Category: Uncategorized

  • Abadi dalam Elegi: Suara Jiwa yang Pergi

    Segala yang tumbuh dengan hati,

    Segala yang pernah dirawat satu per satu menjauh.

    Bukan karena hilang kasih, bukan karena kurang memberi,

    Tapi karena jalan yang ditempuh tak lagi searah.

    Dunia hanya perihal datang dan pergi, 

    Pada akhirnya semua orang akan pergi, bahkan saat mereka telah berjanji.

    Terlalu Aksa yang berakhir lengkara,

    Dan pada akhirnya ketulusan hanya terbayar oleh keikhlasan saja.

    Tidak ada yang abadi, semuanya bersifat sementara,

    Yang ada hanyalah kesedihan dan kenangannya.

    Jiwa mereka hilang bersama dengan bayangan yang semakin lenyap,

    Tapi jiwa ini akan selalu di sini. 

    Karya Atikah Nur Hazimah

  • Mengoyak Asa yang Tertusuk Duri

    Asa yang lembut, kini tergerus waktu,

    Duri kehidupan, menusuk tanpa henti.

    Setiap tetes air mata, bercerita,

    Tentang cinta yang hilang, dan luka yang tak sirna.

    Hala yang hilang membuat kelabu,

    Dan enigma hidup terlalu fatamorgana untuk anagata.

    Ku tuliskan lara yang tiada ujungnya dan bulan menemani di kala duka,

    Menjadi saksi betapa gilanya aku karena terlalu banyak menahan lara.

    Luka ini terlalu dalam tuan…..

    Entah dengan cara bagaimana aku akan sembuh nantinya.

    Terimakasih atas sakit dan bahagia dalam jiwa yang remang,

    Mengoyak impian, membekas di hati.

    Karya Atikah Nur Hazimah

  • Hompimpa Alaihum Gambreng

    Renjana menari di balik nayanika,

    tatapanmu dikara, namun penuh nestapa. 

    Aku tenggelam dalam samudra mata, 

    di sana lara berbisik tanpa suara.

    Datang dikau, tanpa mantra, tanpa tanda,

    seperti bayu menyusup di sela sukma.

    Martyapada membangun bimantara untuk abhipraya, 

    yang ingin terbang ke bumantara dan mendapatkan nirwana.

    Senja seperti asmara yang jatuh,

    dalam tamisra dikala buwana sudah mengakhirinya.

    Ada yang muncul dari diam dan tanya,

    dan menjelma rasa….. rasa madhura yang menenangkan dharma.

    Karya Atikah Nur Hazimah

  • Timun

    Aku adalah timun yang meratapi nasibnya di tepi piring warung penyetan.

    Memandangi ayam-ayam yang selalu menjadi bintang utama,

    kadang tidak dimakan lalu dibuang.

    Aku hanyalah timun yang tak pernah tahu dimana aku berdiri.

    Kehilangan identitasnya, dikucilkan, dan dianggap tidak penting.

    Aku adalah timun yang perlahan membusuk di pembuangan sampah,

    menerima alur cerita dan tak bisa berbuat apa-apa.

    Karya Bintang Herlambang

  • Taman Bunga Andromeda

    Kau adalah raung riuh yang membasahiku di pagi itu,

    menapak tilas mimpi-mimpi kita yang telah usai.

    Aku tergeletak tidak berdaya melihat kata-kata itu tumpah dari mulutku.

    Dan kau berlalu menanggalkan senyum sederhanamu.

    Kita berdiri di kaki yang sama, di sisi yang berbeda.

    Karya Bintang Herlambang

  • Mentari dari Sang Penguasa

    Sajak yang aku tulis hari ini hanya untukmu kasih…

    Ku berjanji-janji dari semua yang aku ucapkan

    Tak kala senyuman mulai terlukis indah di bibirmu saat melihatnya…

    Maka terima lah diriku kasih

    Aku akan memberikan yang terbaik untukmu…

    Walau sajak ini tidak seindah itu..

