Category: Uncategorized

  • Analisis Realisme Magis dalam Film Lamun Sumelang: Kajian Unsur Realisme Magis Wendy B. Faris

    Judul Film : Lamun Sumelang

    Produser : Egha Harismina dan Elena Rosmeisara

    Sutradara : Ludy Oji Prastama

    Penulis Skenario : Ludy Oji Prastama

    Tanggal Rilis : 19 Desember 2021

    Rumah Produksi : Ravacana Film

    Genre : Horor, pendek, drama, misteri

    Durasi : 18 menit 11 detik

    Sebagai salah satu medium yang populer dan digemari, film memiliki daya jangkau yang luas untuk menghibur penonton dan menyampaikan pesan atau nilai-nilai yang terkandung di dalam ceritanya. Dalam film, penonton disuguhkan dengan imajinasi pengarang yang telah diolah sedemikian rupa menjadi bentuk audio-visual. Pencipta karya sastra bisa saja menciptakan karya yang dianggap tidak umum hingga dirasa aneh bagi khalayak. Hal itu sah-sah saja mengingat karya sastra adalah dunia ciptaan pengarang yang dapat bebas lepas dari realitas dunia fenomenal. Dengan sifat karya sastra yang berdiri sendiri dalam imajinasi pengarang, maka pengarang dapat mengotak-atik dunia karangannya sendiri dengan konvensi-konvensi yang tidak sesuai dengan dunia nyata. Salah satu film yang mengobrak-abrik konvensi dunia fenomenal adalah Lamun Sumelang (2019).

    Film pendek Lamun Sumelang merupakan salah satu film yang menarik karena memadukan antara unsur dunia nyata dengan dunia magis. Film pendek bergenre horor, drama, dan misteri ini merupakan hasil garapan dari produser Egha Harismina dan Elena Rosmeisara yang disutradarai sekaligus ditulis oleh Ludy Oji Prastama. Film ini merupakan hasil kerja sama antara Ravacana Films dengan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara garis besar Lamun Sumelang mengisahkan tentang tokoh Agus, seorang ayah yang memaksakan diri mengikuti arahan dukun agar anaknya yang sakit bisa segera sembuh. Dukun tersebut meminta Agus untuk mencari tujuh orang tumbal demi kesembuhan anak perempuannya. Karena tidak ingin membunuh orang-orang yang tidak bersalah, ia membunuh orang-orang yang memiliki keinginan untuk bunuh diri dengan cara menjerat leher mereka sebelum mereka sempat menggantung dirinya sendiri. Orang-orang yang memiliki keinginan
    untuk bunuh diri ini ditandai dengan adanya penampakan cahaya merah yang meluncur dari langit. Dalam hal ini, pengarang memasukkan antara unsur dunia imajinasi dengan fenomena nyata pulung gantung yang menggegerkan Gunung Kidul pada tahun-tahun belakang.

    Mengupas Lamun Sumelang dengan Realisme Magis Wendy B. Faris

    Faris memandang realisme magis sebagai strategi naratif yang menyatukan elemen realistis dan magis secara harmonis, sehingga keduanya tampak sama-sama wajar dalam dunia cerita. Dengan indikator elemen tak tereduksi, dunia fenomenal, keraguan yang tak terpecahkan, penggabungan dua dunia, serta gangguan pada waktu, identitas, dan ruang membuat teori Faris dapat menjadi landasan analisis yang memadai untuk mengurai cara Lamun Sumelang membangun dunia naratifnya.

    • Elemen Tak Tereduksi (The Irreducible Element)

    Komunikasi antar arwah dengan manusia yang masih hidup (tokoh Agus) dan arwah dengan sesama arwah dalam film Lamun Sumelang merupakan bagian dari realitas budaya yang diakui oleh karakter dalam film. Adegan komunikasi antara roh dengan yang hidup ini menjadi
    irreducible karena tidak bisa dihapus atau dijelaskan secara rasional tanpa merubah struktur kepercayaan dalam film dan motivasi tokoh. Keberadaan roh tersebut dianggap wajar oleh tokoh dalam cerita dan bukan hanya efek artistik.

    Tokoh Agus dalam film Lamun Sumelang memilih jalur mistis yaitu pergi ke dukun, ritual, serta kepercayaan terhadap ilmu gaib sebagai respons atas penyakit dan penderitaan yang dialami oleh dirinya dan keluarganya. Tokoh Agus ditugaskan mencari tujuh tumbal melalui dukun prewangan. Tokoh Agus melakukan ritual tolak bala dengan menebarkan beras dan bunga di halaman rumahnya sebagai upaya perlindungan atau pengobatan alternatif. Kepercayaan-kepercayaan ini bukan hanya latar budaya, tetapi mempengaruhi keputusan nyata tokoh serta konsekuensi emosional dan sosial dalam film. Karena film tidak menawarkan penjelasan ilmiah atau mereduksi praktik tersebut menjadi simbol saja, melainkan memperlakukan sebagai bagian dari sistem kepercayaan masyarakat yang aktif, maka unsur ini termasuk pada irreducible.

    Kemiskinan dalam film Lamun Sumelang merupakan kondisi yang mendasari banyak pilihan magis dan mistis tokoh, termasuk berbuat ritual, berpaling ke dukun, atau percaya terhadap mitos. Unsur kemiskinan terlihat saat dialog antartokoh yang tidak mampu membawa
    berobat anaknya yang sakit, hal tersebut justru dikaitkan dengan kepercayaan terhadap mitos dan praktik alternatif penyembuhan karena akses ke layanan medis dan sosial yang terbatas. Unsur kemiskinan ini jika dihilangkan akan sangat mengubah konflik dan alasan tokoh serta
    tindakan magis/kepercayaan mistis menjadi kurang masuk akal sebagai pilihan utama. Karena itu, kemiskinan menjadi suatu elemen irreducible dalam film tersebut.

    • Dunia Fenomenal (Phenomenal World)

    Pulung gantung, fenomena bintang jatuh yang diyakini sebagai pertanda adanya orang yang ingin membunuh dirinya dengan cara gantung diri di Lamun Sumelang pada kenyataannya merupakan fenomena yang nyata terjadi di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Banyak masyarakat percaya bahwa fenomena ini menandakan adanya seseorang yang akan mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Kejadian fenomenal ini kemudian dileburkan ke dalam dunia imajinasi pengarang.

    Agus yang merupakan tokoh utama dalam cerita ini terpaksa menemui dukun demi menyembuhkan anaknya yang sakit keras. Dukun tersebut kemudian memberikan syarat kepada Agus untuk memberikan 7 tumbal nyawa manusia sebagai syarat dari penyembuhan anaknya. Agus yang tidak sampai hati membunuh manusia akhirnya memanfaatkan fenomena
    pulung gantung untuk membantunya menemukan orang-orang yang ingin bunuh diri. Apabila melihat pulung gantung, Agus akan segera berlari mencari ujung dari lintasan pulung gantung itu dan membunuh orang-orang yang akan menggantungkan diri di sekitar ujung lintasan.
    Dengan begitu, Agus tidak akan merasa begitu bersalah karena ia membunuh orang yang memang menginginkan kematian, bukan membunuh orang secara sembarangan.

