Judul Film : Lamun Sumelang
Produser : Egha Harismina dan Elena Rosmeisara
Sutradara : Ludy Oji Prastama
Penulis Skenario : Ludy Oji Prastama
Tanggal Rilis : 19 Desember 2021
Rumah Produksi : Ravacana Film
Genre : Horor, pendek, drama, misteri
Durasi : 18 menit 11 detik
Sebagai salah satu medium yang populer dan digemari, film memiliki daya jangkau yang luas untuk menghibur penonton dan menyampaikan pesan atau nilai-nilai yang terkandung di dalam ceritanya. Dalam film, penonton disuguhkan dengan imajinasi pengarang yang telah diolah sedemikian rupa menjadi bentuk audio-visual. Pencipta karya sastra bisa saja menciptakan karya yang dianggap tidak umum hingga dirasa aneh bagi khalayak. Hal itu sah-sah saja mengingat karya sastra adalah dunia ciptaan pengarang yang dapat bebas lepas dari realitas dunia fenomenal. Dengan sifat karya sastra yang berdiri sendiri dalam imajinasi pengarang, maka pengarang dapat mengotak-atik dunia karangannya sendiri dengan konvensi-konvensi yang tidak sesuai dengan dunia nyata. Salah satu film yang mengobrak-abrik konvensi dunia fenomenal adalah Lamun Sumelang (2019).
Film pendek Lamun Sumelang merupakan salah satu film yang menarik karena memadukan antara unsur dunia nyata dengan dunia magis. Film pendek bergenre horor, drama, dan misteri ini merupakan hasil garapan dari produser Egha Harismina dan Elena Rosmeisara yang disutradarai sekaligus ditulis oleh Ludy Oji Prastama. Film ini merupakan hasil kerja sama antara Ravacana Films dengan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara garis besar Lamun Sumelang mengisahkan tentang tokoh Agus, seorang ayah yang memaksakan diri mengikuti arahan dukun agar anaknya yang sakit bisa segera sembuh. Dukun tersebut meminta Agus untuk mencari tujuh orang tumbal demi kesembuhan anak perempuannya. Karena tidak ingin membunuh orang-orang yang tidak bersalah, ia membunuh orang-orang yang memiliki keinginan untuk bunuh diri dengan cara menjerat leher mereka sebelum mereka sempat menggantung dirinya sendiri. Orang-orang yang memiliki keinginan
untuk bunuh diri ini ditandai dengan adanya penampakan cahaya merah yang meluncur dari langit. Dalam hal ini, pengarang memasukkan antara unsur dunia imajinasi dengan fenomena nyata pulung gantung yang menggegerkan Gunung Kidul pada tahun-tahun belakang.
Mengupas Lamun Sumelang dengan Realisme Magis Wendy B. Faris
Faris memandang realisme magis sebagai strategi naratif yang menyatukan elemen realistis dan magis secara harmonis, sehingga keduanya tampak sama-sama wajar dalam dunia cerita. Dengan indikator elemen tak tereduksi, dunia fenomenal, keraguan yang tak terpecahkan, penggabungan dua dunia, serta gangguan pada waktu, identitas, dan ruang membuat teori Faris dapat menjadi landasan analisis yang memadai untuk mengurai cara Lamun Sumelang membangun dunia naratifnya.
- Elemen Tak Tereduksi (The Irreducible Element)
Komunikasi antar arwah dengan manusia yang masih hidup (tokoh Agus) dan arwah dengan sesama arwah dalam film Lamun Sumelang merupakan bagian dari realitas budaya yang diakui oleh karakter dalam film. Adegan komunikasi antara roh dengan yang hidup ini menjadi
irreducible karena tidak bisa dihapus atau dijelaskan secara rasional tanpa merubah struktur kepercayaan dalam film dan motivasi tokoh. Keberadaan roh tersebut dianggap wajar oleh tokoh dalam cerita dan bukan hanya efek artistik.
Tokoh Agus dalam film Lamun Sumelang memilih jalur mistis yaitu pergi ke dukun, ritual, serta kepercayaan terhadap ilmu gaib sebagai respons atas penyakit dan penderitaan yang dialami oleh dirinya dan keluarganya. Tokoh Agus ditugaskan mencari tujuh tumbal melalui dukun prewangan. Tokoh Agus melakukan ritual tolak bala dengan menebarkan beras dan bunga di halaman rumahnya sebagai upaya perlindungan atau pengobatan alternatif. Kepercayaan-kepercayaan ini bukan hanya latar budaya, tetapi mempengaruhi keputusan nyata tokoh serta konsekuensi emosional dan sosial dalam film. Karena film tidak menawarkan penjelasan ilmiah atau mereduksi praktik tersebut menjadi simbol saja, melainkan memperlakukan sebagai bagian dari sistem kepercayaan masyarakat yang aktif, maka unsur ini termasuk pada irreducible.
