Blog

  • Dalam Jarak Yang Tak Kian Mendekat

    Rasanya sejengkal pun tak ada

    disaat pertama kali kita berjumpa.

    Kau—dengan empat matamu,

    namun tak ada satu pun yang menatapku.

    Penglihatanku seolah kabur, namun entah mengapa,

    hanya dirimu yang menjadi titik terang dimataku.

    Rasanya darahku mengalir begitu cepat,

    seolah jantungku seperti akan meledak.

    Saat tangan kita hampir bersentuhan,

    kala itu rasanya seolah fisikku akan binasa—ternyata tidak.

    Lalu kusadari, seharusnya aku tak pernah memulai.

    Seharusnya perasaan didalam hatiku ini, kucabik dari awal.

    Diriku yang begitu naif ini mulai menyadari,

    Bahwa pada akhirnya hanya aku yang akan terluka.

    Tadinya aku sempat berpikir,“Mungkin tak ada salahnya.”

    Setidaknya nanti luka yang akan aku dapat berasal dari dirinya.

    Setidaknya lukaku nanti, akan berasal dari seseorang

    yang tahu bagaimana caranya merangkai kata untuk menuangkan rasa.

    Setidaknya, aku pernah merasakan bagaimana rasanya

    jatuh begitu dalam ke dalam mata yang tidak pernah melihatku.

    Karya Kaiser Mayhem

  • APA ITU RUMAH?

    Apa itu Rumah?

    Terpaan Senja membelai kening

    Membawa ingat pada sebuah bangunan renta

    Menua dimakan waktu saksi bisu kehidupanku

    Terkadang

    Rumah bukan tempat ternyamaan

    Ejekan, amarah, cacian

    Itu adalah hal biasa bagiku

    Pahitnya kehidupan yang harus dilalui

    Perlukah terlalu jauh?

    Mulailah dari yang dari dekat

    Dan janganlah jadi Pelangi

    Di kehidupan orang yang menyukai

    Kegelapan, tak perlu!

    Karya Ibtisama Haya Sulthana

    Deskripsi Karya:

    Puisi “Apa itu Rumah?” awalnya adalah puisi yang berbahasa Inggris lalu di translate dalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan penerbitan. Puisi ini berada di buku Antologi Puisi Kala yang di terbitkan oleh Nyalanesia. Puisi “Apa itu Rumah?” adalah  puisi yang menyoroti bahwa rumah bisa jadi adalah sebuah perasaan aman, tempat di mana jiwa merasa tenang, dan di mana seseorang dapat menjadi diri sendiri seutuhnya tanpa rasa takut. Ia adalah gema kenangan masa lalu, sekaligus harapan akan masa depan yang akan datang. “Apa Itu Rumah” adalah sebuah undangan untuk menemukan “rumah” di dalam diri, di tengah hiruk pikuk dunia, atau bahkan dalam tatapan mata orang yang kita cintai. Puisi ini cocok bagi siapa saja yang sedang mencari makna, merindukan kedamaian, atau sekadar ingin merenungkan kembali arti sesungguhnya dari kata “rumah” dalam kehidupan mereka.

  • Kaos Dalam

    Apa kau mendengarku?

    Ku sempat membunuhmu

    Apa kau mendengar jeritan orang yang melupakanmu?

    Jangankan mengingatmu

    Kaos dalam yang kujemur, kutinggalkan, bahkan jarang kulihat pun aku lupakan

    Jangankan keberadaanmu

    Kaos dalam yang sudah kering, kuambil dari jemuran, dan masih jarang kulihat pun aku tak tahu keberadaannya

    Kutempatkannya jauh dari permukaan

    Di bawah tumpukan jerami, tetesan noda, dan pecahan kaca

    Namun, kehangatannya kembali

    Terpanggil memakainya

    Lagi

    Menghadapmu

    Lagi

    Karya Aisyah

  • MANUSIA dan PERASAAN

    bagaimana kabarmu tuan?

    apakah hidupmu menyenangkan?