    Salah satu latar tempat utama dalam film Lamun Sumelang adalah rumah gedek Agus dan keluarga kecilnya. Gedek sendiri merupakan dinding tipis tradisional Jawa yang terbuat dari anyaman bambu. Cuplikan adegan lain yang menonjol adalah pada saat Marni, istri Agus, tengah memasak menggunakan pawon di dalam rumah berdinding anyaman bambu. Pawon
    sendiri merujuk pada dapur tradisional Jawa yang memanfaatkan tumpukan-tumpukan batu yang disusun sedemikian rupa sebagai tungku untuk memasak. Keberadaan pawon dan gedek dalam film ini menunjukkan bahwa Lamun Sumelang memiliki latar kisah yang berlokasi di tanah Jawa, tepatnya di Jawa Tengah atau Yogyakarta mengingat pawon dan gedek banyak dipergunakan di wilayah tersebut. Kain jarit yang digunakan Marni ketika memasak juga merupakan salah satu kunci penting dari latar dunia fenomenal Lamun Sumelang. Diperkirakan, kain jarit tersebut berasal dari Yogyakarta yang mana berkorelasi pula dengan
    fenomena pulung gantung di Gunungkidul.

    Dugaan bahwa dunia fenomenal Lamun Sumelang berlatar di Gunungkidul, Yogyakarta semakin diperkuat dengan masakan belalang goreng yang dibuat Marni dan pekerjaan Agus sebagai pengumpul belalang. Belalang goreng sendiri diketahui merupakan salah satu kuliner khas Gunung Kidul. Sejarah dari kuliner belalang goreng yang marak di Gunung Kidul berlatar belakang dari banyaknya belalang yang menjadi hama lahan pertanian warga. Keresahan akan merebaknya hama belalang ini kemudian membuat warga terpantik untuk menangkap dan mengolahnya menjadi bahan makanan.

    • Keraguan yang Tak Terpecahkan (Unsettling Doubts)

    Keraguan dalam film muncul ketika dukun memerintahkan Agus untuk mencari tumbal nyawa sebanyak 7 orang. Sepanjang cerita, Agus telah berhasil memenuhi tujuh tumbal nyawa tersebut. Akan tetapi penyakit anaknya tetap tidak dapat disembuhkan, bahkan anaknya justru
    kehilangan nyawanya. Hal ini mengubah persepsi dan memunculkan keraguan akan kemampuan magis yang dimiliki dukun tersebut. Selain itu, keraguan yang lain muncul karena pertentangan ideologi antara kepercayaan terhadap mitos atau kepercayaan terhadap dunia
    medis. Hal ini memunculkan keraguan akan persepsi bahwa si anak kehilangan nyawa karena tata cara ritual yang tidak tepat—mengingat Agus tidak mendapatkan tumbal nyawa dengan tangannya sendiri—atau karena tidak adanya pengobatan medis yang memadai.

    Keraguan lain terdapat pada adegan di mana Agus nyaris membunuh istrinya sendiri. Tokoh Agus mengalami keraguan ketika mengetahui istrinya berniat menggantung dirinya sendiri demi tuntasnya 7 tumbal nyawa yang dipersyaratkan pada suaminya. Pada adegan ini, Agus mengalami dilema antara rasa kasih sayang kepada istrinya atau kewajiban untuk memenuhi tujuh tumbal demi kesembuhan anaknya. Agus mengalami konflik batin antara menuruti tuntutan memenuhi tumbal atau menuruti kata hatinya. Istrinya yang sudah tidak sanggup dengan beban moral dan tekanan keadaan kemudian meminta Agus untuk membunuh dirinya sebagai penggenap 7 tumbal nyawa sekaligus penebusan rasa bersalah akan kematian tumbal-tumbal lain di tangan suaminya. Hal ini memenuhi unsur keraguan yang tak terpecahkan.

    Keraguan tak terpecahkan lain muncul saat tokoh Agus melihat dan berbincang dengan para arwah yang telah dibunuhnya. Hal ini tercermin dalam adegan di mana Agus duduk sendirian di dalam gubuk yang menyajikan realitas suasana pedesaan tanpa adanya petunjuk unsur-unsur magis. Namun tak berapa lama kemudian, arwah-arwah menghampiri tempatnya duduk dan mereka terlibat dalam satu interaksi.

    • Penggabungan Dua Dunia (Merging Realms)

    Lamun Sumelang menggabungkan antara realisme dunia nyata (dunia fenomenal) dengan dunia magis (kekuatan spiritual, dukun, dan roh halus) yang mana diterima begitu saja oleh tokoh-tokoh dalam cerita, baik oleh arwah itu sendiri maupun tokoh utama, Agus, yang
    merupakan seorang manusia yang hidup. Tokoh-tokoh dalam cerita tersebut tidak mempersoalkan perdukunan atau kekuatan spiritual sebagai dunia yang berdiri sendiri, melainkan berdampingan dan melebur dengan dunia fenomenal yang ada sejak awal hingga akhir cerita. Bahkan, Agus dan para arwah pun menjalani interaksi sebagaimana interaksi
    manusia pada umumnya. Uniknya, para arwah ini tetap menyadari posisi mereka sebagai arwah yang tidak mungkin dapat hidup kembali. Kepercayaan kepada dukun ini juga merupakan bukti jelas adanya pemaduan dua dunia yang berbeda, yakni magis dan realis.

    • Gangguan pada Waktu, Identitas, dan Ruang

    Gangguan ruang yang terjadi dalam film ini tercermin pada arwah yang membantu tokoh Agus dalam menunjukkan jalan yang mengarah kepada tumbal selanjutnya. Arwah kemudian dapat berpindah tempat secara cepat dengan cara menghilang dan tiba-tiba muncul kembali di tempat
    yang berbeda. Meskipun begitu, tokoh Agus tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan—di mana ini berkorelasi pula pada penerimaan tokoh utama pada peleburan dua dunia yang dialaminya.

    Gangguan identitas terjadi pada tokoh Marni dan Ningsih—puteri Agus—yang semula berwujud manusia hingga kemudian mengalami perubahan identitas menjadi arwah. Tokoh Marni memutuskan untuk menjadi tumbal selanjutnya dengan cara gantung diri di hutan. Seperti tumbal-tumbal sebelumnya, Marni mati di tangan Agus untuk memenuhi syarat sebagai
    tumbal. Perubahan identitas terjadi setelah itu, dapat dilihat dari ciri fisik tokoh Marni yang sama dengan arwah lainnya yaitu mempunyai kulit pucat dan dapat berbicara dengan sesama arwah.

    Tokoh Ningsih yang sakit terus menerus menjadi motif utama dari pencarian tumbal oleh tokoh Agus. Perubahan identitas Ningsih dari manusia menjadi arwah terjadi di akhir film. Ningsih tidak berhasil sembuh dari penyakitnya dan kemudian kehilangan nyawanya. Ini adalah titik paling tragis dan paling kuat dalam narasi.

