok kretek dari dasbor. “Nih,” katanya sambil menyodorkan sebungkus Gudang Garam Filter yang sudah terbuka.

    Jono mengambil sebatang. Tangannya sedikit kaku saat menjepit rokok itu di antara bibirnya. “Udah lama nggak ngerasain yang beginian. Di dalem jarang-jarang.”

    Cimeng menyalakan korek api gas, apinya menari-nari sejenak sebelum menyambar ujung rokok Jono, lalu rokoknya sendiri. Ia menurunkan kaca jendela mobilnya yang masih engkol, begitu juga Jono di sebelahnya. Asap putih tebal mengepul, mengisi kabin sesaat sebelum tersedot keluar oleh angin jalanan.

    “Oke. Ke rumah gue dulu aja, berarti,” kata Cimeng setelah mengembuskan asap pertama. Ia menjentikkan abu rokoknya ke luar jendela dengan gerakan santai yang sudah menjadi kebiasaan. Jono mengikutinya. Mereka berdua terdiam, abu rokok mereka berjatuhan ke aspal Margonda yang panas, hilang ditelan hiruk pikuk kota. Cimeng lalu memutar kemudi, dan mobil Kijang itu perlahan bergabung dengan kemacetan yang tak pernah punya belas kasihan.

    Mereka menyusuri jalan arteri kota Depok itu. Sepeda motor menyelinap di antara mobil-mobil seperti ikan, sementara angkot-angkot berhenti mendadak tanpa aba-aba, menciptakan simfoni klakson yang riuh. Jono menatap keluar jendela. Margo City terlihat lebih megah, dan di dekatnya, sebuah apartemen baru yang dulu hanya berupa lahan kosong kini menjulang angkuh. Ia merasa seperti seorang turis di kotanya sendiri. Mereka melewati lampu merah Juanda, dan Jono tanpa sadar teringat saat ia dan Cimeng sering duduk-duduk di trotoar sambil membahas setelah lulus mau diapakan lagi hidup mereka.

    “Lapar?” tanya Cimeng, memecah keheningan.

    “Nasi goreng gila di Arif Rahman Hakim, mau? Yang deket stasiun.”

    “Terserah lo aja, Meng.”

    Cimeng belok naik melewati flyover dan menepikan Kijangnya di depan sebuah warung tenda nasi goreng yang ramai. Aroma bawang putih dan cabai yang ditumis dengan minyak panas langsung menyambut mereka. Suara spatula yang beradu dengan wajan besi besar terdengar berisik. Beberapa pengemudi ojek online tampak menunggu pesanan mereka di kursi-kursi plastik yang disediakan.

    “Bang, nasgor gila dua, ya! Yang satu pedes, satunya jangan pedes-pedes,” seru Cimeng kepada si juru masak yang gerakannya cekatan. “Minumnya es teh tawar aja dua.”

    Mereka duduk di bangku plastik yang agak reyot. Pesanan mereka datang, dua piring nasi goreng mengepul. Mereka makan dalam diam untuk beberapa saat, hanya suara lalu lintas dan spatula si abang tukang nasi goreng yang mengisi kekosongan.

    “Jon,” Cimeng memulai, setelah menelan suapan terakhirnya. “Gue… lima tahun ini cuma denger cerita dari berita sama dari orang-orang. Gue nggak pernah denger langsung dari lo.”

    Jono berhenti mengunyah. Ia meletakkan sendoknya. “Cerita apa? Udah jelas semua kan. Gue bunuh kucing, gue masuk penjara. Selesai.”

    “Bukan itu,” kata Cimeng, menggeser piringnya yang sudah kosong. “Maksud gue… cerita versi lo. Bukan yang gue baca di berita. Semuanya, dari awal.”

    Jono menghela napas, kali ini terasa lebih berat. “Lo beneran mau denger?” tanyanya, lebih seperti sebuah pernyataan daripada pertanyaan. Cimeng hanya mengangguk.

    “Oke,” Jono memulai, suaranya datar. “Gue pulang dari proyek luar kota itu. Nyampe depan rumah nyokap, udah kecium bau bangkai dari teras. Pintu dikunci. Gue gedor, gue panggil-panggil, nggak ada yang jawab. Firasat udah nggak enak, jadi gue lari manggil Pak RT sama beberapa tetangga.”