    aku bagai angin hilang arah yang tak tahu harus kemana

    lantas bagaimana lagi harus kutebus rasa ini?

    kini tidak ada lagi kata “kita”

    hanya ada aku dan kamu

    berpisah, tidak bisa menyatu

    aku mencintaimu tuan

    bahkan disaat badai menerpa 

    aku akan selalu ada di sisimu tuan

    tetapi, kita hanyalah kita

    manusia  

    dan

    perasaan

    dengan segenap usaha ku menyerah

    kita kan masing-masing

    ternyata ini akhir dari cerita “kita”?

    pergi ke arah yang berbeda

    dan tak ada lagi saling genggam

    Karya Renala

  • Can You Be Mine?

    Ombak pantai terlihat menggulung lembut menyapa tepian, kemudian menarik apapun yang bisa digapainya lalu membawa dalam rengkuhannya. Matahari terlihat meninggi di langit, sinarnya tidak terlalu terik, karena awan menutupi kehadirannya. Suasana alam seakan mendukung peristiwa penting hari itu, penyatuan dua insan menjadi satu.

    Aku mengedarkan pandanganku ke semua orang yang terlihat bercakap dan tertawa bersama, meneliti setiap ekspresi semua orang yang sedang berbahagia. Sambil memegang gelas kaca yang terisi jus, aku sedikit memutar-mutar gelas tersebut, bertingkah seolah-olah red wine yang mengisi gelas itu. Kemudian aku menyesapnya sedikit, tertawa kecil karena menyadari bahwa rasa jus itu tidak terlalu buruk. Manis, tetapi kenapa aku malah merasa pahit? Menghela nafas menyadari bahwa mungkin dirinya sudah mulai gila saat ini karena tertawa sendiri.

    Aku kembali memandang keramaian, mereka terlihat asik dengan dunia yang mereka buat bersama dengan rombongannya. Namun, kenapa hanya aku yang merasa sendiri? Dirinya seperti seorang hewan yang tersesat dan tidak mempunyai kawanan. Aku menghela nafas, ingin rasanya menyudahi semua ini dan pergi meninggalkan tempat yang begitu mencekik dirinya.

    Alunan musik mulai terdengar lebih keras, riuh tepuk tangan terdengar meriah meramaikan acara hari itu. Terlihat sepasang keturunan Adam dan Hawa yang berjalan di atas panggung dengan saling bergandengan tangan dan tersenyum kepada para tamu. Senyum mereka terlihat sangat cerah bahkan mungkin mengalahkan sinar matahari yang  hari itu terlihat sedikit layu, hal itu menandakan bahwa kedua orang tersebut sedang dalam fase bahagia dalam hidup mereka.

    Aku melihatnya, senyum yang biasa ditunjukkan hanya kepadaku kini bukan lagi milikku. Wajahnya tampan berseri, senyumnya manis, dan sinar matanya tidak bisa berbohong. Dia bahagia. Aku menyadari bahwa dia bukan lagi milikku dan tidak akan pernah bisa menjadi milikku. Kenapa aku terus denial, berharap dia bisa kembali dalam rengkuhanku?

    “Kau bodoh. Jadi, sekarang hadapi realitas yang ada” batinku sendu, merutuki harapan semu yang kupanjatkan setiap dentingan lonceng saat beribadah.

    Pandanganku terlihat mengabur, cairan bening memenuhi pelupuk mata dan akan tumpah dengan sekali kedipan mata. Aku mendongakkan kepala mencoba menghalau air mata yang akan jatuh, karena sebelum diriku datang ke tempat ini. Aku sudah berjanji bahwa tidak akan ada air mata, diriku berjanji untuk mengantarkan lelaki itu dengan senyuman.

    “Sial! Aku bahkan hanya bisa tersenyum getir saat ini” gumamku kesal masih dengan mendongakkan kepala dan mengipasi sedikit mataku, menghalau air mata yang akan tumpah dan merusak maha karya cantik yang telah ia buat pada wajahnya.

