Category: Uncategorized

  • HIDUP MATI. MATI HIDUP

    Mampus aku mampus

    Barangkali memang tak ada lagi halaman buku sehabis kata tidak

    Sebab yang kau mau hanya anggukan kepala

    Tapi berlagak melempar dadu seolah ‘kupunya peluru ‘tuk kutembakkan di pangkal ubunmu

    Mampus aku mampus

    Nasibku ada di pedangmu terhunus

    Dan wajahmu yang melukis pedih serasa terhina

    Memasang seringai di depan makamku yang kaugali jauh-jauh hari

    Mampus aku mampus

    Mampus lagi ribuan kali

    Senyum lagi, senyum seringai

    Biar habis mampus kau gali kuburku berkali-kali

    Karya Ervina Eka Safira

    Deskripsi Singkat Karya:

    Hidup Mati. Mati Hidup, mengangkat tentang perlawanan antara rakyat kecil dengan penguasa. Ketika seseorang seolah-olah diberikan pilihan atas sesuatu yang telah ditetapkan sejak awal dan menyadari hal tersebut, kemudian melakukan perlawanan keras yang mana memicu tindakan keras pula dari pihak otoriter. Idealismenya dibunuh berkali-kali, tetapi tetap lahir berkali-kali pula yang mana menunjukkan perlawanan yang gigih: idenya tidak akan pernah mati meskipun raga-raga pemiliknya dihabisi.

  • Ripuk

    barangkali kaca mataku perlu diganti

    sebab salam yang kaurangkai melalui mawar melati yang kaurengkuh manis dalam buket anggun merah muda

    menjelma bagai sepucuk pistol berpeluru tiga dalam koper kecil

    dengan pelatuknya yang mengarah ke jantungku

    di baliknya ada tanda nama:

    Cinta,

    Terimalah aku atau tak ada kita selama-lamanya

    ah, mati aku mati

    lubang di dada

    kesekian kalinya

    Karya Ervina Eka Safira

    Deskripsi Singkat Karya:

    Ripuk, mengangkat ironi tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan yang seolah selalu diharuskan untuk tertuju pada asmara. Di mana banyak sekali kasus yang beredar di mana persahabatan antar lawan jenis di mana ada satu pihak yang memaksa memasukkan asmara di dalam hubungan itu atau jika tidak, akan mengandaskan hubungan pada saat itu juga. Seolah hubungan baik yang terjalin sebelumnya adalah sia-sia dan tidak ada artinya jika tidak diamini sebagai hubungan asmara, meskipun pihak yang lain tidak menerima asmara tersebut.

  • Biru di Ujung Bibirku

    aku terlahir di tanah dingin itu

    tempat di mana gadis-gadis muda dijual seharga cincin kawin

    diberi gaun malam yang indah-indah

    dan seperangkat alat kebersihan

    aku terlahir di tanah dingin itu

    tempat di mana orang-orang itu menawarkan permata

    dan mencuri peran Tuhan untuk mempersilakanku masuk dalam barakah-karamah yang dimiliki-Nya

    atas nama bimbingannya

    aku terlahir di tanah dingin itu

    tempat di mana surga mengharamkan buku

    tetapi menghalalkan kasihmu meninggalkan biru di ujung bibirmu

    aku terlahir di tanah dingin itu

    Di mana gadisku dihargai sebatas cincin kawin. Bajuku koyak dan gaun malamku indah. Hariku habis pada seperangkat alat kebersihan. Lalu buku-bukuku jadi bahan api neraka. Surgaku jadi kabur. Lalu ketika aku bertanya mengapa–

    Surga

    Itu

    Seolah

    Menjauh

    Dari

    Biru

    Di ujung

    Bibirku

    karya Ervina Eka Safira

    Deskripsi Singkat Karya:

    Biru di Ujung Bibirku, mengangkat ironi tentang egoisme patriarki yang dibalut dalam syari’at agama yang tidak pada tempatnya. Agama dijadikan sebagai alat penguasaan perempuan melalui doktrin-doktrin yang telah dimanipulasi begitu rupa untuk melanggengkan dunia patriarki secara penuh: di mana perempuan direduksi dalam berbagai haknya, tetapi diminta secara penuh memberikan sesuatu yang dipaksa menjadi “kewajibannya”. Pun sebaliknya, laki-laki didoktrin untuk mengambil banyak hal yang dinarasikan sebagai “hak”-nya sekalipun menggunakan jalan kekerasan tanpa perlu mengindahkan apakah semua kewajibannya sudah dipenuhi

