Author: admin

  • Karang

    Meraung sang laksamana

    Bagai menilik kaum ternama

    Tentu tidak lebih hebat dari seonggok keledai

    Jika pasir berwarna hijau

    Sudah pasti terhardik biru ombak

    Pun pasir hitam begitu melindungi barisannya

    Mungkin teritorial tak berkata

    Lain jelata yang memberi tanda

    Cerdik ia menggaung garis dalam perahu

    Wajar dara kian menutup diri

    Takut miliknya diambil alih

    Oleh siapa pun yang berlakon kasih

    Sejatinya pembungkusan perak permata

    Akan kembali kepada sang empunya

    Yang tak doyan bersua ialah kepalanya

    Karya Nurul Athiyah Hilmi

    Deskripsi karya “Karang” : Karya dan pengarang Nurul Athiyah Hilmi, membawakan puisi dengan tema perlawanan. Puisi ini diciptakan sebagai bentuk sindiran kepada pemerintah pada tahun 1998 mengenai berbagai kerusuhan dan kekacauan masa itu, pun sebagai bentuk penghargaan terhadap hati yang tegar dan tulus kepada para pejuang era kehancuran. Mengambil inspirasi dari novel “Laut Bercerita” karya Leila S. Chudori

  • Suara yang Tak Pernah di Dengar

    Pagi hari kala itu, Sadewa datang terlambat ke kelas. Dia baru saja bangun karena begadang semalaman mengerjakan tugas yang hampir ia lupakan. Dosen sudah mulai masuk ke ruang kelas, dan teman-teman sudah menduduki bangku favorite mereka. Sadewa terburu-buru mencari tempat duduk di barisan belakang, tentunya baris belakang baris paling nyaman, nggak terlalu kelihatan dan nggak perlu banyak ngobrol.

    Sadewa merupakan mahasiswa jurusan Hukum di Universitas Indonesia. Semenjak masuk kuliah, dia mulai belajar banyak tentang Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, dia nggak terlalu peduli soal itu. Cuma hal basic yang Sadewa tau tentang Hak Asasi Manusia yaitu kebebasan, kesetaraan, dan perlakuan yang adil terhadap sesama. Tapi, setelah masuk kuliah, dia mulai mikir “apa sebenernya hak asasi manusia itu? dan kenapa banyak orang yang nggak bisa dapet hak mereka dengan adil?”

    Hari itu, dosen mereka, Pak Hamid, mengajar tentang “Hak atas Kebebasan Berpendapat.” Teman-teman banyak yang terlihat antusias, beberapa ada yang nyatet, dan ikut berdiskusi. Tapi Sadewa lebih sering mikir, dia mikir tentang kehidupan sehari-hari, tentang orang-orang yang dia temui, dan tentang dunia di luar kampus yang nggak terlalu berjalan mulus seperti yang dia pelajari di kelas.

    Sadewa merasa bahwa banyak orang di luar sana yang hak-haknya sering dilanggar, bahkan nggak pernah didengar. Kayak misalnya, orang-orang di kampung halaman Sadewa yang tinggal di daerah yang belum berkembang, mereka sering kalah perihal akses pendidikan yang layak, nggak bisa hidup sejahtera, bahkan serinh diperlakukan semena-mena oleh para penguasa.

    Teringat Sadewa beberapa bulan lalu, dia pulang kampung untuk liburan. Di kampungnya, ada kasus yang bikin dia merasa nggak enak banget. Ada seorang perempuan bernama Kaluna, yang tinggal di desa sebelah. Kaluna punya dua anak, dan suaminya seorang buruh tani. Mereka hidup pas-pasan banget. Kaluna sehari-hari kerja sambilan di rumah tetangga buat bantu-bantu masak dan bersih-bersih. Suatu hari, Kaluna dipanggil sama kepala desa untuk ke kantoe desa. Waktu itu, Sadewa masih ada di kampung dan ikut mendengar cerita dari orang-orang.

    Waktu itu, Sadewa merasa kecewa. Kenapa sih hak orang untuk menyuarakan pendapat bisa semudah itu diabaikan? Kaluna cuma mau suara dia didengar, nggak lebih, tapi malah dibungkam. Sadewa mikir, ini kan jelas-jelas melanggar hak asasi manusia. Setiap orang berhak untuk berpendapat, termasuk Kaluna, yang hanya ingin memperbaiki kondisi desanya yang buruk, tapi hanyalah ancaman dan salah yang Kaluna dapatkan.

    Kembali ke kelas, Pak Hamid mulai menjelaskan tentang contoh-contoh pelanggaran hak asasi manusia yang sering terjadi di Indonesia. Pak Hamid menekankan bahwa meskipun hak asasi manusia sudah diatur dalam berbagai konvensi internasional, kenyataannya masih banyak orang yang hak-haknya dilanggar. Bahkan di negara yang sudah mengklaim dirinya demokratis dan menghargai hak asasi manusia.Kaluna mulai berpikir lagi. Apa sih yang sebenernya bisa dia lakukan? Gimana cara dia untuk bisa memperjuangkan hak-hak orang lain? Apakah cukup hanya dengan belajar teori dikelas, atau ada hal nyata yang bisa dilakukan untuk membantu orang-orang seperti Kaluna?

