“Menurut lo, perpisahan itu apa, La?” Lula bergeming. Netra matanya mengamati hamparan gedung-gedung tinggi pencakar langit dan hiruk-pikuk keramaian ibu kota sore ini.
Dari atas balkon kamar apartemennya, Lula bisa melihat dengan jelas pemandangan di depannya itu. Ada banyak sekali kendaraan yang berlomba-lomba ingin sampai di tujuan. Keramaian tersebut bahkan sampai menciptakan kemacetan. Puas dengan apa yang ia lihat, kini gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah Aleena.
“Ada dua hal tentang perpisahan,” ujarnya membuka suara.
“Merelakan dan mengikhlaskan.” Kini Lula sudah menatap Aleena sepenuhnya.
“Merelakan, karena sosoknya tak lagi ada dan mengikhlaskan, karena harus melepaskan.” Aleena diam untuk mendengarkan, kemudian ia menatap tepat pada kedua bola mata hitam legam milik gadis itu.
“Lo udah ikhlas, La?” tanyanya penasaran.
Lula menggeleng. “Belum,” jawabnya jujur.
“Sakit, ya, La. Harus melepaskan yang belum pernah kita genggam.” Aleena dapat merasakan apa yang Lula rasakan saat ini.
Mendengar penuturan itu, Lula hanya bisa tertawa kecil untuk menanggapinya. “Nggak ada perpisahan yang menyenangkan, Al.”
“Semua yang berbentuk perpisahan pasti menyakitkan,” ucapnya.
“Beberapa orang berjumpa dalam keadaan yang salah. Bertemu, untuk berpisah.” Lula tersenyum getir.
Gadis itu memusatkan pandangannya ke arah langit jingga yang sudah terlihat kemerah-merahan. Sejenak, Lula terdiam. Perlahan memori-memori yang sudah ia kubur dalam-dalam, kini kembali muncul memenuhi benaknya.
♧♧♧
“Lo suka es krim?”
“Suka!” Lula menjawab dengan mata yang berbinar dan penuh semangat.
Laki-laki itu kemudian tertawa kecil dan mengacak rambut Lula dengan gemas. “Besok kita beli es krim.”
Belum sempat Lula menjawab, laki-laki itu kembali menyelanya. “Tapi ada syaratnya.”
“Apa syaratnya?” tanya Lula cepat.
“Lo harus sembuh,” sahut laki-laki itu lagi. Tangan kanan yang tadi ia pakai untuk mengacak rambut gadis itu, kini ia gunakan untuk mengelus surai Lula dengan lembut.
Lula mengangguk patuh, kemudian Naverro mengangkat jari kelingkingnya ke arah gadis itu. “Janji dulu, La,” perintahnya.
Lula tersenyum dan menautkan jari kelingking mereka.
“Jangan sakit lagi, La.” Naverro bergumam lirih. Matanya menatap sendu ke arah gadis itu.
“Gue nggak bisa liat lo gini,” ujarnya serius.
Lula mengerutkan keningnya heran, lalu melepaskan tautan jari kelingking mereka. Kini gadis itu sudah menatap jelas laki-laki yang duduk tepat di samping brankarnya. “Kenapa kamu nggak bisa kalo liat aku sakit gini?”
“Gue juga nggak tahu.” Naverro berkata jujur. Ia juga tidak mengetahui pasti apa alasannya.
“Tapi setiap kali gue liat lo terbaring lemah di brankar, rasanya gue juga ikutan sakit, La,” lirihnya.
Laki-laki itu kemudian melingkarkan kedua tangannya pada perut rata Lula. Sementara Lula diam, membiarkan lelaki itu memeluk tubuhnya dan menenggelamkan wajahnya di sana.
♧♧♧
“Dream Books yang dia titipin ke bunda buat lo, udah lo baca?” tanya Aleena membuyarkan lamunan Lula.
Seketika gadis itu tersadar dan baru mengingat dengan Dream Books milik lelaki itu. Segera, Lula beranjak dari tempatnya dan berjalan ke arah nakas yang berada tepat di samping tempat tidurnya. Aleena juga menyusul gadis itu dari belakang. Memperhatikan pergerakan Lula sebentar, lalu berjalan ke arah pinggiran ranjang dan kemudian mendudukkan tubuhnya di sana.
