Blog

  • Pada Suatu Hari,

    Cinderella menari-nari

    sebab ingat kasihnya hendak kembali

    dua atau tiga bulan lagi

    menuntaskan janjinya pada sepatu kaca

    sayang beribu sayang

    dua tiga bulan hilang

    satu dua tahun pergi

    masa demi masa berganti

    Cinderella tak lagi menari

    ia menyanyi

    melolong-lolong panjang

    di gudang belakang

    sebab pangeran berkudanya yang datang

    membawa sepatu kacanya yang hilang:

    terpasang di kaki gadis lain

    Sukoharjo, 24 Januari 2025

    Karya Ervina Eka Safira

    Pada Suatu Hari, mengangkat ironi asmara sebagian perempuan yang menganggap cinta sebagai kisah indah dalam negeri dongeng dan menghabiskan waktunya untuk bergantung dan menunggu sesuatu yang tidak pasti. Puisi ini juga mengkritik tentang sebagian laki-laki yang begitu mudah memberikan janji tanpa memperhitungkan seberapa besar janji itu mempengaruhi kehidupan perempuan yang telah tenggelam dalam perasaan cinta. Secara garis besarnya, puisi ini menceritakan tentang pengkhianatan takdir.

  • Ya Sudah, Kepalang Tanggung

    Sebungkus losion anti nyamuk

    segelas kopi susu saset

    sekotak cokelat warung, dan

    seplastik telur gulung

    Tabik Nona-Nona terhormat dan Tuan-Tuan berpangkat!

    berbaju rapi, beraura mahal, tampak berisi dan semerbak wangi

    bolehkah kuikut bercengkerama?

    berbahagia?

    Oh, Tuhan

    begitulah kemarin ceritanya

    jadi bagaimana?

    apakah wajahmu akan ikut memerah dan menyembur ludah menghukum aku yang terlalu melampaui batasan diri?

    atau menghukum para angkuh yang terlalu menilai dirinya sendiri?

    Klaten, 3 Januari 2025

    Karya Ervina Eka Safira

    Ya Sudah, Kepalang Tanggung merupakan kritik sosial yang diajukan kepada Tuhan oleh seorang manusia biasa yang berasal dari kalangan menengah ke bawah tentang kalangan elit yang bersifat ekslusif dan memandang rendah kepada kalangan biasa dan pekerja yang ingin dianggap setara sebagaimana manusia. Apakah Tuhan akan melihat usaha itu sebagai upaya yang memalukan atau menghukum para elit yang menganggap diri mereka berada di atas segalanya.

  • Fordisa #1: Membedah Sosiologi Sastra Lewat Puisi “Aku” Karya Chairil Anwar

    Divisi Humas Biro Kurasi  baru saja melaksanakan program kerja Forum Diskusi Sastra Indonesia (Fordisa) perdana pada Sabtu, 17 Mei 2025. Fordisa yang dilaksanakan secara hybrid di selasar Gedung Serbaguna (GSG), membahas tentang puisi berjudul “Aku” karya Chairil Anwar, dipimpin oleh Wahyu Kartika Putra, mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2021 sebagai pembicara.

    Kegiatan Fordisa diawali dengan pembacaan puisi oleh Kartika. Ia membacakan puisi “Aku” dengan penghayatan yang penuh makna. Kartika mengakui bahwa kegemarannya membaca puisi dimulai sejak ia duduk di bangku kelas 2 SMP.

    “Puisi merupakan gerbang utama saat masuk sastra. Dimulai dari SMP kelas 8 saat diperintah oleh guru baca puisi ‘Aku’, dan mulailah mencintai sastra dan menjadi sering membaca puisi,” ujar Kartika.

    Kartika mengawali pembahasan sosiologi sastra dalam puisi “Aku” tentang historis pengarangnya, Chairil Anwar yang lahir di Medan dengan orang tua yang memiliki strata sosial tinggi serta pemegang tradisi yang kental. Menurut Kartika, Chairil Anwar ingin hidup lebih bebas. Ia hidup dalam kemiskinan dan tidak menerima bantuan dari orang tuanya karena memilih jalan hidup yang berbeda. 