    Ia berhenti, meminum es tehnya. “Kita rame-rame dobrak pintunya. Ada satu anak muda, gue kenal, ngerekam pake HP. Katanya buat bukti, jaga-jaga. Si anjing itu ternyata yang pertama nyebarin videonya.”

    Jono menatap kosong ke arah wajan si abang nasi goreng. “Baunya makin parah di dalem, dari arah dapur. Gue lari ke sana duluan. Nyokap… di lantai. Kondisinya udah… ya lo bayangin aja sendiri, Meng. Udah busuk. Beberapa bagian udah jadi tulang.”

    “Gue nggak peduli baunya,” lanjut Jono, suaranya sedikit bergetar untuk pertama kalinya. “Gue langsung peluk aja. Gue nangis di situ.”

    “Terus, lagi gue nangis meluk nyokap,” katanya lagi, nadanya berubah dingin. “Dateng itu kucing sialan. Santai banget jalannya, kayak nggak ada apa-apa. Terus dia nyomot kulit deket muka nyokap gue yang udah… ah, anjing lah.”

    Jono terdiam, rahangnya mengeras. “Gue nggak inget apa-apa lagi, Meng. Tiba-tiba aja udah ada suara ‘gedebuk’. Itu kucing udah nempel di tembok. Gue bahkan nggak sadar kapan gue berdiri dan ngelemparnya. Semuanya gelap.”

    Cimeng diam saja, tidak mampu berkata-kata. Ia hanya bisa menatap sahabatnya, membayangkan kengerian yang baru saja diceritakan. “Parah, Jon,” bisiknya.

    Jono mengangguk pelan, lalu kembali mengambil sendoknya dan menghabiskan sisa nasi goreng di piringnya dengan gerakan mekanis. Seolah-olah dengan menghabiskan makanan itu, ia bisa menelan semua amarahnya kembali ke dalam.

    Setelah makan, mereka kembali ke mobil. Cimeng menyalakan sebatang rokok. “Jadi, rencana lo sekarang apa?” tanyanya hati-hati.

    Jono mengangkat bahu, tatapannya kosong. “Nggak tahu. Mungkin cari kerja lagi. Gue bisa numpang di rumah lo dulu, Meng?”

    “Ya jelas bisalah, Jon. Kapan aja. Anggap aja rumah sendiri. Kontrakan gue sepi kok. Nyokap sama Wina kan jualan di pasar, pulangnya maghrib.”

    “Makasih, Meng.”

    “Santai.”

    Mobil Kijang itu kembali bergerak, kali ini menuju Kukusan. Mereka masuk ke sebuah gang sempit dan berhenti di depan rumah petak sederhana.

    “Masuk, Jon. Jangan sungkan,” kata Cimeng sambil membuka pintu.

    Jono melangkah masuk ke ruang tamu yang kecil. Saat ia meletakkan tasnya yang lusuh di lantai, seekor kucing kampung berwarna oranye dengan santainya keluar dari bawah meja dan menggesekkan tubuhnya ke kaki Jono, seolah menyambut penghuni baru.

    Jono berhenti, menatap ke bawah. Ia tidak bergeming.

    Cimeng, yang baru saja menutup pintu, melihat pemandangan itu. Sebuah seringai jahil terbit di bibirnya.

    “Nah, Jon,” katanya sambil menunjuk kucing itu dengan dagunya. “Ini yang buat lu dipenjara?”

    Jono mengangkat kepalanya, menatap Cimeng. Selama sedetik, suasana terasa tegang. Lalu, sudut bibir Jono tertarik ke atas, disusul oleh tawa yang serak dan kering. Tawa yang terdengar seperti kerikil yang digiling.

    Melihat reaksi itu, Cimeng ikut tertawa terbahak-bahak. Tawa mereka yang kasar dan tanpa beban mengisi ruangan sempit itu.

    “Bangsattt,” kata Jono di sela-sela tawanya, sambil membungkuk untuk mengelus kepala si kucing oranye, yang langsung mendengkur puas.