  • Kalau

    kalau bulan bisa ngomong

    panggil bintang-bintang bolong

    kalau bulan bisa ngomong

    jangan sampai remmu blong

    kalau bulan bisa ngomong

    senyum sedikit dong

    kalau bulan bisa ngomong

    aku tau kamu bohong

    karya Nadhira Arrumaisha

  • MASA MUDA

    kamar kos yang selalu tertutu.!

    karya Nadhira Arrumaisha

  • yang fana adalah kamu

    aku tak pernah membenci langit karena gemuruhnya

    aku tak pernah membenci laut karena gelombangnya

    aku pun tak pernah membenci angin karena gemersiknya

    aku hanya tau 

    mencintai langit dengan kabutnya

    mencintai laut dengan ombaknya

    dan mencintai angin dengan riuhnya

    mencintainya, apa adanya

    mencintaimu,

    – raga nan fana untukku

    Karya Vindianti Eka Ardiana

  • Abadi dalam Elegi: Suara Jiwa yang Pergi

    Segala yang tumbuh dengan hati,

    Segala yang pernah dirawat satu per satu menjauh.

    Bukan karena hilang kasih, bukan karena kurang memberi,

    Tapi karena jalan yang ditempuh tak lagi searah.

    Dunia hanya perihal datang dan pergi, 

    Pada akhirnya semua orang akan pergi, bahkan saat mereka telah berjanji.

    Terlalu Aksa yang berakhir lengkara,

    Dan pada akhirnya ketulusan hanya terbayar oleh keikhlasan saja.

    Tidak ada yang abadi, semuanya bersifat sementara,

    Yang ada hanyalah kesedihan dan kenangannya.

    Jiwa mereka hilang bersama dengan bayangan yang semakin lenyap,

    Tapi jiwa ini akan selalu di sini. 

    Karya Atikah Nur Hazimah

  • Mengoyak Asa yang Tertusuk Duri

    Asa yang lembut, kini tergerus waktu,

    Duri kehidupan, menusuk tanpa henti.

    Setiap tetes air mata, bercerita,

    Tentang cinta yang hilang, dan luka yang tak sirna.

    Hala yang hilang membuat kelabu,

    Dan enigma hidup terlalu fatamorgana untuk anagata.

    Ku tuliskan lara yang tiada ujungnya dan bulan menemani di kala duka,

    Menjadi saksi betapa gilanya aku karena terlalu banyak menahan lara.

    Luka ini terlalu dalam tuan…..

    Entah dengan cara bagaimana aku akan sembuh nantinya.

    Terimakasih atas sakit dan bahagia dalam jiwa yang remang,

    Mengoyak impian, membekas di hati.

    Karya Atikah Nur Hazimah

  • Hompimpa Alaihum Gambreng

    Renjana menari di balik nayanika,

    tatapanmu dikara, namun penuh nestapa. 

    Aku tenggelam dalam samudra mata, 

    di sana lara berbisik tanpa suara.

    Datang dikau, tanpa mantra, tanpa tanda,

    seperti bayu menyusup di sela sukma.

    Martyapada membangun bimantara untuk abhipraya, 

    yang ingin terbang ke bumantara dan mendapatkan nirwana.

    Senja seperti asmara yang jatuh,

    dalam tamisra dikala buwana sudah mengakhirinya.

    Ada yang muncul dari diam dan tanya,

    dan menjelma rasa….. rasa madhura yang menenangkan dharma.

    Karya Atikah Nur Hazimah

  • Timun

    Aku adalah timun yang meratapi nasibnya di tepi piring warung penyetan.

    Memandangi ayam-ayam yang selalu menjadi bintang utama,

    kadang tidak dimakan lalu dibuang.

    Aku hanyalah timun yang tak pernah tahu dimana aku berdiri.

    Kehilangan identitasnya, dikucilkan, dan dianggap tidak penting.

    Aku adalah timun yang perlahan membusuk di pembuangan sampah,

    menerima alur cerita dan tak bisa berbuat apa-apa.

    Karya Bintang Herlambang