    Refleksi Akhir

    Film pendek Lamun Sumelang karya Ludy Oji Prastama mengandung lima unsur realisme magis. Hal ini dibuktikan dengan adanya adegan-adegan yang termasuk ke dalam lima unsur realisme magis, yaitu; unsur magis yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah tetapi dianggap nyata dalam dunia cerita (irreducible element), dunia fenomenal (phenomenal world),
    penggabungan dua alam (merging realms), keraguan yang tak terpecahkan (unsettling doubt), serta gangguan terhadap waktu, ruang, atau identitas (disruption of time, space, identity).

    Daftar Pustaka

    Andriana, W. D., Rengganis, R., & Sudikan, S. Y. (2024). Narasi Realisme Magis dalam Novel Mustika Zakar Celeng Karya Adia Puja. Edukasi Lingua Sastra, 22(2), 113-128.

    Annisah, A., & Waliyudin, W. (2024). Unsur Realisme Magis Wendy B. Faris pada Cerpen “Pernikahan Goib” Karya ITS Zahra Chan Gacha. JIIP – Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 7(6), 5223-5229.

    BBC Indonesia. (2017). Mitos Pulung Gantung dan Upaya Menangani Kasus Bunuh Diri di Gunung Kidul. URL: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41194325


    Damono, S. J. (2018). Sastra Bandingan. Jakarta: Editum.


    Faris, W. B. (2004). Ordinary Enchantments: Magical Realism and the Remystification of Narrative. Nashville: Vanderbilt University Press.


    Inzaghi, M. R., Purnomo, M. H., & Komariya, S. 2024. “Realisme Magis dalam Film Jagat Arwah Karya Ruben Adrian (Tinjauan Lima Karakteristik Realisme Magis Wendy B. Faris)”. Jurnal Wicara, 3(1), 82-90.

    Komariya, Siti. 2022. “Keberkaitan antar Unsur Realisme Magis Wendy B. Faris pada Novel Wingit Karya Sara Wijayanto”. Jurnal Wicara, 1(1), 15-21.

    Luxemburg, J., Bal, M., & Weststeijn, W. (1984). Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

    Mustafidah, D. & Nurmalisa, D. (2022). Kritik Sosial dalam Bingkai Realisme Magis pada Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan. Jurnal Parafrasa: Bahasa, Sastra, dan Pengajaran, 4(2), 74-89.

    Nasution, N. J. (2022). Belalang Goreng, Kuliner Ekstrem Khas Gunungkidul. URL: https://mediapijar.com/2022/10/belalang-goreng-kuliner-ekstrem khasgunungkidul/#:~:text=Sejarah%20dari%20adanya%20kuliner%20belalang,hama%20
    dan%20mengolahnya%20menjadi%20makanan

    Nugraha, D. (2021). Perkembangan Sejarah dan Isu-Isu Terkini dalam Sastra Bandingan. Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. 4(2), 163-173.

    Prasetyo, D. E. (2025). Asal Usul Istilah “Pawon” dan Perannya dalam Budaya Jawa. URL:
    https://rri.co.id/surabaya/lain-lain/1347190/asal-usul-istilah-pawon-dan-perannyadalam-budaya-jawa

    Pratista, H. (2008). Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.

    Safitri, F. N. & Ningsih, W. L. (2022). Pulung Gantung, Mitos Bunuh Diri di Gunungkidul.
    URL: https://www.kompas.com/stori/read/2022/03/31/150000479/pulung-gantungmitos-bunuh-diri-di-gunungkidul

    Wendy B, Faris. (1995). Scheherazade’s Children: Magical Realism and Postmodern Fiction Magical Realism: Theory, History, Community. Ed. L. Parkinson and W. Faris. Durham: Duke University Press.

    Widyaningrum, A. & Hartarini, Y. M. (2023). Pengantar Ilmu Sastra. Bojong Pekalongan: PT Nasya Expanding Management.

  • Analisis Konflik Batin Pemeran Utama dalam Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati: Kajian dengan Pendekatan Psikologi Sastra

    Novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati karya Brian Krishna yang terbit di awal tahun 2025 ini nyatanya cukup populer sepanjang tahun. Boleh jadi hal tersebut dikarenakan premis novel ini yang nampak pada sinopsisnya cukup menjanjikan dan relatable dengan banyak orang dewasa ini. Bagaimana tidak? Pikiran bunuh diri karena kerasnya hidup bukan hanya Ale, si tokoh utama, yang mengalami. Ditambah lagi Ale adalah penderita depresi—salah satu penyakit mental yang sering ditemui di Indonesia (Astutik et al., 2020; Prisie, 2025). Depresi yang diderita Ale sebenarnya bukan tanpa alas an, ia tidak diterima dan didukung oleh keluarganya, memiliki masalah dengan kepercayaan diri dan body image, serta kesepian. Hal-hal tersebut kemungkinan besar adalah sesuatu yang membuat pembaca merasa relate dengan apa yang dihadapi Ale mengingat kebanyakan pembaca novel ini adalah remaja sampai dewasa muda. 

    Ale adalah satu dari banyaknya laki-laki di Indonesia yang tanggap mencari bantuan ke psikiater. Padahal laki-laki yang depresif dan berpikir untuk bunuh diri biasanya diawali dari rasa malu dan enggan mencari bantuan mental karena dibebani oleh stigma (Oliffe et al., 2016). Meski telah mendapat pertolongan Ale berakhir berencana mengakhiri hidupnya. Mengingat audiens pembacanya, hal tersebut boleh jadi merupakan hal yang relatable. Kesehatan mental di dunia, termasuk di Indonesia belakangan ini menjadi lebih serius. Remaja dan dewasa muda makin rentan terkena penyakit mental, menyakiti diri sendiri, hingga melakukan bunuh diri bahkan ahli kesehatan di dunia mulai memberi peringatan tentang kasus ini (Lay, 2025). Data keluaran Ipsos pada Oktober 2024 menyatakan bahwa kesehatan mental menduduki peringkat pertama sebagai permasalahan yang dihadapi orang-orang di seluruh dunia (Nadler & Dunne, 2024). Indonesia dengan rata-rata 38% di tahun 2023 menyetujui argumen tersebut. Maka tak ayal jika kesehatan mental menjadi perhatian di bidang kesehatan dan memiliki urgensi untuk segera ditindaklanjuti (Ipsos Global Health Service Monitor – 2023, 2023). Ditambah lagi alasan Ale mengidap depresi juga karena body image. Studi menyatakan bahwa orang obesitas memiliki risiko 55% lebih tinggi untuk mengidap depresi karena obesitas mengganggu fungsi otak dan regulasi hormon (Fu et al., 2023).

    Novel ini lantas membangkitkan kesadaran dengan memberi “solusi sederhana” untuk menangkis pikiran bunuh diri dengan semangkuk mie ayam. Tentu dibalik gagalnya bunuh diri tidak semata-mata dikarenakan mie ayam, oleh karenanya tulisan ini ada untuk mengungkap apa yang terjadi di benak Ale sampai-sampai ia batal mengakhiri hidupnya. Mungkinkah ada pergulatan batin dalam diri Ale? Benarkah relatabilitas yang membuat novel ini populer karena mengangkat isu kesehatan mental? Semuanya akan ditelaah dengan pendekatan psikologi sastra pada penelitian ini karena sejatinya karya sastra adalah cerminan dunia. Boleh jadi besar kemungkinan apa yang dialami Ale selain dialami oleh orang lain juga menjadi pelajaran bagi mereka bahwa pada akhirnya masih ada banyak hal dalam hidup yang dapat memberi arti. Ale makan mie ayam sebelum (akhirnya tidak jadi) mati.