    Menjelang maghrib, ibu Cimeng dan adiknya, Wina, pulang. Mereka menyambut Jono dengan hangat. Wina, adiknya, tampak senang saat Jono bermain-main dengan kucing oranye kesayangannya.

    Malam itu, setelah semua orang tidur, Jono tidak bisa memejamkan mata. Ia keluar ke teras belakang, menyalakan sebatang rokok. Tak lama, si kucing oranye datang dan duduk di dekat kakinya, menatapnya dengan mata bulat. Jono menatap balik ke arah kucing itu, ekspresinya datar. Sesaat, ia melirik ke arah pintu, memastikan tidak ada seorang pun yang melihat. Lalu, dengan gerakan cepat yang nyaris tanpa suara, ujung sepatunya menyentuh perut si kucing. Bukan tendangan keras, hanya dorongan kasar yang membuat hewan itu terkejut dan lari terbirit-birit ke dalam kegelapan.

    Karya Cikal Gibrani Miwaha

  • Tentang Hawa

    Pikirku mengembara

    Mendalami setiap inci goresan senja

    Menikmati kasih tulus yang bermuara

    Dari sukma sang pengabdi madrasah pertama

    Untukmu, sang pembawa surga….

    Tetaplah tersua selalu

     Kalas pola sabit di bibir manismu

    Menyimpannya di radar ufuk kalbu

    Untuk mengusir setiap gelap langitku

    Kepadamu, Sang penyempurna agama….

    Pesona indahmu meneduhkan semesta

    Hatimu sehalus perca sutra

    Cantikmu mengalahkan bijih permata

    Yang selamanya akan terus terjaga

    Bagimu, Sang penyampai aksara pertama….

    Lembutnya desir angin seolah memberi sebuah isyarat

    Yang Mengeja setiap kata menjadi sebuah amanat

    Untuk selalu menjunjung mahkota derajat

    Seorang wanita yang terhormat

    Karya Silvika Halwa Nabila

  • Mengeja Makna Nestapa

    Kuterawang sebuah kenangan using

    Bersama kalas bayangan seseorang

    Yang tiba-tiba menyusup tanpa berucap datang

    dan lenyap begitu saja seakan ditelan petang

    Kericuhan angin bermain melodi seolah mengeja sebuah pesan

    Untuk menakwilkan hikmah dalam setiap kejadian

    Menyulap serpihan tangis dan keputusasaan

    Menjadi lorong menuju bilik keikhlasan

    Aku ingin bercerita

    Tentangnya yang tak ada dua

    Tenyangnya yang abadi menjadi cinta pertama

    Tentangnya yang kasihnya tak pernah lenyap sepanjang masa

    Tentangnya yang hangatannya menetap di tiap benak manusia

    Walau hadirnya, kini hanya bisa dijemput lewat do’a

    Kerinduan ini akan terus ku semai

    Dengan ketaatan kepada-Nya supaya tidurmu damai

    Semua nasihatmu akan terus ku pahat dalam dinding-dinding perjalananku

    Hingga nanti diujung pencapaian tertinggiku,

    bisa kuceritakan dengan bangga di depan kuburmu

    betapa mahirnya putri kecilmu melawan bengisnya dunia yang berbatu

    Karya Silvika Halwa Nabila

  • SEBILAH EMPAT WAJAH

    Aku menulis ini sebagai anak perempuan—

    Yang diajar menata piring sebelum sempat menyusun mimpi.

    Yang hadir ke dunia dalam tubuh tuntutan bahwa harus cekatan mendongeng sebelum bisa berkata.

    Yang tumbuh di antara dinginnya pistol dan ego, diajar tunduk, sebelum sempat memilih arah berdiri.

    Yang tangannya dipenuhi tugas sebelum jemarinya mengenal dunia.

    Di antara sela jemari tangannya yang sembari menggenggam

    satu tanya tak kunjung reda;

    Bagaimanakah seharusnya menjadi anak perempuan?

    Aku menulis ini sebagai istri—

    Yang akhirnya tahu bagaimana dingin dikasihi tanpa perlu tuntutan berembun. Bukan karena patuh, tapi karena dirinya utuh.

    Yang pelukannya tak lagi bentuk anggara pengorbanan, melainkan ruang pulang yang setia.

