Category: Uncategorized

  • Kucing!

    Jono memicingkan mata saat kakinya melangkah melewati gerbang besi yang menjulang dan berkarat. Sinar matahari Cipinang di sore hari terasa seperti tamparan panas di wajahnya, menusuk kulit setelah lima tahun hanya akrab dengan pendar lampu neon dan bayang-bayang kelabu sel penjara. Udara terasa berat, penuh dengan debu yang beterbangan dari jalan raya dan aroma samar-samar masakan padang yang menguar dari seberang. Lima tahun. Waktu yang terasa seperti keabadian, namun dunia di luar seolah tidak banyak berubah, hanya terasa lebih asing dan menyesakkan.

    Di bawah naungan pohon mangga yang rimbun, Cimeng sudah menunggunya. Ia bersandar di kap mobil Kijang kotak cokelatnya yang legendaris, kendaraan yang menjadi saksi bisu petualangan mereka sejak SMA, dari sekadar bolos sekolah untuk main di rental PS dekat Stasiun Depok Lama hingga mengantarJono yang kemabukan setelah menginap di Puncak. Rambut Cimeng tampak sedikit menipis di bagian depan, dan perutnya yang dulu rata kini membuncit samar di balik kaus oblong bergambar band The Cure. Ia menyeringai lebar, memperlihatkan deretan gigi yang tidak lagi serapi dulu, kuning karena nikotin tembakau kretek yang sudah dihisapnya sejak menengah pertama.

    “Jon!” serunya, melambaikan tangan dengan antusiasme yang canggung. “Bebas juga lo akhirnya, anjing.”

    Jono menghampirinya. Mereka berpelukan canggung, tepukan di punggung terasa kaku, tetapi di balik gestur itu ada rasa familier yang tidak hilang setelah lima tahun.

    “Gimana kabar lo, Meng?” suara Jono terdengar serak, seperti mesin yang lama tidak dinyalakan.

    “Baik, Jon, baik. Ya, beginilah. Masih narik ojek online, sesekali bantu nyokap di warung. Lo… gimana di dalam?” Cimeng menatapnya lekat, matanya yang biasanya jenaka kini menyiratkan kekhawatiran yang tulus.

    Jono menghela napas panjang, berat. “Hahaha, basa-basi lu jelek banget.” Ia menoleh ke belakang, menatap gerbang penjara yang kini tertutup rapat. Ada sebagian dari dirinya yang masih tidak percaya bahwa ia telah benar-benar keluar.

    Cimeng membukakan pintu penumpang. Saat Jono masuk, aroma khas mobil Kijang itu langsung menyergap indranya: campuran wangi rokok kretek, pengharum mobil rasa kopi yang sudah habis, dan bau karpet yang sedikit lembap. Dasbornya adalah sebuah museum kecil kehidupan Cimeng; koin receh, bungkus permen Tolak Angin, dan sebuah gantungan kunci ondel-ondel yang warnanya sudah memudar tergantung di spion tengah.

    “Mau langsung ke rumah nyokap lo?” tanya Cimeng sambil menyalakan mesin. Suara mesin diesel yang kasar itu terdengar familiar di telinga Jono.

    Jono terdiam sejenak, bukan karena larut dalam kesedihan, melainkan menimbang pilihan. Baginya, rumah itu hanyalah properti yang perlu diurus. Sebuah masalah yang bisa ditunda.

    “Nggak usah, Meng,” jawabnya datar, tatapannya lurus ke depan. “Nggak ada apa-apa lagi di sana. Nanti aja diurus.”

    Cimeng meliriknya sekilas, menangkap nada dingin dalam suara sahabatnya. Ia tidak berkomentar, hanya meraih sebungkus rokok kretek dari dasbor. “Nih,” katanya sambil menyodorkan sebungkus Gudang Garam Filter yang sudah terbuka.

    Jono mengambil sebatang. Tangannya sedikit kaku saat menjepit rokok itu di antara bibirnya. “Udah lama nggak ngerasain yang beginian. Di dalem jarang-jarang.”

    Cimeng menyalakan korek api gas, apinya menari-nari sejenak sebelum menyambar ujung rokok Jono, lalu rokoknya sendiri. Ia menurunkan kaca jendela mobilnya yang masih engkol, begitu juga Jono di sebelahnya. Asap putih tebal mengepul, mengisi kabin sesaat sebelum tersedot keluar oleh angin jalanan.