    Setelah kuliah, Sadewa ngobrol sama beberapa teman sekelasnya. Dia cerita tentang apa yang terjadi di kampungnya dan tentang Kaluna. Teman-temannya kebanyakan cuma ngasih respon singkat. Ada yang jawab dengan ketus, “Ya, itu kan masalah desa, nggak bisa kita ikut campur.” bahkan ada yang menjawab dengan meremehkan “Ya, emang sih, tapi kan orang desa juga nggak sepenuhnya ngerti soal hak asasi manusia.”

    Sadewa merasa frustasi. Kenapa sih banyak orang yang nggak peduli? Padahal, hak asasi manusia itu bukan cuma soal teori di kelas. Itu adalah soal kehidupan setiap hari, soal setiap orang yang berhak hidup dengan aman, berpendapat, dan diperlakukan dengan adil. Kaluna, misalnya, cuma pengen didengar dan diperhatikan. Dia cuma pengen haknya untuk hidup lebih baik, tapi malah diperlakukan sebaliknya. Padahal, dia juga punya hak asasi sebagai manusia, kan? Malam itu, Sadewa nggak bisa tidur. Dia terus mikir tentang apa yang bisa dia lakukan. Dia sadar, dia nggak bisa menyelesaikan semuanya sendirian. Tapi kalau semua orang nggak mulai peduli, siapa yang bakal bantu orang-orang yang haknya sedang tertindas seperti Kaluna?

    Sadewa mulai cari cara untuk mengedukasi orang-orang di sekitarnya. Dia mulai diskusi tentang hak asasi manusia dengan teman-temannya, nggak cuma di kampus, tapi juga di luar kampus. Dia bikin grup di media sosial yang isinya orang-orang yanng peduli soal hak asasi manusia. Mereka mulai diskusi isu-isu lokal yang sering diabaikan, kayak yang terjadi di kampung halaman Sadewa. Sadewa percaya, sebuah perubahan besar memerlukan waktu, langkah-langkah kecil itu penting untuk menciptakan sebuah kesadaran.

    Suatu hari, Sadewa mengajak Kaluna untuk datang ke acara diskusi yang diadakan oleh organisasi kampus yang peduli soal hak asasi manusia. Meskipun awalnya Kaluna ragu, akhirnya dia mau datang. Kaluna bercerita tentang pengalamannya di depan teman-teman kampus yang hadir. Meskipun di awal ada rasa canggung, dia merasa ada yang mendengarkan. Teman-teman di kampus yang hadir mulai memberi dukungan, dan beberapa di antaranya berjanji untuk membantu menyuarakan masalah jalan rusak yang ada di desa Kaluna.

    Sadewa merasa bangga. Walaupun belum banyak yang berubah, dia tahu bahwa suara kecil Kaluna dan orang lain yang haknya tertindas bisa didengar. Setiap orang memiliki hak untuk didengar dan dihargai, tidak peduli siapa mereka atau dari mana asal mereka. Sadewa sadar, hak asasi manusia bukan hanya sekedar pembicaraan di kelas atau teori yang dibaca didalam buku. Hak asasi manusia merupakan kenyataan hidup yang harus diperjuangkan setiap hari, dan setiap orang, sekecil apapun langkahnya, bisa menjadi bagian dari perubahan tersebut

    Karya Tasya Kamila

  • Lagi-lagi

    Waktu tak lagi berjalan, ia menari,

    menumpahkan rasa asing ke dalam cangkirku

    Langkahmu menggetarkan lantai yang sunyi

    dan hatiku jatuh tanpa kau tahu

    Kau bukan cahaya, tapi semacam nyala,

    yang tak menyilaukan, tapi membuatku ingin tinggal.

    Ada hangat yang tak pernah kupinta,

    selalu datang tiap kau menyapa.

    Karya Titin Prihartini

  • Di Ujung Senyap

    Di langit itu aku menyimpan namamu,

    di antara gugur daun dan desir waktu.

    Aku memeluk bayangmu yang bisu,

    seperti menggenggam angin yang penuh luka

    Senyap menjadi teman setia,

    saat rinduku menua di dada

    Tak ada kabar, tak ada suara

    hanya kenangan yang terus bertakhta.