    Pertarungan Id, Ego, dan Superego

    Sigmund Freud membagi struktur kepribadian manusia dalam tiga komponen utama, yaitu id, ego, dan superego. Hal ini turut berlaku pada tokoh Ale dalam novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati. Ketiga aspek tersebut berinteraksi secara dinamis dan bertabrakan satu sama lain, sehingga membentuk benturan yang terwujud dalam konflik batin yang kompleks.

    • Id: Dorongan Naluriah untuk Mengakhiri Penderitaan 

        Komponen id dalam diri Ale bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), yakni suatu prinsip dari sebuah tindakan impulsif yang dilakukan semata-mata untuk mencari kepuasan instan. Id dalam bentuk dorongan untuk mengakhiri hidup muncul akibat manifestasi Ale terhadap kebebasan atas konflik hidup yang kompleks. Dalam hal ini, tindakan mengakhiri hidup dipandang sebagai bentuk pemenuhan hasrat id. Pernyataan emosional seperti “Ia merasa satu-satunya cara untuk berhenti sakit adalah berhenti hidup” menggambarkan bahwa pikiran destruktif Ale merupakan hasil dominasi id yang berorientasi pada pemenuhan dorongan emosional semata, tanpa mempertimbangkan realitas eksternal atau nilai moral yang berlaku. 

        • Ego: Rasionalisasi dan Negosiasi terhadap Impulsivitas Id

        Ego berfungsi sebagai pengendali yang bekerja berdasarkan prinsip realitas (reality principle). Dalam diri Ale, ego muncul ketika ia mulai mempertanyakan makna dari kematian dan mempertimbangkan konsekuensi dari tindakannya. Ego menjadi wadah rasionalisasi yang mencoba menengahi desakan impulsif id dengan nilai-nilai moral yang dijaga oleh superego. Proses kerja ego tergambar ketika Ale menunda niatnya untuk bunuh diri dan memutuskan untuk menikmati seporsi mie ayam. Hal ini berarti bahwa ego yang terwujud dalam seporsi mie ayam berperan penting dalam menengahi pikiran sadar dan bawah sadar. 

        • Superego: Moral dan Kemanusiaan 

        Superego Ale berfungsi sebagai struktur moral yang menginternalisasi nilai-nilai etika, ajaran sosial, serta rasa tanggung jawab terhadap kehidupan. Hal ini dibuktikan dengan terhapusnya keinginan Ale untuk mengakhiri hidup karena ia merasakan makna dalam hidup. Pada titik ini, superego menekan dorongan id dan memperkuat kontrol ego agar Ale tidak larut dalam keinginan destruktif. Keputusan tersebut menandakan tercapainya keseimbangan psikis, saat ego berhasil mengharmonisasikan dorongan naluriah id dengan kendali moral superego. Superego menuntun Ale menuju penerimaan terhadap realitas hidup sekaligus mendorong munculnya empati dan apresiasi terhadap kehidupan.

        Faktor Internal dan Eksternal yang Memperkuat Ketegangan Psikologis Tokoh Utama

        Faktor internal dalam suatu karya sastra berisikan konflik batin yang berasal dari dalam diri tokoh, seperti kecemasan, rasa iri, depresi, ketidakpuasan terhadap diri sendiri, hingga dorongan dan pertentangan yang diungkapkan melalui konsep psikologis seperti id, ego, dan superego. Dalam novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati, terdapat beberapa faktor internal yang mempengaruhi perkembangan konflik tokoh Ale dalam rangkaian peristiwa pada cerita. Berawal dari pergulatan batin yang menyebabkan dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Faktor internal yang mendorong keputusannya tersebut diantaranya:

        • Kesendirian atau Kesepian

        Disebutkan dalam novel bahwa latar belakang tokoh Ale adalah seorang pekerja kantoran yang merantau di ibu kota. Di tengah rutinitas hariannya yang monoton dan melelahkan, dia selalu mengharapkan kehidupan seperti orang lain yang selepas bekerja dapat bercengkrama dengan keluarga atau orang terkasih. Akan tetapi, yang terjadi padanya adalah kenyataan mengenaskan bahwa dirinya tidak memiliki siapapun yang dekat dengannya, bahkan keluarganya di rumah juga tidak pernah menanyakan kabarnya di perantauan.

        … Tampaknya hari ini aku akan menghabiskan malam-malam sendiri lagi. Aku mengusap wajahku beberapa kali. Rasanya lelah sekali. Kota yang dulu kupikir bisa menyelamatkanku dari sepinya hidup, ternyata justru menjadi kota yang membuatku benar-benar ingin berhenti menjalani hidup. (Khrisna, 2025: 4)

        Disebutkan dalam cerita bahwa kesepian yang dialami tokoh Ale menyebabkan dia mempertanyakan kehidupannya. Dia dijatuhkan oleh kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan awal dari rencana hidupnya untuk pergi merantau. Hari-harinya yang menyedihkan itu berhasil menurunkan gairahnya untuk menjalani hidup.

        • Depresi Akut

        Depresi yang dimiliki oleh Ale ini berakar pada luka masa kecil yang disebabkan oleh faktor eksternal, seperti teman dan keluarga. Pada novel diceritakan bahwa sejak kecil tokoh Ale sudah menerima perlakuan buruk dari teman-teman dan orang sekitarnya, tetapi hal tersebut justru diwajarkan oleh orang tuanya dan Ale hanya diminta untuk bersabar menerima hal-hal tersebut. dari situlah muncul kemarahan kekecewaan dan kebencian Ale terhadap dirinya sendiri. Perasaan-perasaan itu yang terus menghantuinya hingga Ale dewasa. 

        … Sebab di rumah itu selain mimpi kepercayaan diri semangat juang dan kasih sayang yang turut dikubur oleh orang tuaku di halaman belakang adalah keinginanku untuk tetap menjalani hidup. (Khrisna, 2025: 13)

        Kutipan tersebut dapat menjelaskan bahwa perlakuan yang diberikan oleh orang tuanya ketika Ale masih kecil membuatnya tumbuh menjadi seorang yang tidak percaya diri. Ale menjadi seseorang yang penuh keragu-raguan dalam mengejar impiannya. Selain itu, dia juga merasa tidak pantas untuk siapapun. Hingga pada akhir ketika Ale memutuskan untuk berhenti dari kehidupannya, dia masih sempat beranggapan bahwa kehadirannya adalah masalah dalam kehidupan orang lain. 

        • Keterpurukan Atas Kegagalan

        Masih berkaitan dengan poin sebelumnya, dalam hidupnya, tokoh Ale sangat sering mendapatkan perlakuan buruk dari orang lain. Semua perlakuan buruk itu mengacu pada berbagai kekurangan yang dimilikinya. Hal tersebut menyebabkan tokoh Ale menilai kehidupannya tak seindah kehidupan orang lain dan pandangannya tentang itu justru tumbuh menjadi sugesti yang membentuk keraguan pada dirinya sendiri. Ale terus menerus merasa bahwa dirinya tidak pantas dan tidak akan pernah memiliki kehidupan yang menyenangkan seperti orang lain.