    Melihat dari sisi historis sosiologi pengarang, Kartika menginterpretasikan bait-bait puisi tersebut sebagai bentuk kebebasan yang Chairil Anwar dambakan terhadap kekangan keluarga.

    Kalau sampai waktuku

    ‘Ku mau tak seorang‘kan merayu

    Tidak juga kauTak perlu sedu sedan itu

    Aku ini binatang jalang

    Dari kumpulannya terbuang

    Pada bait tersebut, Kartika menginterpretasikan sebagai seseorang yang ingin hidup bebas. Baris “Dari kumpulannya terbuang” diinterpretasikan bahwa ia dikucilkan dari keluarganya.

    Biar peluru menembus kulitku

    Aku tetap meradang menerjang

    Bait di atas diinterpretasikan sebagai penderitaan kemiskinan Chairil Anwar waktu di Batavia. 

    Luka dan bisa kubawa berlari

    Berlari

    Hingga hilang pedih peri

    Dan aku akan lebih tidak perduli

    Aku mau hidup seribu tahun lagi.

    Pada bait tersebut diinterpretasikan sebagai kegigihan pengarangnya dalam menjalani hidupnya, serta majas metafora pada baris “Aku mau hidup seribu tahun lagi”, sebagai perandaian kehidupan yang layak.

    Kartika juga membahas interpretasi puisi “Aku” dalam tiga zaman, yaitu zaman revolusi sebelum kemerdekaan, setelah kemerdekaan, dan masa kini. Pada revolusi sebelum kemerdekaan, puisi tersebut digunakan sebagai senjata revolusi untuk menyemangati pejuang supaya gigih mempertahankan eksistensi ke negaranya dalam menumpas kolonial. Bait “Kalau sampai waktuku, ‘Ku mau tak seorang’kan merayu, Tidak juga kau” diinterpretasikan sebagai bom waktu atau sebuah rasa di mana bangsa Indonesia tidak mau kalah dengan penjajah. Selanjutnya, bait “Aku ini binatang jalang, Dari kumpulannya terbuang” diinterpretasikan sebagai sebuah pribumi yang dikucilkan kolonial. 

    Pada masa setelah kemerdekaan sekitar tahun 1966-1998, puisi “Aku” diinterpretasikan sebagai perlawanan kepada penindasan ideologi oleh bangsa Indonesia sendiri. Pada masa kini, puisi “Aku” diinterpretasikan sebagai eksplorasi kedirian dan menunjukkan perlawanan kepada penyakit di zaman sekarang, khususnya mental health yang mengenai seseorang agar pulih dari penyakit itu.

    Puisi ini dimaknai sebagai ketidaknyamanan dalam suatu lingkungan entah itu dalam keluarga, negara, maupun diri sendiri. Puisi “Aku” yang sangat melegenda menunjukkan bagaimana Chairil Anwar disebut sebagai pelopor puisi modern. Menurut Kartika, Chairil Anwar dikatakan sebagai pelopor puisi modern karena penggunaan bahasa yang lugas, peletakkan tipografi tidak lengkap, menciptakan nada pada penegasan di akhir.

    Menurut Kartika, pembedahan karya sastra seperti ini berarti mencoba untuk memahami fenomena dunia yang diciptakan pengarang sebagai acuan realitas.

    Pada acara perdana ini, Kartika membagikan perasaan senangnya diundang sebagai pembicara. Ia mengaku lingkungan diskusi tersebut memberinya perasaan seperti kembali ke rumah. Selain itu, Kartika juga turut menyampaikan harapannya agar Fordisa bisa membuka ruang diskusi yang lebar bagi mahasiswa Sastra Indonesia.

