Category: Uncategorized

  • Taman Bunga Andromeda

    Kau adalah raung riuh yang membasahiku di pagi itu,

    menapak tilas mimpi-mimpi kita yang telah usai.

    Aku tergeletak tidak berdaya melihat kata-kata itu tumpah dari mulutku.

    Dan kau berlalu menanggalkan senyum sederhanamu.

    Kita berdiri di kaki yang sama, di sisi yang berbeda.

    Karya Bintang Herlambang

  • Mentari dari Sang Penguasa

    Sajak yang aku tulis hari ini hanya untukmu kasih…

    Ku berjanji-janji dari semua yang aku ucapkan

    Tak kala senyuman mulai terlukis indah di bibirmu saat melihatnya…

    Maka terima lah diriku kasih

    Aku akan memberikan yang terbaik untukmu…

    Walau sajak ini tidak seindah itu..

    Tetapi aku berusaha untuk membuatnya indah

    Walau tidak seindah senja yang kau sukai

    Tapi tolong lah cintai aku sekali lagi kasih,

    Akan ku rayakan semua tentang mu

    Karna itu tugas cinta untuk memberikan keindahan…

    Bahkan bisa lebih indah dari senja yang kau sukai

    Karya Meiyanti Arini

  • Terjebak dalam Penantian

    Dalam rentang waktu yang cukup lama

    Aku selalu menunggu kedatanganmu

    Arloji tak lepas dari lingkar tanganku

    Sepersekian detik sungguh sangat berarti

    Namun dirimu seolah abai

    Dirimu seolah lalai dengan semua janji-janji yang telau kau buat

    Benar memang

    Setiap orang ada masanya setiap masa ada orangnya

    Kau tahu?

    Bagaimana aku menggoreskan tinta?

    Bagaimana aku merindukan dirimu?

    Bagaimana aku memohon kepada Tuhan untuk mengembalikan waktu dulu?

    Dimana aku dan kamu masih menjadi kita

    Entahlah

    Untuk sekarang, biarkan waktu yang menjawab

    Karya Fadhia Tsuraya Nabila

  • Rindu Ditelan Laut

    Kepada rasa yang tak kunjung berlabuh

    Rindu ini menggebu untuk bertemu sang tuan

    Kapal yang kunjung dinanti, belum tiba sampai dermaga

    Terombang-ambing ombak di tengah lautan

    Badai angin menerpa

    Ditemani tangisan langit

    Merapalkan harapan

    Agar semesta berpihak

    Namun nyatanya, semesta tak berpihak

    Laut menelan banyak harap manusia

    Rindu yang sekian lama terpendam

    Tak akan pernah bertemu sang tuan

    Karya Arih Azzahrah

  • Anindhita; Yang Diminta Untuk Berpuisi

    Adalah Aninditha, yang harinya dipenuhi retorika demi membiaskan sempurna. Diucapkannya selalu kata-kata baik dan penuh cinta kepada sesama demi mendapat refleksi sepadan dari yang diberikannya. Dhita selalu belajar bahwa apa yang dia dapatkan adalah semata-mata karena apa yang telah dia lakukan. Maka ketika dia ingin dicintai, haruslah dia menabur cinta terlebih dahulu.

    Orang-orang selalu menilainya sebagai yang paling. Paling memperhatikan hal-hal kecil karena dia ingin juga diperhatikan. Paling berhati-hati dalam berucap karena maunya orang-orang mengerti hatinya semudah itu terluka karena cuitan kecil tanpa makna. Paling ingin diperhatikan karena itu yang tidak pernah didapatkannya selama ini. Dhita juga berpura-pura pandai berpuisi sebab ingin seseorang mengiriminya kata-kata bersumbat cinta pula. Tapi punya kuasa apa dia atas takdirnya, ingin-ingin itu hanya selamanya menjadi keinginan.

