Pagi hari kala itu, Sadewa datang terlambat ke kelas. Dia baru saja bangun karena begadang semalaman mengerjakan tugas yang hampir ia lupakan. Dosen sudah mulai masuk ke ruang kelas, dan teman-teman sudah menduduki bangku favorite mereka. Sadewa terburu-buru mencari tempat duduk di barisan belakang, tentunya baris belakang baris paling nyaman, nggak terlalu kelihatan dan nggak perlu banyak ngobrol.
Sadewa merupakan mahasiswa jurusan Hukum di Universitas Indonesia. Semenjak masuk kuliah, dia mulai belajar banyak tentang Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, dia nggak terlalu peduli soal itu. Cuma hal basic yang Sadewa tau tentang Hak Asasi Manusia yaitu kebebasan, kesetaraan, dan perlakuan yang adil terhadap sesama. Tapi, setelah masuk kuliah, dia mulai mikir “apa sebenernya hak asasi manusia itu? dan kenapa banyak orang yang nggak bisa dapet hak mereka dengan adil?”
Hari itu, dosen mereka, Pak Hamid, mengajar tentang “Hak atas Kebebasan Berpendapat.” Teman-teman banyak yang terlihat antusias, beberapa ada yang nyatet, dan ikut berdiskusi. Tapi Sadewa lebih sering mikir, dia mikir tentang kehidupan sehari-hari, tentang orang-orang yang dia temui, dan tentang dunia di luar kampus yang nggak terlalu berjalan mulus seperti yang dia pelajari di kelas.
Sadewa merasa bahwa banyak orang di luar sana yang hak-haknya sering dilanggar, bahkan nggak pernah didengar. Kayak misalnya, orang-orang di kampung halaman Sadewa yang tinggal di daerah yang belum berkembang, mereka sering kalah perihal akses pendidikan yang layak, nggak bisa hidup sejahtera, bahkan serinh diperlakukan semena-mena oleh para penguasa.
Teringat Sadewa beberapa bulan lalu, dia pulang kampung untuk liburan. Di kampungnya, ada kasus yang bikin dia merasa nggak enak banget. Ada seorang perempuan bernama Kaluna, yang tinggal di desa sebelah. Kaluna punya dua anak, dan suaminya seorang buruh tani. Mereka hidup pas-pasan banget. Kaluna sehari-hari kerja sambilan di rumah tetangga buat bantu-bantu masak dan bersih-bersih. Suatu hari, Kaluna dipanggil sama kepala desa untuk ke kantoe desa. Waktu itu, Sadewa masih ada di kampung dan ikut mendengar cerita dari orang-orang.
Waktu itu, Sadewa merasa kecewa. Kenapa sih hak orang untuk menyuarakan pendapat bisa semudah itu diabaikan? Kaluna cuma mau suara dia didengar, nggak lebih, tapi malah dibungkam. Sadewa mikir, ini kan jelas-jelas melanggar hak asasi manusia. Setiap orang berhak untuk berpendapat, termasuk Kaluna, yang hanya ingin memperbaiki kondisi desanya yang buruk, tapi hanyalah ancaman dan salah yang Kaluna dapatkan.
Kembali ke kelas, Pak Hamid mulai menjelaskan tentang contoh-contoh pelanggaran hak asasi manusia yang sering terjadi di Indonesia. Pak Hamid menekankan bahwa meskipun hak asasi manusia sudah diatur dalam berbagai konvensi internasional, kenyataannya masih banyak orang yang hak-haknya dilanggar. Bahkan di negara yang sudah mengklaim dirinya demokratis dan menghargai hak asasi manusia.Kaluna mulai berpikir lagi. Apa sih yang sebenernya bisa dia lakukan? Gimana cara dia untuk bisa memperjuangkan hak-hak orang lain? Apakah cukup hanya dengan belajar teori dikelas, atau ada hal nyata yang bisa dilakukan untuk membantu orang-orang seperti Kaluna?
Setelah kuliah, Sadewa ngobrol sama beberapa teman sekelasnya. Dia cerita tentang apa yang terjadi di kampungnya dan tentang Kaluna. Teman-temannya kebanyakan cuma ngasih respon singkat. Ada yang jawab dengan ketus, “Ya, itu kan masalah desa, nggak bisa kita ikut campur.” bahkan ada yang menjawab dengan meremehkan “Ya, emang sih, tapi kan orang desa juga nggak sepenuhnya ngerti soal hak asasi manusia.”
Sadewa merasa frustasi. Kenapa sih banyak orang yang nggak peduli? Padahal, hak asasi manusia itu bukan cuma soal teori di kelas. Itu adalah soal kehidupan setiap hari, soal setiap orang yang berhak hidup dengan aman, berpendapat, dan diperlakukan dengan adil. Kaluna, misalnya, cuma pengen didengar dan diperhatikan. Dia cuma pengen haknya untuk hidup lebih baik, tapi malah diperlakukan sebaliknya. Padahal, dia juga punya hak asasi sebagai manusia, kan? Malam itu, Sadewa nggak bisa tidur. Dia terus mikir tentang apa yang bisa dia lakukan. Dia sadar, dia nggak bisa menyelesaikan semuanya sendirian. Tapi kalau semua orang nggak mulai peduli, siapa yang bakal bantu orang-orang yang haknya sedang tertindas seperti Kaluna?
Sadewa mulai cari cara untuk mengedukasi orang-orang di sekitarnya. Dia mulai diskusi tentang hak asasi manusia dengan teman-temannya, nggak cuma di kampus, tapi juga di luar kampus. Dia bikin grup di media sosial yang isinya orang-orang yanng peduli soal hak asasi manusia. Mereka mulai diskusi isu-isu lokal yang sering diabaikan, kayak yang terjadi di kampung halaman Sadewa. Sadewa percaya, sebuah perubahan besar memerlukan waktu, langkah-langkah kecil itu penting untuk menciptakan sebuah kesadaran.
Suatu hari, Sadewa mengajak Kaluna untuk datang ke acara diskusi yang diadakan oleh organisasi kampus yang peduli soal hak asasi manusia. Meskipun awalnya Kaluna ragu, akhirnya dia mau datang. Kaluna bercerita tentang pengalamannya di depan teman-teman kampus yang hadir. Meskipun di awal ada rasa canggung, dia merasa ada yang mendengarkan. Teman-teman di kampus yang hadir mulai memberi dukungan, dan beberapa di antaranya berjanji untuk membantu menyuarakan masalah jalan rusak yang ada di desa Kaluna.
Sadewa merasa bangga. Walaupun belum banyak yang berubah, dia tahu bahwa suara kecil Kaluna dan orang lain yang haknya tertindas bisa didengar. Setiap orang memiliki hak untuk didengar dan dihargai, tidak peduli siapa mereka atau dari mana asal mereka. Sadewa sadar, hak asasi manusia bukan hanya sekedar pembicaraan di kelas atau teori yang dibaca didalam buku. Hak asasi manusia merupakan kenyataan hidup yang harus diperjuangkan setiap hari, dan setiap orang, sekecil apapun langkahnya, bisa menjadi bagian dari perubahan tersebut
Karya Tasya Kamila