Setelah menemukan Dream Books yang di cari, Lula mendekati Aleena dan ikut serta menjatuhkan bokongnya di pinggiran ranjang. Dengan memperhatikan covernya sebentar, gadis itu kemudian membuka halaman pertamanya.
Tulisan tangan bertinta hitam milik laki-laki itu tertera indah di dalam sana. Lula pun tersenyum, lalu mulai membacanya.
Gue pengin hidup lebih lama.
Biar gue bisa selalu lihat Alula senyum, ketawa dan manja ke gue.
Lula menarik sudut bibirnya ke atas. Membaca tulisan itu, membuatnya kembali mengingat momen di mana lelaki itu mengucapkan hal yang serupa.
“Naverro.” Lula memanggil nama laki-laki itu sambil menyendokkan es krimnya.
Sesuai dengan janji Naverro beberapa waktu lalu, kini keduanya sedang berada di sebuah toko es krim yang menjual berbagai banyak rasa.
Lelaki itu menoleh. “Hm?”
“Apa hal yang paling kamu syukuri di dunia ini?” tanya Lula tiba-tiba.
Naverro tak langsung menjawab. Ia diam beberapa saat, lalu tak lama kemudian ia baru menjawabnya.
“Gue bersyukur masih punya bunda.”
“Dan, gue juga bersyukur karena bisa ketemu sama lo.” Laki-laki itu tersenyum hangat menatap Lula, tangannya terangkat untuk membersihkan sudut bibir gadis itu yang kotor akibat terkena es krim.
“Kalo yang paling kamu suka?” tanya Lula lagi.
“Banyak.”
“Apa?”
Tanpa banyak berpikir, Naverro kembali menjawab sembari menatap gadis itu dalam.
“Gue suka dimasakin bunda.”
“Gue suka dipeluk bunda.”
“Gue suka lihat lo senyum.”
“Gue suka lihat lo ketawa.”
“Dan, gue juga suka lihat lo manja ke gue.”
Lula tersenyum ketika mengingat itu. Kemudian tangannya bergerak lagi untuk membuka halaman selanjutnya. Pada lembar kedua, Lula dikejutkan dengan selembar polaroid yang jatuh ke lantai.
Gadis itu pun segera mengambilnya. Lula mengamati polaroid itu sebentar. Ia mendapati foto dirinya dan juga laki-laki itu yang di ambil saat mereka sedang berjalan-jalan ke pantai.
Baru lembar kedua saja, Lula sudah kembali di hantui oleh bayang-bayang lelaki itu. Rasa rindu di hatinya kembali membuncah. Seakan larut dalam pikirannya, kini ingatan gadis itu kembali membawanya pada 1 tahun lalu.
♧♧♧
“Gue janji bakal buat lo bahagia terus, La.” Tepat di bawah senja kala itu, Naverro melontarkan janjinya.
Tetapi entah mengapa perasaan gadis itu tidak sesenang seperti biasanya. Ia malah seperti orang yang sedang takut akan sesuatu.
“Kalo semisal lo pergi, gimana?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut gadis itu.
“Gue nggak akan pergi ke mana-mana, La.”
“Gue di sini, sama lo,” ujar Naverro meyakinkan.
“Dan kalaupun seandainya gue pergi, berarti tugas gue di dunia ini udah selesai.”
“Maksud lo?”
Laki-laki itu menggeleng. “Nggak ada, lupakan.”
Naverro mengacak rambut gadis itu dengan senyuman hangatnya, seolah sedang tidak terjadi apa-apa. Sementara Lula diam. Dirinya masih bisa menangkap jelas apa yang laki-laki itu katakan barusan. Pikirannya menjadi tidak tenang.
♧♧♧
Lula baru menyadari mengapa dirinya saat itu selalu merasakan kegelisahan. Ternyata itu menjadi percakapan, sekaligus pertemuan akhir dari mereka.
Alula tersenyum getir.
Lucu.
Takdir yang mempertemukan kita dengan ketidaksengajaan. Lalu, takdir kembali mengajarkan tentang kehilangan pula.
Bandung, 15 Desember 2020
Karya Gladis Lutvia Hajrah
Leave a Reply