    Tetapi aku berusaha untuk membuatnya indah

    Walau tidak seindah senja yang kau sukai

    Tapi tolong lah cintai aku sekali lagi kasih,

    Akan ku rayakan semua tentang mu

    Karna itu tugas cinta untuk memberikan keindahan…

    Bahkan bisa lebih indah dari senja yang kau sukai

    Karya Meiyanti Arini

  • Terjebak dalam Penantian

    Dalam rentang waktu yang cukup lama

    Aku selalu menunggu kedatanganmu

    Arloji tak lepas dari lingkar tanganku

    Sepersekian detik sungguh sangat berarti

    Namun dirimu seolah abai

    Dirimu seolah lalai dengan semua janji-janji yang telau kau buat

    Benar memang

    Setiap orang ada masanya setiap masa ada orangnya

    Kau tahu?

    Bagaimana aku menggoreskan tinta?

    Bagaimana aku merindukan dirimu?

    Bagaimana aku memohon kepada Tuhan untuk mengembalikan waktu dulu?

    Dimana aku dan kamu masih menjadi kita

    Entahlah

    Untuk sekarang, biarkan waktu yang menjawab

    Karya Fadhia Tsuraya Nabila

  • Rindu Ditelan Laut

    Kepada rasa yang tak kunjung berlabuh

    Rindu ini menggebu untuk bertemu sang tuan

    Kapal yang kunjung dinanti, belum tiba sampai dermaga

    Terombang-ambing ombak di tengah lautan

    Badai angin menerpa

    Ditemani tangisan langit

    Merapalkan harapan

    Agar semesta berpihak

    Namun nyatanya, semesta tak berpihak

    Laut menelan banyak harap manusia

    Rindu yang sekian lama terpendam

    Tak akan pernah bertemu sang tuan

    Karya Arih Azzahrah

  • Anindhita; Yang Diminta Untuk Berpuisi

    Adalah Aninditha, yang harinya dipenuhi retorika demi membiaskan sempurna. Diucapkannya selalu kata-kata baik dan penuh cinta kepada sesama demi mendapat refleksi sepadan dari yang diberikannya. Dhita selalu belajar bahwa apa yang dia dapatkan adalah semata-mata karena apa yang telah dia lakukan. Maka ketika dia ingin dicintai, haruslah dia menabur cinta terlebih dahulu.

    Orang-orang selalu menilainya sebagai yang paling. Paling memperhatikan hal-hal kecil karena dia ingin juga diperhatikan. Paling berhati-hati dalam berucap karena maunya orang-orang mengerti hatinya semudah itu terluka karena cuitan kecil tanpa makna. Paling ingin diperhatikan karena itu yang tidak pernah didapatkannya selama ini. Dhita juga berpura-pura pandai berpuisi sebab ingin seseorang mengiriminya kata-kata bersumbat cinta pula. Tapi punya kuasa apa dia atas takdirnya, ingin-ingin itu hanya selamanya menjadi keinginan.

    Dhita terbiasa dipandang sebagai seorang yang pandai berpuisi hanya karena sesekali berkicau ketika hatinya gundah dan tak punya tempat berserah. Keinginannya untuk diperhatikan yang tidak terwujudkan menjadikannya semakin menutup diri hingga terbiasa untuk selalu menyimpan semuanya sendiri. Dhita sungguh sudah biasa akan hal itu, tapi dia hanya terbiasa, tidak benar-benar bisa.

    Dhita hanya terbiasa untuk memasang tampang baik meski hatinya terasa pelik, terbiasa tersenyum di atas kepedihannya yang selalu ranum.  Sungguh hanya terbiasa, bukan benar-benar bisa. Termasuk dalam memainkan kata-kata dalam rangkaian bait bermetafora, dia hanya mencoba terbiasa, tetapi tak pernah benar-benar bisa untuk meluapkan apa yang dirasa lewat aksara. Tapi begitu kejamnya dunia, hanya karena seseorang mencoba terbiasa, lalu dianggapnya dia mampu melakukannya tanpa luka.