    “Saya rasa untuk iklim diskusi yang dilakukan ini bagus sekali, melihat biro sebelumnya kurang efektif. Ini menjadi harapan baru untuk mewadahi ruang diskusi teman-teman Sastra Indonesia,” tuturnya.

    Penulis: Arih Azzahrah dan Amalia Vidhyana
    Reporter: Arih Azzahrah

  • Seabad Pram, Gundah yang Sama: Tiga Gundah Utara dan Relevansi Abadi Perjuangan Rakyat Kecil

    Di tengah perayaan yang khidmat, sebuah panggung teater membawakan cerita dari tiga sekawan dengan latar belakang profesi yang berbeda. Naskahnya yang apik membawa penonton ke dalam dinamika hubungan dan berbagai benturan kepentingan. Ini adalah inti dari naskah drama Tiga Gundah Utara, yang dipentaskan pada 28 April 2025 lalu di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (FIB Undip) sebagai bagian dari perayaan Hari Puisi dan Seabad Pram. 

    Lebih dari sekadar hiburan, pertunjukan ini lahir menjadi suara dari kegelisahan akan realitas sosial yang tak kunjung usai. Melalui karakter seorang polisi, jurnalis, dan pedagang sayuran, Tiga Gundah Utara membuka ruang diskusi tentang ketidakadilan, ketimpangan, dan bahkan sisa-sisa feodalisme yang sayangnya masih sangat mewarnai kehidupan kita. Pementasan ini menjadi penting karena ia menghubungkan warisan pemikiran Pram dengan isu-isu kontemporer yang mendesak untuk direfleksikan.

    Jika menilik profesi dari ketiga tokoh utama tersebut, terdapat perbedaan motivasi yang disajikan dengan lihai dalam mewujudkan perseteruan di antara mereka. Sebagai seorang polisi, Didik selalu siap dengan mentalitas “Siap, Ndan!” yang menggambarkan kepatuhan mutlak terhadap atasannya hingga membuatnya mudah menawarkan suap kepada Surya demi mengamankan sebuah informasi. Di sisi lain, Surya yang berpegang pada idealismenya sebagai seorang jurnalis tidak bisa menafikan keinginan untuk menemukan ayahnya yang ‘hilang’ serta kemiskinan yang melilitnya. Lebih tragis lagi karakter Kiwil yang harus menafkahi kedelapan adiknya. Desakan ekonomi membuatnya mengambil jalan pintas, tanpa peduli benar atau salah, demi perut-perut yang tidak kelaparan.

    Konflik yang masih sangat relevan dengan fenomena masa kini disorot dalam hubungan Didik dan Surya. Artikel dengan potensi besar dalam menyingkap praktik ketidakadilan yang ditulis Surya tentu saja menjadi ancaman bagi pihak-pihak tertentu, termasuk kemungkinan oknum dalam institusi kepolisian. Upaya suap yang dilakukan Didik tidak hanya menggambarkan adanya penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga upaya-upaya pembungkaman yang kerap dialami jurnalis di lapangan. Tentu suap bukan satu-satunya tantangan yang dihadapi jurnalis. Ada banyak jenis tantangan lainnya, mulai dari sabotase alat kerja, teror, bahkan kadang sebuah berita harus dibayar dengan nyawa, persis yang dialami Surya dalam drama ini. Tiga Gundah Utara berhasil dengan cermat mengangkat isu kebebasan jurnalis yang kian hari kian tipis dan terkikis.