Kemiskinan dalam film Lamun Sumelang merupakan kondisi yang mendasari banyak pilihan magis dan mistis tokoh, termasuk berbuat ritual, berpaling ke dukun, atau percaya terhadap mitos. Unsur kemiskinan terlihat saat dialog antartokoh yang tidak mampu membawa
berobat anaknya yang sakit, hal tersebut justru dikaitkan dengan kepercayaan terhadap mitos dan praktik alternatif penyembuhan karena akses ke layanan medis dan sosial yang terbatas. Unsur kemiskinan ini jika dihilangkan akan sangat mengubah konflik dan alasan tokoh serta
tindakan magis/kepercayaan mistis menjadi kurang masuk akal sebagai pilihan utama. Karena itu, kemiskinan menjadi suatu elemen irreducible dalam film tersebut.
- Dunia Fenomenal (Phenomenal World)
Pulung gantung, fenomena bintang jatuh yang diyakini sebagai pertanda adanya orang yang ingin membunuh dirinya dengan cara gantung diri di Lamun Sumelang pada kenyataannya merupakan fenomena yang nyata terjadi di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Banyak masyarakat percaya bahwa fenomena ini menandakan adanya seseorang yang akan mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Kejadian fenomenal ini kemudian dileburkan ke dalam dunia imajinasi pengarang.
Agus yang merupakan tokoh utama dalam cerita ini terpaksa menemui dukun demi menyembuhkan anaknya yang sakit keras. Dukun tersebut kemudian memberikan syarat kepada Agus untuk memberikan 7 tumbal nyawa manusia sebagai syarat dari penyembuhan anaknya. Agus yang tidak sampai hati membunuh manusia akhirnya memanfaatkan fenomena
pulung gantung untuk membantunya menemukan orang-orang yang ingin bunuh diri. Apabila melihat pulung gantung, Agus akan segera berlari mencari ujung dari lintasan pulung gantung itu dan membunuh orang-orang yang akan menggantungkan diri di sekitar ujung lintasan.
Dengan begitu, Agus tidak akan merasa begitu bersalah karena ia membunuh orang yang memang menginginkan kematian, bukan membunuh orang secara sembarangan.
Salah satu latar tempat utama dalam film Lamun Sumelang adalah rumah gedek Agus dan keluarga kecilnya. Gedek sendiri merupakan dinding tipis tradisional Jawa yang terbuat dari anyaman bambu. Cuplikan adegan lain yang menonjol adalah pada saat Marni, istri Agus, tengah memasak menggunakan pawon di dalam rumah berdinding anyaman bambu. Pawon
sendiri merujuk pada dapur tradisional Jawa yang memanfaatkan tumpukan-tumpukan batu yang disusun sedemikian rupa sebagai tungku untuk memasak. Keberadaan pawon dan gedek dalam film ini menunjukkan bahwa Lamun Sumelang memiliki latar kisah yang berlokasi di tanah Jawa, tepatnya di Jawa Tengah atau Yogyakarta mengingat pawon dan gedek banyak dipergunakan di wilayah tersebut. Kain jarit yang digunakan Marni ketika memasak juga merupakan salah satu kunci penting dari latar dunia fenomenal Lamun Sumelang. Diperkirakan, kain jarit tersebut berasal dari Yogyakarta yang mana berkorelasi pula dengan
fenomena pulung gantung di Gunungkidul.
Dugaan bahwa dunia fenomenal Lamun Sumelang berlatar di Gunungkidul, Yogyakarta semakin diperkuat dengan masakan belalang goreng yang dibuat Marni dan pekerjaan Agus sebagai pengumpul belalang. Belalang goreng sendiri diketahui merupakan salah satu kuliner khas Gunung Kidul. Sejarah dari kuliner belalang goreng yang marak di Gunung Kidul berlatar belakang dari banyaknya belalang yang menjadi hama lahan pertanian warga. Keresahan akan merebaknya hama belalang ini kemudian membuat warga terpantik untuk menangkap dan mengolahnya menjadi bahan makanan.