    Setelah dirasa air matanya sudah kembali surut, aku kembali menatap lurus ke arah depan dan secara tidak sengaja pandangan kami bertemu. Aku terpaku dan terdiam melihat tatapan rindunya kepadaku. Seketika aku memalingkan wajahku memutus kontak mata antara diriku dengan dia, aku mengehala nafas mencoba menguatkan diriku sendiri agar bisa tersenyum dan tidak menangis. Aku sendiri yang menyudahi, maka aku juga harus bisa menghadapi.

    “Kau bisa, kau pasti bisa. Jangan terlihat menyedihkan di depannya.”  batinku menyemangati diri sendiri, aku akhirnya memberanikan diri kembali melihat ke arah depan dan mendapati bahwa lelaki itu masih memandang ke arahku. Aku mencoba memasang senyum semanis mungkin dan bibirku menggumamkan kata “selamat”. Seakan mengerti apa yang diucapkan oleh diriku, dia menganggukkan kepalanya dan tersenyum ke arahku.

    “Senyuman itu bukan lagi milikku, kau harus menyadarinya mulai sekarang.” Batinku sendu melihat ke arah sang lelaki yang tak bisa ia gapai.  Setidaknya aku tenang karena dia sudah berada pada rumah yang tepat, diriku ini hanya tempat persinggahan sementara bukan tempat untuk dia berpulang.

    Kakiku mundur perlahan, air mata yang sedari tadi aku tahan tumpah ruah membasahi kedua pipiku. Kemudian aku berbalik dan sedikit berlari meninggalkan acara yang seharusnya menjadi tempat orang-orang berbahagia, tetapi tidak bagiku. Ini sangat sakit, bahkan dadaku begitu sesak menyadari sepenuhnya bahwa dia sudah tidak bisa lagi menjadi milikku. Aku terus berlari menjauhi keramaian, setiap langkah kakiku membuat aku memutar kembali ingatan antara aku dengan dia.

    “Apakah kita bisa bersama?” Tanyaku kepadanya yang sekarang sedang memejamkan matanya, menikmati belaian lembut angin yang menerpa wajah tampannya. Dia membuka matanya dan memandang diriku dengan lembut, tangannya terangkat dan menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajahku.

    “Aku akan mengusahakan apapun itu agar kita terus bersama” jawabnya yang membuatku tersenyum manis kearahnya.

    “Kita berdua pasti bisa menghadapi ini semua, iya kan?” Lanjutnya bertanya balik kepadaku, dan aku menganggukkan kepala dengan mantap. Meyakini bahwa aku dan dia pasti bisa membawa hubungan ini dalam ikatan suci yang sah.

    Aku berhenti di tepian pantai yang sedikit jauh dari keramaian pesta. Apakah aku juga harus menyingkirkan kenangan indah itu? Aku bertanya pada diriku sendiri yang tidak memberikan jawaban. Aku meremas dadaku yang terasa sangat sesak dan sakit, air mataku tidak berhenti mengalir dan terus membasahi wajahku.

    “Kita tidak bisa bersama, usahamu tidak berhasil. Tembok kita terlalu tinggi” ucapku kepada sepi yang kini menemaniku. Tangisanku pun semakin keras karena mengingat kenangan indah yang telah aku dan dia lalui semasa menjalin hubungan, aku mengesampingkan segala rasa malu karena saat ini menangis bak anak kecil yang direbut permennya. Aku memang kehilangan permenku, dia adalah hal manis dalam hidupku yang direbut oleh orang lain atau mungkin aku yang memang dengan sengaja melepasnya karena sadar jurang antara aku dengan dia sangat lebar.

    Setelah beberapa menit menangis, akhirnya diriku mulai tenang. Aku menikmati lembayung senja yang membuat langit menjadi sangat cantik karena cahaya orangenya. Senja memang sangat indah, tetapi sangat cepat berlalu yang kemudian digantikan oleh gelapnya malam.

    “Ck…seperti kisah cintaku saja” aku berdecak kesal saat menyadari kesamaan senja dengan kisah percintaanku.