    Tidak berhenti pada perjuangan jurnalis dengan segala dilemanya menjaga integritas media, drama ini juga mengupas perjuangan kaum marginal dalam mendapatkan hidup yang layak. Sosok Handoko yang menggunakan rakyat kecil sebagai pion untuk menjalankan bisnis ilegalnya adalah representasi dari ketimpangan kekuasaan yang sesungguhnya. Sosok Kiwil yang ternyata merupakan kaki tangan Handoko dalam pendistribusian narkoba dan delapan adiknya merupakan potret buram kelompok-kelompok yang dilupakan negara. Mereka berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan kerap kali mengambil jalan-jalan yang tidak seharusnya. Ini tentu merupakan teguran bagi pemerintah untuk bisa lebih sigap dalam mengatasi masalah sosial yang mendasar. Adanya perbedaan kontras antara kemudahan hidup Didik dan kemelaratan ekstrem yang dialami tokoh Surya dan Kiwil menegaskan jurang ketimpangan sosial yang begitu dalam. Kemiskinan tidak boleh dipelihara. Pemerintah tidak boleh melestarikan kelompok rentan tanpa perlindungan dan keberpihakan yang nyata.

    Isu-isu mengenai ketidakadilan sosial, ketimpangan, dan feodalisme yang diangkat Tiga Gundah Utara terasa sangat selaras dengan semangat dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Pada seratus tahun kelahirannya, gagasan-gagasan Pram mengenai penindasan, perjuangan kelas, dan pentingnya kemanusiaan masih terus mendampingi kita. Karya-karyanya di masa lalu menjadi bukti bisu dalam menyulut semangat melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan. Pembungkaman dan pembredelan yang dialami Pram sepanjang hidupnya juga semakin mempertegas perjuangannya dalam membela kebebasan berpikir dan berekspresi.

    Pementasan Tiga Gundah Utara menggemakan kritik-kritik terhadap sistem sosial yang menindas rakyat kecil. Eksploitasi kaum miskin oleh Handoko, perjuangan hidup Kiwil yang berat, tekanan patuh yang dialami Didik dengan status polisinya, sampai perlawanan terhadap sensor dan represi intelektual yang dialami Surya merupakan kasus-kasus yang seolah tak pernah habis dimakan waktu. Menampilkan naskah ini dalam perayaan Seabad Pram bukan hanya sebagai bentuk penghormatan kepada sosok sastrawan besar, tetapi juga sebagai pengingat bahwa perjuangan Pram belum selesai. Melalui teater, keresahan kolektif dikemas menjadi ajakan merenungkan realitas sosial hari ini, sekaligus menggugah semangat perubahan. Dari panggung itulah, suara-suara yang lama terpinggirkan kembali bersuara, mengingatkan kita bahwa keadilan bukan sekadar cita-cita, melainkan perjuangan yang harus terus kita nyalakan bersama.

    penulis: Nadhira Mazaya A. dan Allegra Dyah Rinjani P.

  • Malam yang Menggema: Ajang Refleksi dalam 1 Abad Pram x Hari Puisi

    Senin malam, 28 April 2025, bait-bait puisi menggema di Gedung Serba Guna (GSG), Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Diponegoro (UNDIP), dalam sebuah acara kolaborasi antara Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI), Teater Emper Kampus (EMKA), dan Wadah Musik Sastra (WMS) bertajuk “Peringatan 1 Abad Pram x Hari Puisi”.
    Acara ini digelar untuk memperingati Hari Puisi Nasional sekaligus merayakan 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer. Momen ini menjadi ajang refleksi atas peran seni dan sastra dalam lintasan sejarah dan relevansinya di masa kini, dengan melibatkan mahasiswa
    dan masyarakat umum secara langsung.

    Acara dibuka dengan penyerahan hadiah Lomba Puisi Parlansa, kompetisi puisi antar mahasiswa yang telah diadakan sejak Maret 2025 oleh Departemen Mikatbud KMSI.
    Kompetisi ini menghasilkan tiga pemenang utama: M. Irham Maolana (Universitas Diponegoro) dengan puisi “Kami yang Sukar Mengeja Bahasa-Bahasa Janabijana” kembali menegaskan dominasinya sebagai juara berulang. Disusul Hasna Fata Hamidah (Universitas
    Sebelas Maret) yang dengan puisi “Biarkan Kami Meniti di Kertas Soak”. Posisi ketiga diraih oleh Naishela Putri Larasati (SMA Muhammadiyah 1 Klaten) lewat puisi “Merajut Perih dalam Kamar Gelap”.