    Dhita terbiasa dipandang sebagai seorang yang pandai berpuisi hanya karena sesekali berkicau ketika hatinya gundah dan tak punya tempat berserah. Keinginannya untuk diperhatikan yang tidak terwujudkan menjadikannya semakin menutup diri hingga terbiasa untuk selalu menyimpan semuanya sendiri. Dhita sungguh sudah biasa akan hal itu, tapi dia hanya terbiasa, tidak benar-benar bisa.

    Dhita hanya terbiasa untuk memasang tampang baik meski hatinya terasa pelik, terbiasa tersenyum di atas kepedihannya yang selalu ranum.  Sungguh hanya terbiasa, bukan benar-benar bisa. Termasuk dalam memainkan kata-kata dalam rangkaian bait bermetafora, dia hanya mencoba terbiasa, tetapi tak pernah benar-benar bisa untuk meluapkan apa yang dirasa lewat aksara. Tapi begitu kejamnya dunia, hanya karena seseorang mencoba terbiasa, lalu dianggapnya dia mampu melakukannya tanpa luka.

    Sudah dua jam lebih Dhita berdiam sambil mengorek makna, dipaksanya otaknya untuk bekerja demi sebaris kata. Namun, lagi-lagi selama ini dia hanya terbiasa, bukannya bisa. Tidak kurang dan lebih dari satu baris aksara yang telah berhasil dipilihnya untuk mewakil rasa, selebihnya hanya ada kosong yang dia punya. Tidak peduli sudah sebanyak apa dia membangun rasa, meminum ribuan puisi racikan sastrawan kecintaannya, Dhita masih saja merasa belum bisa. Sedangkan kurang dari dua puluh empat jam lagi, lomba menulis puisi yang ingin diikutinya akan segera menutup pendaftaran.

    Semakin dipaksa untuk berpikir, semakin jauh saja rasanya dari kumpulan kata yang pernah dipelajarinya. Barangkali karena sebuah puisi harusnya datang dari hati, tetapi sayangnya Dhita sudah–lagi-lagi–terbiasa tidak mengikutkan hatinya dalam berbagai perkara. Sebab yang sudah-sudah, memakai hati justru semakin melukai.

    “Sastrawan itu gak galau sama dirinya sendiri.” Secangkir chamomile tea mendarat tepat di hadapannya.

    “Maksudnya, Pak?” Orang yang dipanggil Pak itu mengambil posisi tepat di hadapan Dhita. Sambil mengangsurkan beberapa buku sastra lama kepada pelanggan sekaligus anak didiknya.

    “Nih, coba deh perhatiin. Sastrawan lama itu kebanyakan berangkat dari permasalahan sosial yang ada di sekitarnya. Literally tidak membahas masalah pribadi,” jelasnya dijeda, membiarkan gadis itu untuk semakin berpikir. “Tau, karena apa?” Jeda lagi setelahnya.

    “Karena dia sudah selesai sama dirinya sendiri,” tukasnya begitu tidak mendapatkan jawaban dari Dhita. Sehabisnya lelaki berkacamata itu kembali meninggalkan anak didiknya untuk kembali berpikir. Yang ditinggalkan benar-benar dibuat berpikir setelahnya.

    Barangkali Dhita memang belum pernah selesai dengan dirinya sendiri. Hatinya yang kerap merasa sepi mencoba berlari pada kumpulan diksi demi menemukan pengakuan atas eksistensinya. Barangkali memang yang selama ini dilakukannya memang hanya membiaskan apa yang ia ingin orang-orang lihat dari dirinya, sesosok kosong yang ingin diperhatikan–barangkali. Tetapi, bukankah memang fungsinya karya sastra sebagai alter-ego penulisnya? Sekurang-kurangnya mampu menjadi katarsis bagi yang menulis dan yang membaca?

    Tapi toh puisi sudah tidak lagi terikat aturan kaku, Joko Pinurbo saja boleh menulis puisi dalam satu baris. Maka barangkali, satu baris yang telah ditulisnya itu sudah cukup untuk disebut puisi.