    Sudah dua jam lebih Dhita berdiam sambil mengorek makna, dipaksanya otaknya untuk bekerja demi sebaris kata. Namun, lagi-lagi selama ini dia hanya terbiasa, bukannya bisa. Tidak kurang dan lebih dari satu baris aksara yang telah berhasil dipilihnya untuk mewakil rasa, selebihnya hanya ada kosong yang dia punya. Tidak peduli sudah sebanyak apa dia membangun rasa, meminum ribuan puisi racikan sastrawan kecintaannya, Dhita masih saja merasa belum bisa. Sedangkan kurang dari dua puluh empat jam lagi, lomba menulis puisi yang ingin diikutinya akan segera menutup pendaftaran.

    Semakin dipaksa untuk berpikir, semakin jauh saja rasanya dari kumpulan kata yang pernah dipelajarinya. Barangkali karena sebuah puisi harusnya datang dari hati, tetapi sayangnya Dhita sudah–lagi-lagi–terbiasa tidak mengikutkan hatinya dalam berbagai perkara. Sebab yang sudah-sudah, memakai hati justru semakin melukai.

    “Sastrawan itu gak galau sama dirinya sendiri.” Secangkir chamomile tea mendarat tepat di hadapannya.

    “Maksudnya, Pak?” Orang yang dipanggil Pak itu mengambil posisi tepat di hadapan Dhita. Sambil mengangsurkan beberapa buku sastra lama kepada pelanggan sekaligus anak didiknya.

    “Nih, coba deh perhatiin. Sastrawan lama itu kebanyakan berangkat dari permasalahan sosial yang ada di sekitarnya. Literally tidak membahas masalah pribadi,” jelasnya dijeda, membiarkan gadis itu untuk semakin berpikir. “Tau, karena apa?” Jeda lagi setelahnya.

    “Karena dia sudah selesai sama dirinya sendiri,” tukasnya begitu tidak mendapatkan jawaban dari Dhita. Sehabisnya lelaki berkacamata itu kembali meninggalkan anak didiknya untuk kembali berpikir. Yang ditinggalkan benar-benar dibuat berpikir setelahnya.

    Barangkali Dhita memang belum pernah selesai dengan dirinya sendiri. Hatinya yang kerap merasa sepi mencoba berlari pada kumpulan diksi demi menemukan pengakuan atas eksistensinya. Barangkali memang yang selama ini dilakukannya memang hanya membiaskan apa yang ia ingin orang-orang lihat dari dirinya, sesosok kosong yang ingin diperhatikan–barangkali. Tetapi, bukankah memang fungsinya karya sastra sebagai alter-ego penulisnya? Sekurang-kurangnya mampu menjadi katarsis bagi yang menulis dan yang membaca?

    Tapi toh puisi sudah tidak lagi terikat aturan kaku, Joko Pinurbo saja boleh menulis puisi dalam satu baris. Maka barangkali, satu baris yang telah ditulisnya itu sudah cukup untuk disebut puisi.

    Kepada luka, akulah pecandunya

    – Anindhita

    Karya Dya Nisa Kamila

  • Urip-Urup-Arip

    ubi kayu

    wedhang legit

    jenang cokelat

    lampu tintir

    atap bolong

    dan hujan bocor

    di bawahnya, bapak-ibu-anak-dan semut-semut ber-rembug di balik gubug remuk bubuk

    bernyata-nyata

    bertanya-tanya

    bertanya-tanya

    “Mengapa manusia suka menertawai tawa manusia lain?”

    tertawa-tawa

    Tembalang, 19 Maret 2025

    Wedhang: minuman (bahasa Jawa)

    Jenang cokelat: kudapan tradisional Jawa yang serupa dodol, berwarna cokelat dan memiliki rasa manis

    Rembug: berdiskusi (bahasa Jawa)

    Remuk bubuk: hancur lebur (bahasa Jawa)

    Karya Ervina Eka Safira

    Urip-Urup-Arip secara garis besarnya merupakan kritik sosial terhadap manusia-manusia yang senang menghakimi dan menilai sepihak pada kehidupan orang lain menggunakan standar-standar kehidupan mereka dan merasa kehidupan mereka yang paling mendekati sempurna.