    Penampilan monolog oleh Intan Adelia Putri menyoroti pergulatan batin perempuan dalam menghadapi tekanan sosial, diikuti pembacaan puisi oleh Rifani Aulia Putri. Pertunjukan puisi yang berbeda ditampilkan melalui Puisi Rampak “Tujuan Kita Satu, Ibu!” karya Wiji Thukul, dibawakan oleh Atikah Nur Hazimah dan Tathum Kautsarulqolbi. Keduanya berhasil menyampaikan pesan perlawanan terhadap ketidakadilan dengan intensitas yang memukau.
    Tidak kalah menggugah, musikalisasi puisi oleh Kurnain Akbar dan Meiyanti Arini menghidupkan karya Chairil Anwar melalui alunan gitar dan vokal yang menyentuh.

    Bagian penutup diisi oleh pementasan lakon “Tiga Gundah Utara” oleh Teater EMKA, disutradarai Damar Hisam Dwi Pasha. Drama ini mengkritik praktik korupsi aparat dan kesenjangan ekonomi melalui kisah tiga tokoh; Surya (jurnalis idealis), Kiwil (pengangguran), dan Didik (polisi korup). Dengan setting rumah bedeng dari seng dan
    pencahayaan dramatis, pertunjukan ini berhasil menggambarkan resistensi kaum marginal terhadap sistem yang menindas.

    Sutradara Damar Hisam Dwi Pasha menegaskan bahwa lakon Gundah Utara diharapkan dapat menjadi cermin realitas sosial. “Kami ingin penonton tidak hanya terhibur, tetapi juga tersadar bahwa masalah struktural masih membelenggu masyarakat kecil,” ucap Damar.

    Kolaborasi tiga organisasi ini tidak lepas dari tantangan. Revalina, perwakilan KMSI, mengungkapkan, “Keterbatasan anggaran dan waktu latihan yang singkat memaksa kami bekerja ekstra. Tapi itu semua terbayar dengan acara yang berhasil dan antusias penonton
    yang meriah.”

    Kamelyta Zuhraloka Aulia (Sastra Inggris) terkesan dengan musikalisasi puisi: “Aku suka banget semuanya jujur. Setiap performance bawa aku ngerasain perasaan yang berbeda tapi
    intinya sama. Kalo yang paling memorable itu penampilan Diponegoro punya Chairil Anwar, entah kenapa cara penampil mengekspresikan puisi sambil diiringi alunan gitar bisa ngebuat aku ingin memberontak juga. Tambahan, aku suka banget pembawaan lagunya Efek Rumah Kaca di akhir, pas banget kaya merangkum keseluruhan penampilan”.

    Acara ini tidak hanya menjadi panggung seni, tetapi juga pengingat akan peran sastra dalam merawat kesadaran kritis. Seperti disampaikan Atikah Nur Hazimah sebagai penampil puisi, “Puisi bukan sekadar kata-kata, tapi alat untuk menyuarakan keadilan.”

    Kolaborasi ini harus menjadi pemicu, bukan sekadar pemanis. Harapan besar tertumpah agar perayaan seperti ini terus dihidupkan di masa depan, menggerakan semangat perjuangan lewat sastra dan seni. Bersama, kita tak hanya merayakan warisan, tapi menciptakan sejarah
    baru.