        • Keputusasaan dan Kekecewaan 

        Am I living? or just passing time?”  Dalam cerita disebutkan bahwa tokoh Ale merasa lelah menjalani kehidupannya. Ia merasa tidak memiliki keberhasilan dalam hidupnya. Poin ini masih berkaitan dengan poin-poin sebelumnya. Ketidakpercayaan diri yang terbentuk akibat sistem pengasuhan orang tua akhirnya membuat tokoh Ale juga merasa tidak pantas untuk siapapun dan ragu untuk mencapai sesuatu. Semuanya itu membuat dirinya putus asa.

        Akhirnya faktor-faktor tersebut lah yang mendorong keinginan tokoh Ale untuk menuruti id dan merealisasikan egonya. Selain dorongan dari dalam diri tokoh, juga terdapat faktor eksternal yang mempengaruhi pengambilan keputusan tokoh Ale. 

        Selain dipengaruhi oleh dorongan dari dalam diri, konflik batin yang dialami Ale juga dipertegas oleh faktor-faktor eksternal yang bersumber dari lingkungan sosial, tekanan pekerjaan, serta hubungan antar manusia yang kurang mendukung keseimbangannya secara emosional. Unsur eksternal ini menjadi pemicu utama yang memperdalam penderitaan psikologis Ale karena menimbulkan rasa keterasingan dan ketidakberdayaan dalam menghadapi realitas hidupnya. Dalam novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati, terdapat beberapa faktor eksternal yang turut memperkuat konflik batin tokoh Ale, antara lain sebagai berikut:

        • Tekanan Pekerjaan dan Lingkungan Sosial

        Ale digambarkan sebagai pekerja kantoran yang hidup di lingkungan kerja yang keras dan kompetitif. Rutinitas yang monoton, tuntutan produktivitas tinggi, serta minimnya dukungan sosial membuatnya merasa terjebak dalam kehidupan yang kering secara emosional. Situasi ini memunculkan stres berkepanjangan yang memperdalam benturan antara keinginan pribadinya untuk memperoleh kebahagiaan (id) dengan kenyataan sosial yang mengekangnya (superego). Hal ini tergambar melalui keluhan Ale terhadap kehidupan kota yang “menelan waktu dan tenaga, tetapi tak pernah memberi ruang untuk bernapas.” (Khrisna, 2025: 7). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tekanan lingkungan telah menekan sisi kemanusiaan Ale dan memperburuk kondisi kejiwaannya.

        • Minimnya Dukungan Sosial 

        Ale tinggal di tengah masyarakat urban yang cenderung individualistis, di mana hubungan antarmanusia hanya sebatas formalitas tanpa kedekatan emosional. Tidak adanya figur pendukung atau teman tempat berbagi membuat Ale semakin terjebak dalam perasaan sepi. Dalam perspektif psikologis, ketiadaan dukungan sosial semacam ini dapat memperbesar risiko depresi serta memperkuat perasaan tidak berharga. Sejalan dengan pandangan Freud, lemahnya relasi sosial dapat memicu dominasi dorongan-dorongan negatif dalam diri seseorang (Freud dalam Yusuf, 2008: 53).

        • Keterasingan Budaya dan Tantangan Hidup di Perantauan

        Sebagai seorang perantau, Ale menghadapi benturan nilai antara budaya asal yang hangat dan kehidupan kota yang serba individualis. Ketidaksesuaian ini menimbulkan rasa tidak nyaman dan kehilangan arah, hingga membuatnya meragukan makna hidup yang dijalani. Faktor eksternal ini akhirnya memperkuat penderitaan batin yang sudah lebih dulu tumbuh dari dalam dirinya dan menjadi alasan utama di balik keputusan tragisnya.

        Dengan demikian, tekanan eksternal yang dihadapi Ale tidak hanya memperparah konflik batin yang telah ada, tetapi juga memperlihatkan keterkaitan antara tekanan sosial dan ketegangan psikologis individu. Perpaduan antara kesepian batin dan himpitan lingkungan inilah yang membentuk kompleksitas konflik kejiwaan tokoh utama dalam novel “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati.”

        Penyelesaian Konflik Batin Tokoh Ale Berkontribusi pada Perkembangan Karakter dan Makna Cerita Secara Keseluruhan

        Penyelesaian konflik batin tokoh Ale terjadi melalui rangkaian peristiwa tak terduga yang mengubah cara pandangnya terhadap hidup. Awalnya, ia ingin mengakhiri hidup setelah menikmati seporsi mie ayam kesukaannya, tetapi rencana itu terganggu oleh kenyataan bahwa penjual mie ayamnya telah meninggal. Penyelesaian konflik batin ini memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan karakter dan makna cerita. Tokoh Ale berkembang dari sosok rapuh dan terpinggirkan menjadi pribadi yang berani menghadapi hidup. Kesadaran baru ini mengajarkan bahwa penerimaan dan penghargaan diri tidak selalu datang dari luar, tetapi juga dari dalam diri sendiri dan dari orang-orang yang tulus. Penyelesaian konflik batin tokoh Ale dapat dilihat melalui kutipan berikut.

        Tiga puluh tujuh tahun aku hidup, ini kali pertama aku merasakan sebuah perasaan yang tak bisa aku jelaskan bagaimana besarnya kebanggaan itu di hatiku. Perasaan itu justru hadir dari orang terburuk yang pernah aku kenal Namun hangatnya jauh lebih terasa dibandingkan perasaan hormat yang diberikan oleh orangtua yang melahirkanku.  (Khrisna, 2025:82)

        Kutipan di atas menunjukkan tokoh Ale mengalami pergolakan batin ketika merasa dihargai untuk pertama kali melalui tokoh Murad, sosok yang dianggap kriminal. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan dan penerimaan sosial sangat berpengaruh pada pemulihan harga diri tokoh Ale. Konflik batin yang selama ini berakar dari penolakan dan perundungan mulai berubah menjadi kepercayaan diri. Hal ini memperkuat karakter tokoh Ale sebagai sosok yang belajar menemukan arti penghargaan. Makna cerita berkembang pada gagasan bahwa penghargaan dan kasih tidak selalu datang dari tempat yang dianggap benar oleh masyarakat.

        Ternyata selama ini banyak yang melihatku. Aku pikir aku sendirian. Tapi ternyata tidak. Aku saja yang tak mampu melihat mereka.  (Khrisna, 2025:127)

        Kutipan di atas menunjukkan tokoh Ale menyadari bahwa kesepian yang dialaminya bukan karena benar-benar ditinggalkan, melainkan karena ia memilih menutup diri. Ini menjadi titik balik dalam penyelesaian konflik batin tokoh Ale. Dari yang awalnya memiliki perasaan tak diinginkan, kini berubah menjadi seseorang yang merasa dilihat dan diakui. Karakter tokoh Ale berkembang dari tertutup menjadi terbuka dengan orang lain. Makna cerita menegaskan pentingnya membuka diri sebagai jalan keluar dari kesepian.