    Kepada luka, akulah pecandunya

    – Anindhita

    Karya Dya Nisa Kamila

  • Urip-Urup-Arip

    ubi kayu

    wedhang legit

    jenang cokelat

    lampu tintir

    atap bolong

    dan hujan bocor

    di bawahnya, bapak-ibu-anak-dan semut-semut ber-rembug di balik gubug remuk bubuk

    bernyata-nyata

    bertanya-tanya

    bertanya-tanya

    “Mengapa manusia suka menertawai tawa manusia lain?”

    tertawa-tawa

    Tembalang, 19 Maret 2025

    Wedhang: minuman (bahasa Jawa)

    Jenang cokelat: kudapan tradisional Jawa yang serupa dodol, berwarna cokelat dan memiliki rasa manis

    Rembug: berdiskusi (bahasa Jawa)

    Remuk bubuk: hancur lebur (bahasa Jawa)

    Karya Ervina Eka Safira

    Urip-Urup-Arip secara garis besarnya merupakan kritik sosial terhadap manusia-manusia yang senang menghakimi dan menilai sepihak pada kehidupan orang lain menggunakan standar-standar kehidupan mereka dan merasa kehidupan mereka yang paling mendekati sempurna.

  • Pada Suatu Hari,

    Cinderella menari-nari

    sebab ingat kasihnya hendak kembali

    dua atau tiga bulan lagi

    menuntaskan janjinya pada sepatu kaca

    sayang beribu sayang

    dua tiga bulan hilang

    satu dua tahun pergi

    masa demi masa berganti

    Cinderella tak lagi menari

    ia menyanyi

    melolong-lolong panjang

    di gudang belakang

    sebab pangeran berkudanya yang datang

    membawa sepatu kacanya yang hilang:

    terpasang di kaki gadis lain

    Sukoharjo, 24 Januari 2025

    Karya Ervina Eka Safira

    Pada Suatu Hari, mengangkat ironi asmara sebagian perempuan yang menganggap cinta sebagai kisah indah dalam negeri dongeng dan menghabiskan waktunya untuk bergantung dan menunggu sesuatu yang tidak pasti. Puisi ini juga mengkritik tentang sebagian laki-laki yang begitu mudah memberikan janji tanpa memperhitungkan seberapa besar janji itu mempengaruhi kehidupan perempuan yang telah tenggelam dalam perasaan cinta. Secara garis besarnya, puisi ini menceritakan tentang pengkhianatan takdir.

  • Ya Sudah, Kepalang Tanggung

    Sebungkus losion anti nyamuk

    segelas kopi susu saset

    sekotak cokelat warung, dan

    seplastik telur gulung

    Tabik Nona-Nona terhormat dan Tuan-Tuan berpangkat!

    berbaju rapi, beraura mahal, tampak berisi dan semerbak wangi

    bolehkah kuikut bercengkerama?

    berbahagia?

    Oh, Tuhan

    begitulah kemarin ceritanya

    jadi bagaimana?

    apakah wajahmu akan ikut memerah dan menyembur ludah menghukum aku yang terlalu melampaui batasan diri?

    atau menghukum para angkuh yang terlalu menilai dirinya sendiri?

    Klaten, 3 Januari 2025

    Karya Ervina Eka Safira

    Ya Sudah, Kepalang Tanggung merupakan kritik sosial yang diajukan kepada Tuhan oleh seorang manusia biasa yang berasal dari kalangan menengah ke bawah tentang kalangan elit yang bersifat ekslusif dan memandang rendah kepada kalangan biasa dan pekerja yang ingin dianggap setara sebagaimana manusia. Apakah Tuhan akan melihat usaha itu sebagai upaya yang memalukan atau menghukum para elit yang menganggap diri mereka berada di atas segalanya.