    Penulis: Cikal Gibrani M

  • Kurasi: Upaya Membangkitkan Kembali Ruh Diskusi, Literasi, dan Publikasi dalam Tubuh Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia 

    Kurasi: Upaya Membangkitkan Kembali Ruh Diskusi, Literasi, dan Publikasi dalam Tubuh Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia 

    Senin lalu, tepatnya pada tanggal 21 April 2025 di Parjo, Mulawarman, Biro Kurasi melakukan temu pertama dengan para pejuang dunia riset dan diskusinya A.K.A fungsionaris tahun 2025. Temu pertama ini dihadiri oleh seperangkat anggota dan pengurus dari biro Kurasi sendiri seperti Redaksi, Humas, dan Publikasi; kemudian Fungsionaris Departemen Pengkajian dan Penalaran (Jiran) sebagai sang ibu; serta fungsionaris dari Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) sebagai kepala dari semua Departemen KMSI. Dimulai dari pukul 19.00 WIB, acara berjalan dengan lancar dan damai. Terlihat ada diskusi yang terjalin dari berbagai arah. Perkenalan diri, pembahasan mengenai program kerja ke depannya, riset dan penulisan, tema-tema bedah diskusi, hingga pertukaran pengalaman personal. Perbincangan berlangsung secara santai tetapi terasa penuh dan berdaging: rapi menemani gurihnya hidangan di meja makan. 

    Defina, ketua dari Biro Kurasi 2025, dalam sambutannya menyatakan bahwa biro Kurasi adalah perjalanan awal bidang riset di Sastra Indonesia, FIB. Hal ini bukan omong kosong semata, mengingat Biro Kurasi sendiri secara resmi baru terbangun dari tidur panjangnya pada 1 Maret 2025 lalu sebagai bentuk baru dari biro Warisan (Wadah Riset Sastra Indonesia) dan Kumis (Komunitas Literasi Sastra Indonesia) yang kemudian dilebur menjadi satu bentuk kesatuan utuh sebagai biro Kurasi atas prakarsa Bintang dan Mutiara sebagai ketua dan wakil ketua KMSI 2025. 

    Meneruskan tujuan mulia dari biro lamanya, Kurasi yang dibawahi langsung oleh Departemen Jiran ini mengabdikan diri sebagai wadah berkarya, berpendapat, berdiskusi, serta penyaluran minat bagi mahasiswa Sastra Indonesia, utamanya dalam hal riset dan kepenulisan. Vindianti, Kepala Departemen Jiran 2025, dalam wawancara menyatakan bahwa secara garis besarnya biro Kurasi didirikan sebagai jawaban atas observasi kebutuhan mahasiswa Sastra Indonesia terhadap media penyaluran bakat dan minat mereka. Mimpi-mimpi mulia ini pun disokong dengan antusiasme mahasiswa Sastra Indonesia yang mana kemudian melahirkan seperangkat fungsionaris yang siap mengemban serta memperjuangkan mimpi yang sama dalam mengembangkan dunia diskusi, literasi, dan riset dalam tubuh Sastra Indonesia, Universitas Diponegoro. 

    Rencana ke depannya Kurasi 2025 akan melaksanakan dua program kerja utama, yakni rutinan dan riset. Program rutinan sendiri ditargetkan akan diadakan 2 minggu sekali dengan kegiatan yang berbeda-beda pada tiap pertemuannya. Kegiatan itu bisa berupa diskusi santai terkait isu yang tengah hangat diperbincangkan, bedah buku, ulas film, dan sebagainya, yang mana program ini akan didesain dengan kebutuhan dan minat masyarakat Sastra Indonesia. Program kedua yakni riset yang akan menjadi sorotan utama dari biro ini. Program riset ini sendiri rencananya akan diadakan 2 bulan sekali dengan penelitian dalam berbagai bahasan, utamanya tentang Sastra Indonesia dan dunianya.  

    Seiring keberjalanannya nanti, Kurasi juga akan menunaikan janjinya sebagai wadah sekaligus media bagi warga Sastra Indonesia untuk berekspresi dan menyalurkan karyanya melalui program open submission. Harapannya semoga niat baik ini gayung bersambut dengan jiwa-jiwa para pujangga, akademisi, aktivis, dan berbagai personalia warga Sastra Indonesia yang masih malu-malu kucing memamerkan cakarnya pada dunia. 

    Penulis: Ervina Eka Safira