        Di setiap langkah kaki yang kuambil di jalanan setapak sebelah rel kereta ini, aku merasakan sesuatu yang hangat di dalam diriku. Sebuah rasa hangat yang tak bisa aku deskripsikan. Seperti ada sebagian kecil dari trauma masa kecilku yang perlahan sembuh. (Khrisna, 2025:150)

        Kutipan di atas menandai tahap penyelesaian konflik batin tokoh Ale. Rasa hangat adalah simbol penerimaan diri dan berdamai dengan masa lalu. Trauma masa kecil yang selama ini menjadi sumber luka batin tokoh Ale mulai perlahan terurai melalui pertemuannya dengan tokoh Bu Marni. Hal ini menunjukkan perkembangan karakter tokoh Ale yang tidak lagi hanya berani menghadapi dunia luar, tetapi juga berdamai dengan dirinya sendiri. Makna cerita diperdalam dengan gagasan bahwa penyelesaian luka batin itu bertahap dan terkadang melalui bantuan orang lain.

        Pertemuan dengan Pak Uju ini memberikan jawaban yang selama ini aku cari. Rupanya pertanyaan-pertanyaanku selama ini dijawab bukan dari nasihat, bukan dari khotbah-khotbah agama, melainkan dari pengalaman orang-orang kecil yang justru berdampak besar bagi hidupku.  (Khrisna, 2025:170)

        Kutipan di atas menunjukkan tokoh Ale menemukan makna hidup melalui pengalaman hidup orang kecil yang ia temui secara kebetulan, yaitu Pak Uju. Melalui pertemuan itu, tokoh Ale mampu melihat nilai dari kehidupan sehari-hari dari berbagai sudut pandang. Kemudian, karakter tokoh Ale juga berkembang menjadi sosok yang reflektif dan lebih bijak. Makna cerita menggarisbawahi bahwa jawaban hidup sering kali datang dari tempat yang sederhana.

        Aku tidak tahu sudah berapa kali aku memutuskan untuk mati dan mencoba bunuh diri selama 37 tahun aku hidup. Namun sekarang, aku telah memutuskan untuk tidak membiarkan kematian menghampiriku lebih dulu  (Khrisna, 2025:208)

        Kutipan di atas menunjukkan puncak penyelesaian konflik batin tokoh Ale. Ia bukan hanya berhenti ingin mati, tapi juga memilih untuk hidup. Hal ini menunjukkan perubahan besar karakter tokoh Ale dari korban perundungan dan kesepian menjadi individu yang mampu memaknai hidupnya sendiri. Penyelesaian konflik ini memberi kontribusi besar terhadap makna cerita secara keseluruhan bahwa hidup, seberat apa pun, tetap layak diperjuangkan.

        Referensi:

        Astutik, E., Hidajah, A. C., Tama, T. D., Efendi, F., & Li, C.-Y. (2020). Prevalence and determinants of depressive symptoms among adults in Indonesia: A cross-sectional population-based national survey. Nursing Forum, 56(1), 37–44. https://doi.org/10.1111/nuf.12508

        Fu, X., Wang, Y., Zhao, F., Cui, R., Xie, W., Liu, Q., & Yang, W. (2023). Shared biological mechanisms of depression and obesity: Focus on adipokines and lipokines. Aging. https://doi.org/10.18632/aging.204847

        Ipsos Global Health Service Monitor—2023 (p. 45). (2023). Ipsos. https://www.ipsos.com/en-id/global-health-service-monitor-2023

        Lay, K. (2025, December 10). High youth death rates are an ‘emerging crisis’, global health study warns. The Guardian. https://www.theguardian.com/global-development/2025/oct/12/global-burden-disease-study-high-youth-death-rates-drugs-alcohol-suicide-emerging-crisis

        Nadler, J., & Dunne, M. (2024). Ipsos World Mental Health Day 2024 Global Charts (p. 24) [Charts]. Ipsos. https://www.ipsos.com/en-id/ipsos-world-mental-health-day-report-2024

        Oliffe, J. L., Ogrodniczuk, J. S., Gordon, S. J., Creighton, G., Kelly, M. T., Black, N., & Mackenzie, C. (2016). Stigma in Male Depression and Suicide: A Canadian Sex Comparison Study. Community Mental Health Journal, 52(3), 302–310. https://doi.org/10.1007/s10597-015-9986-x

        Prisie, M. Y. (2025). Jakarta ranks highest in depression, anxiety risk, free checkup shows. ANTARA. https://en.antaranews.com/amp/news/379209/jakarta-ranks-highest-in-depression-anxiety-risk-free-checkup-shows

        Yusuf, Syamsu. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

      1. Nguri-uri Budaya Jawa melalui Pementasan Ketoprak “Ande-Ande Lumut”

        Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) menggelar pementasan Ketoprak Ande-Ande Lumut dalam rangka Dies Natalis ke-60. Drama ketoprak ini dipentaskan di Gedung Serbaguna (GSG) FIB Undip pada Jumat, 17 Oktober 2025 pukul 19.00 WIB. Pagelaran ini berkolaborasi antara dosen, tenaga pendidik, serta mahasiswa FIB dengan menggandeng Sanggar Ketoprak Srimulyo dari Desa Jurang Belimbing.

        Pementasan ketoprak di FIB sebagai bentuk perayaan Dies Natalis FIB sudah dilaksanakan sejak tahun 2023. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang mengangkat unsur politik dan sejarah, pada tahun ini kisah yang dibawakan adalah cerita rakyat Ande-Ande Lumut yang dianggap lebih ringan dan sederhana. Ketoprak Ande-Ande Lumut menceritakan tentang Panji Inu Kertapati yang baru menikahi Putri Galuh Candra Kirana. Namun, karena perkara besar, sang putri terusir dari istana. Hal ini membuat Panji Inu Kertapati gundah gulana dan menyamar menjadi rakyat biasa dengan nama Ande-Ande Lumut untuk mencari belahan jiwanya.

        Laura Andri Retno Martini selaku pimpinan produksi dari pagelaran ketoprak ini menyampaikan tujuannya membawakan cerita Ande-Ande Lumut berangkat dari keresahan penonton mahasiswa yang tidak memahami bahasa Jawa.

        “Saya mencoba mengambil tema ini karena Ande-Ande Lumut cerita yang sederhana, yang cukup dikenal masyarakat, sehingga mahasiswa yang tidak paham bahasa Jawa dapat menangkap alurnya,” jelasnya.

        Ia menambahkan bahwa pagelaran ketoprak ini juga bertujuan untuk mewujudkan visi-misi fakultas yang berfokus pada masalah maritim dan pesisir.

        “Visi-misi fakultas adalah concern pada masalah maritim dan pesisir. Ketoprak merupakan bagian kesenian pesisir, makanya kita ambil itu sebagai kegiatan tahunan untuk melestarikan budaya,” terang Laura.

        Laura juga berharap agar FIB dapat menjaga komitmennya untuk menjadikan ketoprak sebagai kegiatan konservasi budaya.