    “Seandainya jika aku berusaha lebih keras dan tidak menyerah dengan kenyataan yang ada, apakah aku bisa menjadi pendamping hidupmu seperti wanita itu?”

    “Seandainya jika aku tidak takut dan berani melangkah, bukankah sekarang kita akan sangat bahagia?”

    “Seandainya jika aku berani melepaskan ini, apakah aku bisa hidup selamanya denganmu?”

    Banyak kata seandainya yang memenuhi otakku, pikiranku sangat ramai dan bising. Sampai pada pertanyaan terakhir, seketika semuanya senyap. Tanganku memegang kalung berbandul salib yang menghiasi leher jenjangku.

    “Kenyataannya aku tidak pernah punya hak untuk merebutmu dari tuhanmu” aku tersenyum getir menyadari pemikiran bodoh yang sempat terbesit dalam otakku. Aku merogoh tasku dan mengeluarkan ponsel yang lockscreennya masih menggunakan fotoku dengan dia. Tertawa miris karena menyadari bahwa sebegitu kehilangannya diriku saat dia tidak bersamaku lagi. Sepertinya mulai saat ini dirinya akan menyingkirkan semua kenangan antara dia dan mantan kekasihnya itu, agar bisa fokus menata hidupnya kembali.

    Setelah melihat matahari yang semakin turun, aku pun beranjak dari dudukku. Kemudian sedikit membersihkan bagian belakang bajuku yang kotor karena pasir, saat ini isi pikiranku hanya tentang pulang dan beristirahat, karena hari ini adalah hari yang sangat melelahkan. Sampai pandanganku tertuju ke sebuah benda yang tergeletak tidak jauh dari tempat dudukku. Memilih untuk menuruti rasa penasaranku aku pun mengambil benda tersebut dan mulai menelitinya.

    “Benda apa ini? Terlihat seperti jam saku kuno” aku meneliti setiap inci jam saku yang terlihat antik dan memiliki rantai kecil di atasnya, kemudian aku membuka tutup jam itu. Setelah aku bandingkan waktu dengan jam pada ponselku, jam itu menunjukkan waktu saat ini. Namun, aku melihat ada sesuatu yang aneh. Terdapat gulungan kertas kecil pada tutup jam itu, tanpa menaruh curiga apapun aku mengambil kertas itu dan membukanya.

    “Waktu adalah emas, dan ini adalah waktumu. Bukankah kau harus menyelesaikan sesuatu?” Aku membaca tulisan pada kertas itu dan merasa aneh. Apa maksud dari semua kata-kata ini?

    Untuk beberapa saat aku terdiam sambil terus melihat kertas yang kupegang. Setelah beberapa menit memikirkan makna dari kata-kata itu, dari sekian banyaknya kemungkinan tentang arti kata tersebut ada satu kemungkinan yang membuatku melotot kaget.

    “Tidak mungkinkan? Hal bodoh yang kupikirkan pasti tidak mungkin terjadi” aku merutuki diriku sendiri yang dengan bodohnya memikirkan hal yang mustahil terjadi. Saat aku kembali melihat ke arah jam tersebut, betapa terkejutnya aku melihat jam saku tersebut berputar ke arah kiri dengan cepat. Aku mengedarkan pandanganku kearah sekitar yang berjalan dan berganti dengan sangat cepat sehingga tidak bisa dilihat dengan mata normal seorang manusia. Aku jatuh terduduk dan memejamkan mataku ketika ada cahaya putih terang yang sangat menyilaukan mataku.

    Setelah merasa bahwa cahaya yang kulihat sudah tidak ada lagi, aku membuka kedua mataku perlahan, dan diriku seperti terkena serangan jantung dua kali karena merasa terkejut. Bagaimana tidak terkejut, jika mendapati dirimu berpindah tempat hanya dalam waktu beberapa detik? Saat ini dirinya tidak lagi di pantai, tetapi kini ia berada di taman pusat kota, Aku terduduk seperti orang bodoh karena belum percaya dengan apa yang terjadi.