    Yang tidak lagi perlu menebak apakah dirinya masih layak?

    Sebab, ada pelukan yang siap mendekap luka-lukanya tanpa ingin merakit ulang bentuknya.

    Aku menulis ini sebagai seorang ibu—

    Yang kini selalu dibelai oleh suara-suara kecil yang menjadikannya pusat semesta.

    Yang kini berusaha diucap dengan pengulangan suku kata “ma”

    Yang tubuhnya menjadi bilik berlindung,

    Meski sendirinya kadang tak sempat berlindung dari tombakan lelah.

    Dan, yang selalu siaga menyisipkan doa pada lipatan baju.

    Aku menulis ini untuk aku, si perempuan itu—

    Sebagai kesaksian.

    Yang menetap bukan sebab tak tahu jalan keluar,

    Melainkan ingin menjadi tanah yang tak lagi mengingkari akarnya,

    Dengan perempuan yang utuh di tubuhnya sendiri.

    Karya Revalina Suci

  • Tikaman Sunyi

    Bagai embun menyejuk dikala pagi

    Bak lentera menjuang bersinar dengan terang

    Ku sapa indah wahai kau mentari

    Bersama dengan dersik anila yang berlalu-lalang

    Tentang malam-malam sepi yang kulewati

    Aku berterima kasih kepada sang sanubari

    Karena telah weharima sampai kini, disini

    Tat kala disaat perih menikam diri ini

    Lantas sekarang, ke mana arah yang kutuju?

    Dengan hanyut dalam lara di setiap langkahku

    Tanpa kusadari,

    Tak ada satu pun insan peduli terhadapku

    Kini, aku sendiri bersama dengan lamunan sendu

    Jiwa yang selalu ku arungi, kini tak lagi niskala

    Berontak, menyayat luka entah ke sekian kalinya

    Layaknya atma yang saling berdebat

    Ya, aku hanya berargumentasi sendiri atas lara yang ada

    Hampir saja aku mati dibunuh oleh sepi

    Dengan butiran kesunyian, tanpa adanya pengharapan

    Semakin sulit bagi ku menyembunyikan rasa sakit ini

    Sampai kapan aku bisa terus bertahan?

    Terpikir untukku menyerah, tapi

    Sampai pada bait-bait puisi ini ku tumpahkan di penghujung hari

    Bertahanlah, akan ada pelangi yang mewarnai di kemudian hari

    Karya Nurul Hidayah

  • Stasiun Kecil Bagian Utara

    aku melihat orang berjalan tergesa-gesa,

    meninggalkan jejak pada lantai sepi itu.

    namun aku melangkah pelan, enggan

    lalu, langkahku terhenti di ujung peron.

    tas punggung, berat oleh harapan dan doa.

    mata menatap rel yang tak pernah tidur,

    seperti hatiku — yang tak pernah benar-benar pulang.

    stasiun ini bukan rumah,

    tapi selalu jadi awal dan akhir cerita,

    tempat kusimpan sunyi,

    dan rindu yang tak muat dalam jinjinganku.

    setiap peluit kereta mengingatkanku

    pada suara mama memanggil dari dapur,

    pada aroma pagi yang hilang

    di antara deru mesin dan kota yang asing.

    setiap gesekan sepatu mengingatkanku

    pada langkah ayah — yang selalu menghampiriku,

    kala malam, untuk bubuh kecupan

    lalu bisikan sebuah pengantar lelap.

    aku belajar mengukur jarak dengan air mata,

    menyulam mimpi di tempat jauh,

    meski bayang rumah selalu lekat di jendela.

    di sini, di stasiun yang tak mengenal namaku,

    aku jadi penumpang bagi waktu dan kenangan.

    pulang mungkin hanya jeda,

    tapi stasiun — selalu jadi tempat aku belajar bertahan.

    Karya Aprilia Wening Sukma

    Deskripsi Singkat Karya:

    Sebuah tulisan perihal seorang anak pertama yang merindukan rumah karena ia sedang merajut mimpi nun jauh di sana. pada stasiun yang selalu menjadi saksi dari sebuah harapan oleh orang yang kita sayang, pada stasiun yang selalu erat dengan sebuah rindu dan pulang.