        Sementara itu, Arrayan Mukti Rahardian, salah satu mahasiswa Sastra Indonesia yang ikut bermain dalam pementasan ketoprak ini mengatakan bahwa adanya pagelaran ini memberi jalan bagi FIB untuk berkolaborasi dengan sanggar sekitar.

        “Kebetulan kita berada di FIB yang linear membawa nama besar budaya, tentunya ketoprak memberi jalan untuk FIB agar budaya-budaya yang ada dapat dikolaborasikan dengan sanggar yang berada di sekitar FIB,” ujarnya.

        Penulis: Ara & Lia

        Publikasi:

        Dokumentasi: Zahidan

      2. Ayo Kita Bertandang kepada Omakase

        ayo, ayo 

        kita pergi makan

        ke restoran mana saja

        pesan yang mahal 

        tiada risau

        ayo, ayo 

        kita pergi makan

        bertandang kepada omakase

        menyuap ikan Jepun

        patuh dengan tuan koki

        ayo, ayo

        kita pergi makan

        usahlah beli sate serangga

        atau susu ikan atau

        bening kelor

        tiada boleh lancang kita

        itu kepunyaan sultan

        duitnya selangit

        kita kepada omakase saja

        duitnya tidak seberapa

        Karya Bebingah

      3. Halte yang Sibuk Itu Tubuhmu

        Aku melihat halte dalam dirimu.

        Ramai penuh berdesak sesak manusia 

        manusia yang diuber waktu.

        Tubuhmu. Halte yang sibuk itu. 

        Tersimpul apas dan tabah. Meladeni pelancong. 

        “Tiketnya, Kak.” 

        Kau sibuk dilahap halte itu. Dan

        diriku asyik mengunyah sibukmu

        satu per satu.

        Sampai kepada babakku,

        “mau ke mana, Kak?” kepomu.

        Terkesiaplah diriku.

        E e eh,

        koridor mana yang menuju 

        hatimu? Begitu pintaku.

        Tubuhmu. Halte yang sibuk itu. 

        Sekonyong-konyong disergap sunyi, 

        salah-salah kau tenat mergawe.

        Boleh diriku berumah di haltemu?

        kubersamai kau terpenjara di situ.

        Karya Bebingah

      4. Aku, Kamu dan Senja kala itu

        “Menurut lo, perpisahan itu apa, La?” Lula bergeming. Netra matanya mengamati hamparan gedung-gedung tinggi pencakar langit dan hiruk-pikuk keramaian ibu kota sore ini. 

        Dari atas balkon kamar apartemennya, Lula bisa melihat dengan jelas pemandangan di depannya itu. Ada banyak sekali kendaraan yang berlomba-lomba ingin sampai di tujuan. Keramaian tersebut bahkan sampai menciptakan kemacetan. Puas dengan apa yang ia lihat, kini gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah Aleena. 

        “Ada dua hal tentang perpisahan,”  ujarnya membuka suara. 

        “Merelakan dan mengikhlaskan.” Kini Lula sudah menatap Aleena sepenuhnya. 

        “Merelakan, karena sosoknya tak lagi ada dan mengikhlaskan, karena harus melepaskan.” Aleena diam untuk mendengarkan, kemudian ia menatap tepat pada kedua bola mata hitam legam milik gadis itu. 

        “Lo udah ikhlas, La?” tanyanya penasaran. 

        Lula menggeleng. “Belum,” jawabnya jujur. 

        “Sakit, ya, La. Harus melepaskan yang belum pernah kita genggam.” Aleena dapat merasakan apa yang Lula rasakan saat ini. 

        Mendengar penuturan itu, Lula hanya bisa tertawa kecil untuk menanggapinya. “Nggak ada perpisahan yang menyenangkan, Al.” 

        “Semua yang berbentuk perpisahan pasti menyakitkan,” ucapnya. 

        “Beberapa orang berjumpa dalam keadaan yang salah. Bertemu, untuk berpisah.” Lula tersenyum getir.

        Gadis itu memusatkan pandangannya ke arah langit jingga yang sudah terlihat kemerah-merahan. Sejenak, Lula terdiam. Perlahan memori-memori yang sudah ia kubur dalam-dalam, kini kembali muncul memenuhi benaknya. 

        ♧♧♧

        “Lo suka es krim?”

        “Suka!” Lula menjawab dengan mata yang berbinar dan penuh semangat. 

        Laki-laki itu kemudian tertawa kecil dan mengacak rambut Lula dengan gemas. “Besok kita beli es krim.” 

        Belum sempat Lula menjawab, laki-laki itu kembali menyelanya. “Tapi ada syaratnya.”

        “Apa syaratnya?” tanya Lula cepat. 

        “Lo harus sembuh,” sahut laki-laki itu lagi. Tangan kanan yang tadi ia pakai untuk mengacak rambut gadis itu, kini ia gunakan untuk mengelus surai Lula dengan lembut. 

        Lula mengangguk patuh, kemudian Naverro mengangkat jari kelingkingnya ke arah gadis itu. “Janji dulu, La,” perintahnya. 

        Lula tersenyum dan menautkan jari kelingking mereka. 

        “Jangan sakit lagi, La.” Naverro bergumam lirih. Matanya menatap sendu ke arah gadis itu. 

        “Gue nggak bisa liat lo gini,” ujarnya serius. 

        Lula mengerutkan keningnya heran, lalu melepaskan tautan jari kelingking mereka. Kini gadis itu sudah menatap jelas laki-laki yang duduk tepat di samping brankarnya. “Kenapa kamu nggak bisa kalo liat aku sakit gini?” 

        “Gue juga nggak tahu.” Naverro berkata jujur. Ia juga tidak mengetahui pasti apa alasannya. 

        “Tapi setiap kali gue liat lo terbaring lemah di brankar, rasanya gue juga ikutan sakit, La,” lirihnya.

        Laki-laki itu kemudian melingkarkan kedua tangannya pada perut rata Lula. Sementara Lula diam, membiarkan lelaki itu memeluk tubuhnya dan menenggelamkan wajahnya di sana. 

        ♧♧♧

        “Dream Books yang dia titipin ke bunda buat lo, udah lo baca?” tanya Aleena membuyarkan lamunan Lula. 

        Seketika gadis itu tersadar dan baru mengingat dengan Dream Books milik lelaki itu. Segera, Lula beranjak dari tempatnya dan berjalan ke arah nakas yang berada tepat di samping tempat tidurnya. Aleena juga menyusul gadis itu dari belakang. Memperhatikan pergerakan Lula sebentar, lalu berjalan ke arah pinggiran ranjang dan kemudian mendudukkan tubuhnya di sana. 

        Setelah menemukan Dream Books yang di cari, Lula mendekati Aleena dan ikut serta menjatuhkan bokongnya di pinggiran ranjang. Dengan memperhatikan covernya sebentar, gadis itu kemudian membuka halaman pertamanya. 

        Tulisan tangan bertinta hitam milik laki-laki itu tertera indah di dalam sana. Lula pun tersenyum, lalu mulai membacanya. 

        Gue pengin hidup lebih lama.
        Biar gue bisa selalu lihat Alula senyum, ketawa dan manja ke gue. 