  • Fordisa #1: Membedah Sosiologi Sastra Lewat Puisi “Aku” Karya Chairil Anwar

    Divisi Humas Biro Kurasi  baru saja melaksanakan program kerja Forum Diskusi Sastra Indonesia (Fordisa) perdana pada Sabtu, 17 Mei 2025. Fordisa yang dilaksanakan secara hybrid di selasar Gedung Serbaguna (GSG), membahas tentang puisi berjudul “Aku” karya Chairil Anwar, dipimpin oleh Wahyu Kartika Putra, mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2021 sebagai pembicara.

    Kegiatan Fordisa diawali dengan pembacaan puisi oleh Kartika. Ia membacakan puisi “Aku” dengan penghayatan yang penuh makna. Kartika mengakui bahwa kegemarannya membaca puisi dimulai sejak ia duduk di bangku kelas 2 SMP.

    “Puisi merupakan gerbang utama saat masuk sastra. Dimulai dari SMP kelas 8 saat diperintah oleh guru baca puisi ‘Aku’, dan mulailah mencintai sastra dan menjadi sering membaca puisi,” ujar Kartika.

    Kartika mengawali pembahasan sosiologi sastra dalam puisi “Aku” tentang historis pengarangnya, Chairil Anwar yang lahir di Medan dengan orang tua yang memiliki strata sosial tinggi serta pemegang tradisi yang kental. Menurut Kartika, Chairil Anwar ingin hidup lebih bebas. Ia hidup dalam kemiskinan dan tidak menerima bantuan dari orang tuanya karena memilih jalan hidup yang berbeda. 

    Melihat dari sisi historis sosiologi pengarang, Kartika menginterpretasikan bait-bait puisi tersebut sebagai bentuk kebebasan yang Chairil Anwar dambakan terhadap kekangan keluarga.

    Kalau sampai waktuku

    ‘Ku mau tak seorang‘kan merayu

    Tidak juga kauTak perlu sedu sedan itu

    Aku ini binatang jalang

    Dari kumpulannya terbuang

    Pada bait tersebut, Kartika menginterpretasikan sebagai seseorang yang ingin hidup bebas. Baris “Dari kumpulannya terbuang” diinterpretasikan bahwa ia dikucilkan dari keluarganya.

    Biar peluru menembus kulitku

    Aku tetap meradang menerjang

    Bait di atas diinterpretasikan sebagai penderitaan kemiskinan Chairil Anwar waktu di Batavia. 

    Luka dan bisa kubawa berlari

    Berlari

    Hingga hilang pedih peri

    Dan aku akan lebih tidak perduli

    Aku mau hidup seribu tahun lagi.

    Pada bait tersebut diinterpretasikan sebagai kegigihan pengarangnya dalam menjalani hidupnya, serta majas metafora pada baris “Aku mau hidup seribu tahun lagi”, sebagai perandaian kehidupan yang layak.

    Kartika juga membahas interpretasi puisi “Aku” dalam tiga zaman, yaitu zaman revolusi sebelum kemerdekaan, setelah kemerdekaan, dan masa kini. Pada revolusi sebelum kemerdekaan, puisi tersebut digunakan sebagai senjata revolusi untuk menyemangati pejuang supaya gigih mempertahankan eksistensi ke negaranya dalam menumpas kolonial. Bait “Kalau sampai waktuku, ‘Ku mau tak seorang’kan merayu, Tidak juga kau” diinterpretasikan sebagai bom waktu atau sebuah rasa di mana bangsa Indonesia tidak mau kalah dengan penjajah. Selanjutnya, bait “Aku ini binatang jalang, Dari kumpulannya terbuang” diinterpretasikan sebagai sebuah pribumi yang dikucilkan kolonial. 