- Keraguan yang Tak Terpecahkan (Unsettling Doubts)
Keraguan dalam film muncul ketika dukun memerintahkan Agus untuk mencari tumbal nyawa sebanyak 7 orang. Sepanjang cerita, Agus telah berhasil memenuhi tujuh tumbal nyawa tersebut. Akan tetapi penyakit anaknya tetap tidak dapat disembuhkan, bahkan anaknya justru
kehilangan nyawanya. Hal ini mengubah persepsi dan memunculkan keraguan akan kemampuan magis yang dimiliki dukun tersebut. Selain itu, keraguan yang lain muncul karena pertentangan ideologi antara kepercayaan terhadap mitos atau kepercayaan terhadap dunia
medis. Hal ini memunculkan keraguan akan persepsi bahwa si anak kehilangan nyawa karena tata cara ritual yang tidak tepat—mengingat Agus tidak mendapatkan tumbal nyawa dengan tangannya sendiri—atau karena tidak adanya pengobatan medis yang memadai.
Keraguan lain terdapat pada adegan di mana Agus nyaris membunuh istrinya sendiri. Tokoh Agus mengalami keraguan ketika mengetahui istrinya berniat menggantung dirinya sendiri demi tuntasnya 7 tumbal nyawa yang dipersyaratkan pada suaminya. Pada adegan ini, Agus mengalami dilema antara rasa kasih sayang kepada istrinya atau kewajiban untuk memenuhi tujuh tumbal demi kesembuhan anaknya. Agus mengalami konflik batin antara menuruti tuntutan memenuhi tumbal atau menuruti kata hatinya. Istrinya yang sudah tidak sanggup dengan beban moral dan tekanan keadaan kemudian meminta Agus untuk membunuh dirinya sebagai penggenap 7 tumbal nyawa sekaligus penebusan rasa bersalah akan kematian tumbal-tumbal lain di tangan suaminya. Hal ini memenuhi unsur keraguan yang tak terpecahkan.
Keraguan tak terpecahkan lain muncul saat tokoh Agus melihat dan berbincang dengan para arwah yang telah dibunuhnya. Hal ini tercermin dalam adegan di mana Agus duduk sendirian di dalam gubuk yang menyajikan realitas suasana pedesaan tanpa adanya petunjuk unsur-unsur magis. Namun tak berapa lama kemudian, arwah-arwah menghampiri tempatnya duduk dan mereka terlibat dalam satu interaksi.
- Penggabungan Dua Dunia (Merging Realms)
Lamun Sumelang menggabungkan antara realisme dunia nyata (dunia fenomenal) dengan dunia magis (kekuatan spiritual, dukun, dan roh halus) yang mana diterima begitu saja oleh tokoh-tokoh dalam cerita, baik oleh arwah itu sendiri maupun tokoh utama, Agus, yang
merupakan seorang manusia yang hidup. Tokoh-tokoh dalam cerita tersebut tidak mempersoalkan perdukunan atau kekuatan spiritual sebagai dunia yang berdiri sendiri, melainkan berdampingan dan melebur dengan dunia fenomenal yang ada sejak awal hingga akhir cerita. Bahkan, Agus dan para arwah pun menjalani interaksi sebagaimana interaksi
manusia pada umumnya. Uniknya, para arwah ini tetap menyadari posisi mereka sebagai arwah yang tidak mungkin dapat hidup kembali. Kepercayaan kepada dukun ini juga merupakan bukti jelas adanya pemaduan dua dunia yang berbeda, yakni magis dan realis.
- Gangguan pada Waktu, Identitas, dan Ruang
Gangguan ruang yang terjadi dalam film ini tercermin pada arwah yang membantu tokoh Agus dalam menunjukkan jalan yang mengarah kepada tumbal selanjutnya. Arwah kemudian dapat berpindah tempat secara cepat dengan cara menghilang dan tiba-tiba muncul kembali di tempat
yang berbeda. Meskipun begitu, tokoh Agus tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan—di mana ini berkorelasi pula pada penerimaan tokoh utama pada peleburan dua dunia yang dialaminya.
Gangguan identitas terjadi pada tokoh Marni dan Ningsih—puteri Agus—yang semula berwujud manusia hingga kemudian mengalami perubahan identitas menjadi arwah. Tokoh Marni memutuskan untuk menjadi tumbal selanjutnya dengan cara gantung diri di hutan. Seperti tumbal-tumbal sebelumnya, Marni mati di tangan Agus untuk memenuhi syarat sebagai
tumbal. Perubahan identitas terjadi setelah itu, dapat dilihat dari ciri fisik tokoh Marni yang sama dengan arwah lainnya yaitu mempunyai kulit pucat dan dapat berbicara dengan sesama arwah.