        Lula menarik sudut bibirnya ke atas. Membaca tulisan itu, membuatnya kembali mengingat momen di mana lelaki itu mengucapkan hal yang serupa. 

        “Naverro.” Lula memanggil nama laki-laki itu sambil menyendokkan es krimnya. 

        Sesuai dengan janji Naverro beberapa waktu lalu, kini keduanya sedang berada di sebuah toko es krim yang menjual berbagai banyak rasa. 

        Lelaki itu menoleh. “Hm?” 

        “Apa hal yang paling kamu syukuri di dunia ini?” tanya Lula tiba-tiba. 

        Naverro tak langsung menjawab. Ia diam beberapa saat, lalu tak lama kemudian ia baru menjawabnya. 

        “Gue bersyukur masih punya bunda.”

        “Dan, gue juga bersyukur karena bisa ketemu sama lo.” Laki-laki itu tersenyum hangat menatap Lula, tangannya terangkat untuk membersihkan sudut bibir gadis itu yang kotor akibat terkena es krim. 

        “Kalo yang paling kamu suka?” tanya Lula lagi. 

        “Banyak.” 

        “Apa?” 

        Tanpa banyak berpikir, Naverro kembali menjawab sembari menatap gadis itu dalam. 

        “Gue suka dimasakin bunda.”

        “Gue suka dipeluk bunda.”

        “Gue suka lihat lo senyum.”

        “Gue suka lihat lo ketawa.”

        “Dan, gue juga suka lihat lo manja ke gue.”

        Lula tersenyum ketika mengingat itu. Kemudian tangannya bergerak lagi untuk membuka halaman selanjutnya. Pada lembar kedua, Lula dikejutkan dengan selembar polaroid yang jatuh ke lantai.

        Gadis itu pun segera mengambilnya. Lula mengamati polaroid itu sebentar. Ia mendapati foto dirinya dan juga laki-laki itu yang di ambil saat mereka sedang berjalan-jalan ke pantai. 

        Baru lembar kedua saja, Lula sudah kembali di hantui oleh bayang-bayang lelaki itu. Rasa rindu di hatinya kembali membuncah. Seakan larut dalam pikirannya, kini ingatan gadis itu kembali membawanya pada 1 tahun lalu.

        ♧♧♧

        “Gue janji bakal buat lo bahagia terus, La.” Tepat di bawah senja kala itu, Naverro melontarkan janjinya. 

        Tetapi entah mengapa perasaan gadis itu tidak sesenang seperti biasanya. Ia malah seperti orang yang sedang takut akan sesuatu. 

        “Kalo semisal lo pergi, gimana?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut gadis itu. 

        “Gue nggak akan pergi ke mana-mana, La.”

        “Gue di sini, sama lo,” ujar Naverro meyakinkan. 

        “Dan kalaupun seandainya gue pergi, berarti tugas gue di dunia ini udah selesai.”

        “Maksud lo?”

        Laki-laki itu menggeleng. “Nggak ada, lupakan.” 

        Naverro mengacak rambut gadis itu dengan senyuman hangatnya, seolah sedang tidak terjadi apa-apa. Sementara Lula diam. Dirinya masih bisa menangkap jelas apa yang laki-laki itu katakan barusan. Pikirannya menjadi tidak tenang. 

        ♧♧♧

        Lula baru menyadari mengapa dirinya saat itu selalu merasakan kegelisahan. Ternyata itu menjadi percakapan, sekaligus pertemuan akhir dari mereka. 

        Alula tersenyum getir.

        Lucu. 

        Takdir yang mempertemukan kita dengan ketidaksengajaan. Lalu, takdir kembali mengajarkan tentang kehilangan pula.

        Bandung, 15 Desember 2020

        Karya Gladis Lutvia Hajrah

      5. Pada Suatu Sore, Pada Permulaan dan Pengakhiran Babad II

        “barangkali di antara semuanya

        aku bukan Shinta

        kau bukan Rahwana

        atau tak ada juga Rama

        melainkan hanya kita yang berdiri di atas keteguhan masing-masing

        akan cinta yang fana

        menjijikkan

        penuh darah, nanah, dan luka

        sebab Rahwana mengemis kasih

        Shinta mengais rupa

        dan Rama mengejar singgasananya

        jadi apa yang ingin kaucari?

        apa yang ingin kucari?

        pencarian apa yang kita tuju

        di antara segala yang fana, dan—

        segala deru yang maha ragu”

        lalu kau hanya diam saja

        tersenyum saja

        membiarkanku berpikir jauh

        amat jauh

        sejauh-jauhnya

        Karya Ervina Eka Safira

      6. Pada Suatu Sore, Pada Permulaan dan Pengakhiran Babad I

        “kau Shinta dan aku Rahwana

        kau rupawan dan aku buruk rupa

        bagaimana jika lembaran akhir dari hidupku adalah lembaran awal dari asmaraloka yang membelai halus jaritmu?”

        tanyaku

        “sebab tak selamanya lila legawa berujung pada akhir yang semestinya diharap

        jika hukum alam berkata bahwasanya putih akan membawa pada yang putih

        dan merah akan membawa pada yang merah

        barangkali tak akan kita temukan di penghujung akhirku dan peresmian mulamu

        barangkali aku yang akan berakhir dahulu sebelum engkau menanam kisahmu di atas

        pekuburan kasihku

        bersama Rama

        bagus rupa

        dan segala—

        kau hanya tersenyum saja

        diam saja

        membiarkanku berpikir jauh

        amat jauh

        sejauh-jauhnya

        Karya Ervina Eka Safira

      7. Lunar Berkata

        Lunar cantik gelapkan jingga

        Merusak senja yang datang tak barang lama

        Katanya,

        “Ini bukan hanya pameran mentari,”

        Ia berkali-kali menghadirkan larut,

        carut, dan marut berkabut

        dalam diri tiap-tiap yang tak beriman tebal

        Namun, satu hal yang ia bawa

        “Cobalah sekali menengadahkan tangan,

        bawalah kesal sesal pada Pembawa Angan”

        Karya Zalfa

      8. Selamat untuk Juni 

        Biarlah juni mengikat kenangannya… 

        Biarlah cinta mengubah rasanya… 

        Tak hentinya hatiku berdebar terasa…

        Menghantarkan bunyian kerinduan… 

        Jingga yang terus pupus… 

        Usang yang terus binasa… 

        Niscaya lautan tetap warna biru… 

        Ilang-ilang tetap menari hingga tak berunjung… 

        Biarlah Juni menyuarakan kesedihannya… 

        Langit menggelap membawa rintik kenangan… 

        Hujan dan Juni menawarkan kesedihan yang membahana.. 

        Juni, membawa pesan yang belum tersampaikan… 

        Penuh kata yang sulit aku terjemahkan… 

        Rangkaian kata indah melebur menjadi kesedihan… 

        Dan hujan tetap membawakan pesan itu kepadamu.. 

        Lalu, gugur sebelum disiratkan… 

        Di hari-hari yang kini sunyi… 

        Juni hadir karena perintah nya… 

        Seperti kenangan yang tak pernah lupa, seperti Juni yang selalu hadir dalam kali enamnya… 

        Karya Meiyanti Arini