    Pada masa setelah kemerdekaan sekitar tahun 1966-1998, puisi “Aku” diinterpretasikan sebagai perlawanan kepada penindasan ideologi oleh bangsa Indonesia sendiri. Pada masa kini, puisi “Aku” diinterpretasikan sebagai eksplorasi kedirian dan menunjukkan perlawanan kepada penyakit di zaman sekarang, khususnya mental health yang mengenai seseorang agar pulih dari penyakit itu.

    Puisi ini dimaknai sebagai ketidaknyamanan dalam suatu lingkungan entah itu dalam keluarga, negara, maupun diri sendiri. Puisi “Aku” yang sangat melegenda menunjukkan bagaimana Chairil Anwar disebut sebagai pelopor puisi modern. Menurut Kartika, Chairil Anwar dikatakan sebagai pelopor puisi modern karena penggunaan bahasa yang lugas, peletakkan tipografi tidak lengkap, menciptakan nada pada penegasan di akhir.

    Menurut Kartika, pembedahan karya sastra seperti ini berarti mencoba untuk memahami fenomena dunia yang diciptakan pengarang sebagai acuan realitas.

    Pada acara perdana ini, Kartika membagikan perasaan senangnya diundang sebagai pembicara. Ia mengaku lingkungan diskusi tersebut memberinya perasaan seperti kembali ke rumah. Selain itu, Kartika juga turut menyampaikan harapannya agar Fordisa bisa membuka ruang diskusi yang lebar bagi mahasiswa Sastra Indonesia.

    “Saya rasa untuk iklim diskusi yang dilakukan ini bagus sekali, melihat biro sebelumnya kurang efektif. Ini menjadi harapan baru untuk mewadahi ruang diskusi teman-teman Sastra Indonesia,” tuturnya.

    Penulis: Arih Azzahrah dan Amalia Vidhyana
    Reporter: Arih Azzahrah

  • Seabad Pram, Gundah yang Sama: Tiga Gundah Utara dan Relevansi Abadi Perjuangan Rakyat Kecil

    Di tengah perayaan yang khidmat, sebuah panggung teater membawakan cerita dari tiga sekawan dengan latar belakang profesi yang berbeda. Naskahnya yang apik membawa penonton ke dalam dinamika hubungan dan berbagai benturan kepentingan. Ini adalah inti dari naskah drama Tiga Gundah Utara, yang dipentaskan pada 28 April 2025 lalu di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (FIB Undip) sebagai bagian dari perayaan Hari Puisi dan Seabad Pram. 

    Lebih dari sekadar hiburan, pertunjukan ini lahir menjadi suara dari kegelisahan akan realitas sosial yang tak kunjung usai. Melalui karakter seorang polisi, jurnalis, dan pedagang sayuran, Tiga Gundah Utara membuka ruang diskusi tentang ketidakadilan, ketimpangan, dan bahkan sisa-sisa feodalisme yang sayangnya masih sangat mewarnai kehidupan kita. Pementasan ini menjadi penting karena ia menghubungkan warisan pemikiran Pram dengan isu-isu kontemporer yang mendesak untuk direfleksikan.

    Jika menilik profesi dari ketiga tokoh utama tersebut, terdapat perbedaan motivasi yang disajikan dengan lihai dalam mewujudkan perseteruan di antara mereka. Sebagai seorang polisi, Didik selalu siap dengan mentalitas “Siap, Ndan!” yang menggambarkan kepatuhan mutlak terhadap atasannya hingga membuatnya mudah menawarkan suap kepada Surya demi mengamankan sebuah informasi. Di sisi lain, Surya yang berpegang pada idealismenya sebagai seorang jurnalis tidak bisa menafikan keinginan untuk menemukan ayahnya yang ‘hilang’ serta kemiskinan yang melilitnya. Lebih tragis lagi karakter Kiwil yang harus menafkahi kedelapan adiknya. Desakan ekonomi membuatnya mengambil jalan pintas, tanpa peduli benar atau salah, demi perut-perut yang tidak kelaparan.