    “Apa-apaan ini?!!” Ucapku dengan sedikit keras, dan tentu saja hal itu mengundang atensi orang-orang sekitarnya. Aku berdiri dari dudukku kemudian memandang ke arah sekitar, aku menutup mulutku tidak percaya bahwa ia kini berada di tempat yang sangat familiar. Ini adalah tempat pertama kali dirinya bertemu dengan sang mantan kekasih.

    “Apakah mungkin? Apakah kata seandaiku bisa menjadi kenyataan?” Aku mengucapkan kata-kata itu dengan nada gemetar, dari kejauhan kedua mataku melihat seorang laki-laki yang sedang bermain skateboard dengan headphone di kepalanya. Aku tidak percaya dengan apa yang aku alami dan lihat sekarang, tetapi bolehkah dirinya berharap?

    “Can you be mine?

    -End-

    Karya Saevra

  • Antara idealisme dan realitas, memetakan makna sosial dari cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis

    Forum Diskusi Sastra (Fordisa) kembali digelar oleh divisi Humas Biro Kurasi. Fordisa kali ini diselenggarakan di Crop Circle FIB pada Jumat, 29 Agustus 2025 pukul 18.30. Diskusi ini dipimpin oleh Rindu Agung Pangestu, mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2021 sebagai pembicara. Rindu membedah cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis dengan pokok pembahasan sosiologi sastra.

    Kegiatan Fordisa diawali Rindu dengan menceritakan secara sinopsis cerpen “Robohnya Surau Kami”. Setelah pembacaan sinopsis selesai, masuk ke sesi diskusi. Rindu menyoroti tiga hal dalam pembahasan ini yaitu Surau, kakek tua dan orang-orang terdahulu. Surau yang awalnya menjadi tempat ibadah, seiring perkembangan zaman juga menjadi tempat menimba ilmu dan berinteraksi dengan masyarakat. Dilihat dari kaca mata sosial, surau bisa menjadi simbol yang memiliki makna bahwa kita tidak hanya menghadirkan Tuhan di dalam hati, namun kita juga menyadari bahwa kita menjadi makhluk sosial. Tuhan menghadirkan orang-orang di sekitar kita supaya kita mengenal dan hidup bermasyarakat. Menurut Rindu, hadirnya orang-orang di sekitar kita adalah cara Tuhan untuk berinteraksi dengan kita, cara Tuhan untuk mencoba menjawab doa-doa yang selama ini kita langitkan.

    Rindu menyoroti tokoh kakek tua, dalam cerpen tokoh tersebut menjadi perwakilan kelompok masyarakat yang menekankan ibadah ritual. Rindu menyoroti nilai kritik bahwa ibadah tidak sebatas ritual, ketika kita berinteraksi dengan sesama manusia itu juga termasuk ibadah. Terakhir, Rindu menyoroti tentang kisah orang-orang terdahulu yang digambarkan rajin beribadah, namun Tuhan murka dan dimasukkan ke dalam neraka.

    Cerpen ini menggambarkan adanya dekonstruksi atau pembalikan struktur yang dianggap hierarkis. “pembalikan dalam cerpen ini adalah ketika kita melakukan hal baik, impactnya adalah baik, tapi ternyata tidak juga, karena ternyata pembenaran Tuhan bersifat absolut.” Tutur Rindu. Pada akhir cerpen, tokoh kakek tua digambarkan bunuh diri dan akhirnya surau menjadi terbengkalai. Bunuh diri  menjadi simbol jika manusia kehilangan pandangan hidup. Rindu menggarisbawahi jika ibadah tidak hanya sebatas ritual, namun berinteraksi dengan sesame manusia juga dapat disebut sebagai ibadah. Menurut Rindu, hal tersebut merepresentasikan ketidakseimbangan antara idealisme dan realisme.