    Karya Titin Prihartini

  • HIDUP MATI. MATI HIDUP

    Mampus aku mampus

    Barangkali memang tak ada lagi halaman buku sehabis kata tidak

    Sebab yang kau mau hanya anggukan kepala

    Tapi berlagak melempar dadu seolah ‘kupunya peluru ‘tuk kutembakkan di pangkal ubunmu

    Mampus aku mampus

    Nasibku ada di pedangmu terhunus

    Dan wajahmu yang melukis pedih serasa terhina

    Memasang seringai di depan makamku yang kaugali jauh-jauh hari

    Mampus aku mampus

    Mampus lagi ribuan kali

    Senyum lagi, senyum seringai

    Biar habis mampus kau gali kuburku berkali-kali

    Karya Ervina Eka Safira

    Deskripsi Singkat Karya:

    Hidup Mati. Mati Hidup, mengangkat tentang perlawanan antara rakyat kecil dengan penguasa. Ketika seseorang seolah-olah diberikan pilihan atas sesuatu yang telah ditetapkan sejak awal dan menyadari hal tersebut, kemudian melakukan perlawanan keras yang mana memicu tindakan keras pula dari pihak otoriter. Idealismenya dibunuh berkali-kali, tetapi tetap lahir berkali-kali pula yang mana menunjukkan perlawanan yang gigih: idenya tidak akan pernah mati meskipun raga-raga pemiliknya dihabisi.

  • Ripuk

    barangkali kaca mataku perlu diganti

    sebab salam yang kaurangkai melalui mawar melati yang kaurengkuh manis dalam buket anggun merah muda

    menjelma bagai sepucuk pistol berpeluru tiga dalam koper kecil

    dengan pelatuknya yang mengarah ke jantungku

    di baliknya ada tanda nama:

    Cinta,

    Terimalah aku atau tak ada kita selama-lamanya

    ah, mati aku mati

    lubang di dada

    kesekian kalinya

    Karya Ervina Eka Safira

    Deskripsi Singkat Karya:

    Ripuk, mengangkat ironi tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan yang seolah selalu diharuskan untuk tertuju pada asmara. Di mana banyak sekali kasus yang beredar di mana persahabatan antar lawan jenis di mana ada satu pihak yang memaksa memasukkan asmara di dalam hubungan itu atau jika tidak, akan mengandaskan hubungan pada saat itu juga. Seolah hubungan baik yang terjalin sebelumnya adalah sia-sia dan tidak ada artinya jika tidak diamini sebagai hubungan asmara, meskipun pihak yang lain tidak menerima asmara tersebut.

  • Biru di Ujung Bibirku

    aku terlahir di tanah dingin itu

    tempat di mana gadis-gadis muda dijual seharga cincin kawin

    diberi gaun malam yang indah-indah

    dan seperangkat alat kebersihan

    aku terlahir di tanah dingin itu

    tempat di mana orang-orang itu menawarkan permata

    dan mencuri peran Tuhan untuk mempersilakanku masuk dalam barakah-karamah yang dimiliki-Nya

    atas nama bimbingannya

    aku terlahir di tanah dingin itu

    tempat di mana surga mengharamkan buku

    tetapi menghalalkan kasihmu meninggalkan biru di ujung bibirmu

    aku terlahir di tanah dingin itu

    Di mana gadisku dihargai sebatas cincin kawin. Bajuku koyak dan gaun malamku indah. Hariku habis pada seperangkat alat kebersihan. Lalu buku-bukuku jadi bahan api neraka. Surgaku jadi kabur. Lalu ketika aku bertanya mengapa–

    Surga

    Itu

    Seolah

    Menjauh

    Dari

    Biru

    Di ujung

    Bibirku

    karya Ervina Eka Safira

    Deskripsi Singkat Karya:

    Biru di Ujung Bibirku, mengangkat ironi tentang egoisme patriarki yang dibalut dalam syari’at agama yang tidak pada tempatnya. Agama dijadikan sebagai alat penguasaan perempuan melalui doktrin-doktrin yang telah dimanipulasi begitu rupa untuk melanggengkan dunia patriarki secara penuh: di mana perempuan direduksi dalam berbagai haknya, tetapi diminta secara penuh memberikan sesuatu yang dipaksa menjadi “kewajibannya”. Pun sebaliknya, laki-laki didoktrin untuk mengambil banyak hal yang dinarasikan sebagai “hak”-nya sekalipun menggunakan jalan kekerasan tanpa perlu mengindahkan apakah semua kewajibannya sudah dipenuhi

  • Kalau

    kalau bulan bisa ngomong

    panggil bintang-bintang bolong

    kalau bulan bisa ngomong

    jangan sampai remmu blong

    kalau bulan bisa ngomong

    senyum sedikit dong

    kalau bulan bisa ngomong

    aku tau kamu bohong

    karya Nadhira Arrumaisha

  • MASA MUDA

    kamar kos yang selalu tertutu.!

    karya Nadhira Arrumaisha

  • yang fana adalah kamu

    aku tak pernah membenci langit karena gemuruhnya

    aku tak pernah membenci laut karena gelombangnya

    aku pun tak pernah membenci angin karena gemersiknya

    aku hanya tau 

    mencintai langit dengan kabutnya

    mencintai laut dengan ombaknya

    dan mencintai angin dengan riuhnya

    mencintainya, apa adanya

    mencintaimu,

    – raga nan fana untukku

    Karya Vindianti Eka Ardiana