    Konflik yang masih sangat relevan dengan fenomena masa kini disorot dalam hubungan Didik dan Surya. Artikel dengan potensi besar dalam menyingkap praktik ketidakadilan yang ditulis Surya tentu saja menjadi ancaman bagi pihak-pihak tertentu, termasuk kemungkinan oknum dalam institusi kepolisian. Upaya suap yang dilakukan Didik tidak hanya menggambarkan adanya penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga upaya-upaya pembungkaman yang kerap dialami jurnalis di lapangan. Tentu suap bukan satu-satunya tantangan yang dihadapi jurnalis. Ada banyak jenis tantangan lainnya, mulai dari sabotase alat kerja, teror, bahkan kadang sebuah berita harus dibayar dengan nyawa, persis yang dialami Surya dalam drama ini. Tiga Gundah Utara berhasil dengan cermat mengangkat isu kebebasan jurnalis yang kian hari kian tipis dan terkikis.

    Tidak berhenti pada perjuangan jurnalis dengan segala dilemanya menjaga integritas media, drama ini juga mengupas perjuangan kaum marginal dalam mendapatkan hidup yang layak. Sosok Handoko yang menggunakan rakyat kecil sebagai pion untuk menjalankan bisnis ilegalnya adalah representasi dari ketimpangan kekuasaan yang sesungguhnya. Sosok Kiwil yang ternyata merupakan kaki tangan Handoko dalam pendistribusian narkoba dan delapan adiknya merupakan potret buram kelompok-kelompok yang dilupakan negara. Mereka berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan kerap kali mengambil jalan-jalan yang tidak seharusnya. Ini tentu merupakan teguran bagi pemerintah untuk bisa lebih sigap dalam mengatasi masalah sosial yang mendasar. Adanya perbedaan kontras antara kemudahan hidup Didik dan kemelaratan ekstrem yang dialami tokoh Surya dan Kiwil menegaskan jurang ketimpangan sosial yang begitu dalam. Kemiskinan tidak boleh dipelihara. Pemerintah tidak boleh melestarikan kelompok rentan tanpa perlindungan dan keberpihakan yang nyata.

    Isu-isu mengenai ketidakadilan sosial, ketimpangan, dan feodalisme yang diangkat Tiga Gundah Utara terasa sangat selaras dengan semangat dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Pada seratus tahun kelahirannya, gagasan-gagasan Pram mengenai penindasan, perjuangan kelas, dan pentingnya kemanusiaan masih terus mendampingi kita. Karya-karyanya di masa lalu menjadi bukti bisu dalam menyulut semangat melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan. Pembungkaman dan pembredelan yang dialami Pram sepanjang hidupnya juga semakin mempertegas perjuangannya dalam membela kebebasan berpikir dan berekspresi.

    Pementasan Tiga Gundah Utara menggemakan kritik-kritik terhadap sistem sosial yang menindas rakyat kecil. Eksploitasi kaum miskin oleh Handoko, perjuangan hidup Kiwil yang berat, tekanan patuh yang dialami Didik dengan status polisinya, sampai perlawanan terhadap sensor dan represi intelektual yang dialami Surya merupakan kasus-kasus yang seolah tak pernah habis dimakan waktu. Menampilkan naskah ini dalam perayaan Seabad Pram bukan hanya sebagai bentuk penghormatan kepada sosok sastrawan besar, tetapi juga sebagai pengingat bahwa perjuangan Pram belum selesai. Melalui teater, keresahan kolektif dikemas menjadi ajakan merenungkan realitas sosial hari ini, sekaligus menggugah semangat perubahan. Dari panggung itulah, suara-suara yang lama terpinggirkan kembali bersuara, mengingatkan kita bahwa keadilan bukan sekadar cita-cita, melainkan perjuangan yang harus terus kita nyalakan bersama.

    penulis: Nadhira Mazaya A. dan Allegra Dyah Rinjani P.