Tokoh Ningsih yang sakit terus menerus menjadi motif utama dari pencarian tumbal oleh tokoh Agus. Perubahan identitas Ningsih dari manusia menjadi arwah terjadi di akhir film. Ningsih tidak berhasil sembuh dari penyakitnya dan kemudian kehilangan nyawanya. Ini adalah titik paling tragis dan paling kuat dalam narasi.
Refleksi Akhir
Film pendek Lamun Sumelang karya Ludy Oji Prastama mengandung lima unsur realisme magis. Hal ini dibuktikan dengan adanya adegan-adegan yang termasuk ke dalam lima unsur realisme magis, yaitu; unsur magis yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah tetapi dianggap nyata dalam dunia cerita (irreducible element), dunia fenomenal (phenomenal world),
penggabungan dua alam (merging realms), keraguan yang tak terpecahkan (unsettling doubt), serta gangguan terhadap waktu, ruang, atau identitas (disruption of time, space, identity).
Daftar Pustaka
Andriana, W. D., Rengganis, R., & Sudikan, S. Y. (2024). Narasi Realisme Magis dalam Novel Mustika Zakar Celeng Karya Adia Puja. Edukasi Lingua Sastra, 22(2), 113-128.
Annisah, A., & Waliyudin, W. (2024). Unsur Realisme Magis Wendy B. Faris pada Cerpen “Pernikahan Goib” Karya ITS Zahra Chan Gacha. JIIP – Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 7(6), 5223-5229.
BBC Indonesia. (2017). Mitos Pulung Gantung dan Upaya Menangani Kasus Bunuh Diri di Gunung Kidul. URL: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41194325
Damono, S. J. (2018). Sastra Bandingan. Jakarta: Editum.
Faris, W. B. (2004). Ordinary Enchantments: Magical Realism and the Remystification of Narrative. Nashville: Vanderbilt University Press.
Inzaghi, M. R., Purnomo, M. H., & Komariya, S. 2024. “Realisme Magis dalam Film Jagat Arwah Karya Ruben Adrian (Tinjauan Lima Karakteristik Realisme Magis Wendy B. Faris)”. Jurnal Wicara, 3(1), 82-90.
Komariya, Siti. 2022. “Keberkaitan antar Unsur Realisme Magis Wendy B. Faris pada Novel Wingit Karya Sara Wijayanto”. Jurnal Wicara, 1(1), 15-21.
Luxemburg, J., Bal, M., & Weststeijn, W. (1984). Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Mustafidah, D. & Nurmalisa, D. (2022). Kritik Sosial dalam Bingkai Realisme Magis pada Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan. Jurnal Parafrasa: Bahasa, Sastra, dan Pengajaran, 4(2), 74-89.
Nasution, N. J. (2022). Belalang Goreng, Kuliner Ekstrem Khas Gunungkidul. URL: https://mediapijar.com/2022/10/belalang-goreng-kuliner-ekstrem khasgunungkidul/#:~:text=Sejarah%20dari%20adanya%20kuliner%20belalang,hama%20
dan%20mengolahnya%20menjadi%20makanan
Nugraha, D. (2021). Perkembangan Sejarah dan Isu-Isu Terkini dalam Sastra Bandingan. Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. 4(2), 163-173.
Prasetyo, D. E. (2025). Asal Usul Istilah “Pawon” dan Perannya dalam Budaya Jawa. URL:
https://rri.co.id/surabaya/lain-lain/1347190/asal-usul-istilah-pawon-dan-perannyadalam-budaya-jawa
Pratista, H. (2008). Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.
Safitri, F. N. & Ningsih, W. L. (2022). Pulung Gantung, Mitos Bunuh Diri di Gunungkidul.
URL: https://www.kompas.com/stori/read/2022/03/31/150000479/pulung-gantungmitos-bunuh-diri-di-gunungkidul
Wendy B, Faris. (1995). Scheherazade’s Children: Magical Realism and Postmodern Fiction Magical Realism: Theory, History, Community. Ed. L. Parkinson and W. Faris. Durham: Duke University Press.
Widyaningrum, A. & Hartarini, Y. M. (2023). Pengantar Ilmu Sastra. Bojong Pekalongan: PT Nasya Expanding Management.