    Sesi selanjutnya adalah FGD. Peserta dibagi menjadi dua tim yang akan mendiskusikan aspek-aspek sosiologi lainnya yang ada dalam karya sastra yang telah dibahas oleh pembicara. Sesi diskusi berjalan dengan partisipan yang aktif dalam menyampaikan pendapatnya. Agung, selaku peserta Fordisa kali ini berpendapat “FGD asik, di forum tersebut kami banyak bertukar pikiran mengenai karya. Kami juga mendapatkan banyak hal baru dari diskusi ini”. Dari hasil yang sudah didiskusikan, masing-masing tim akan memaparkan hasil diskusinya. Setiap orang bebas berpendapat, hal ini menumbuhkan ruang diskusi yang lebih luas lagi.

    Fordisa kali ini tidak lepas dari tantangan. Rara, selaku ketua pelaksana Fordisa kali ini berpendapat “Alhamdulillahnya bisa dibilang lancar ya meskipun memang ada beberapa tantangannya tersendiri. mungkin emang buat fordisa ketiga ini ada beberapa kurang persiapan, banyak peserta yang berhalangan haddir karena masih sibuk di UKM atau magang dan yang lainnya.”

    Meskipun begitu, acara ini berhasil membuat kesan bagi para pesertanya. Naisya, sebagai salah satu peserta berpendapat “Jujur, ini udah fordisa yang ketiga kalinya aku ikutin tuh sangat insightful banget walaupun tempatnya kita sederhana, simpel, tapi hidup sangatlah bermakna banget karena kita juga membahas terkait sastra Indonesia juga, hal hal yang kita dekat juga dengan lingkungan sekitar juga. Pesanku, semoga bisa selalu ke depannya itu semakin menambah masukan apa menarik orang orang atau menarik massa untuk ikutan tertarik untuk ikut diskusi yang sangat bermanfaat.”

  • Gerobak Rusak

    Anak-anak kata ramai sekali berlalulalang di tengah jalan pikiran

    Berisik dan berlarian menerobos rambu-rambu jalanan,

    Beberapa dari mereka hanya duduk terdiam didalam kepala,

    Sedangkan beberapa lainnya berhasil melarikan diri lewat pena.

    Mereka semua terlihat sedang berbondong-bondong menghampiri gadis di seberang jalan raya,

    Seorang gadis yang duduk termenung sendirian,

    Diatas gerobak rusak yang ia sendiri tak tahu bagaimana cara memperbaikinya.

    Karya Alwiyah

  • Meluas dan menjulang

    diantara malam yang gegap dan gempita

    diantara sunyi dan nyala,

    semakin larut,

    perasaan akan menjadi semakin akut,

    lemah gemulai berandai-andai

    lembut merayu mendayu-dayu

    oh perasaanku, melirik-lirik yang tak perlu

    berdebar-debar semakin melebar,

    meluas menjulang, dan menyenangkan.

    kau terlelap dan aku masih terjaga setengah gila,

    biarkan aku turut merekah buas diantara bunga tidurmu,

    biarkan aku duduk termenung dalam pikiranmu,

    semoga angin rinduku berhembus kencang, lancang membangunkanmu,

    semoga puisi-puisiku akan sampai pada nadimu, selalu.

    Karya Alwiyah

  • Aku Tak Mengerti

    Ini fase apa Tuhan?

    Semuanya terasa berat

    Berantakan

    Semua rencana hancur

    Melebur bersama kepingan puing

    Mengalir terbawa arus hujan

    Apakah kata ‘bajingan’ terlalu kotor diucapkan saat ini?

    Rasa rasanya tidak

    Tuhan, ternyata semua manusia sama

    Sama- sama menyakitkan

    Sama-sama berhati dua

    Lantas siapa yang harus ku percaya Tuhan?

    Jika memang ini garis takdir

    Kenapa harus ada air mata yang keluar?

    Kenapa ada sumpah serapah yang terucap?

    Karya Fadhia Tsuraya Nabila

  • Makan

    Tiga suap lagi. Kutemukan lagi

    merah dan ladah. Menarik perhatian

    sekawanan kijang kelaparan.

    Berselimut plastik, terurai

    jajan rentengan.

    Di samping orek tempe.

    Tulang bersimbah darah. Tidak puas

    menyelam di minyak yang bertamasya

    menuju langit.

    Karya Arrayyan Rahardian