    “Oke. Ke rumah gue dulu aja, berarti,” kata Cimeng setelah mengembuskan asap pertama. Ia menjentikkan abu rokoknya ke luar jendela dengan gerakan santai yang sudah menjadi kebiasaan. Jono mengikutinya. Mereka berdua terdiam, abu rokok mereka berjatuhan ke aspal Margonda yang panas, hilang ditelan hiruk pikuk kota. Cimeng lalu memutar kemudi, dan mobil Kijang itu perlahan bergabung dengan kemacetan yang tak pernah punya belas kasihan.

    Mereka menyusuri jalan arteri kota Depok itu. Sepeda motor menyelinap di antara mobil-mobil seperti ikan, sementara angkot-angkot berhenti mendadak tanpa aba-aba, menciptakan simfoni klakson yang riuh. Jono menatap keluar jendela. Margo City terlihat lebih megah, dan di dekatnya, sebuah apartemen baru yang dulu hanya berupa lahan kosong kini menjulang angkuh. Ia merasa seperti seorang turis di kotanya sendiri. Mereka melewati lampu merah Juanda, dan Jono tanpa sadar teringat saat ia dan Cimeng sering duduk-duduk di trotoar sambil membahas setelah lulus mau diapakan lagi hidup mereka.

    “Lapar?” tanya Cimeng, memecah keheningan.

    “Nasi goreng gila di Arif Rahman Hakim, mau? Yang deket stasiun.”

    “Terserah lo aja, Meng.”

    Cimeng belok naik melewati flyover dan menepikan Kijangnya di depan sebuah warung tenda nasi goreng yang ramai. Aroma bawang putih dan cabai yang ditumis dengan minyak panas langsung menyambut mereka. Suara spatula yang beradu dengan wajan besi besar terdengar berisik. Beberapa pengemudi ojek online tampak menunggu pesanan mereka di kursi-kursi plastik yang disediakan.

    “Bang, nasgor gila dua, ya! Yang satu pedes, satunya jangan pedes-pedes,” seru Cimeng kepada si juru masak yang gerakannya cekatan. “Minumnya es teh tawar aja dua.”

    Mereka duduk di bangku plastik yang agak reyot. Pesanan mereka datang, dua piring nasi goreng mengepul. Mereka makan dalam diam untuk beberapa saat, hanya suara lalu lintas dan spatula si abang tukang nasi goreng yang mengisi kekosongan.

    “Jon,” Cimeng memulai, setelah menelan suapan terakhirnya. “Gue… lima tahun ini cuma denger cerita dari berita sama dari orang-orang. Gue nggak pernah denger langsung dari lo.”

    Jono berhenti mengunyah. Ia meletakkan sendoknya. “Cerita apa? Udah jelas semua kan. Gue bunuh kucing, gue masuk penjara. Selesai.”

    “Bukan itu,” kata Cimeng, menggeser piringnya yang sudah kosong. “Maksud gue… cerita versi lo. Bukan yang gue baca di berita. Semuanya, dari awal.”

    Jono menghela napas, kali ini terasa lebih berat. “Lo beneran mau denger?” tanyanya, lebih seperti sebuah pernyataan daripada pertanyaan. Cimeng hanya mengangguk.

    “Oke,” Jono memulai, suaranya datar. “Gue pulang dari proyek luar kota itu. Nyampe depan rumah nyokap, udah kecium bau bangkai dari teras. Pintu dikunci. Gue gedor, gue panggil-panggil, nggak ada yang jawab. Firasat udah nggak enak, jadi gue lari manggil Pak RT sama beberapa tetangga.”

    Ia berhenti, meminum es tehnya. “Kita rame-rame dobrak pintunya. Ada satu anak muda, gue kenal, ngerekam pake HP. Katanya buat bukti, jaga-jaga. Si anjing itu ternyata yang pertama nyebarin videonya.”

    Jono menatap kosong ke arah wajan si abang nasi goreng. “Baunya makin parah di dalem, dari arah dapur. Gue lari ke sana duluan. Nyokap… di lantai. Kondisinya udah… ya lo bayangin aja sendiri, Meng. Udah busuk. Beberapa bagian udah jadi tulang.”

    “Gue nggak peduli baunya,” lanjut Jono, suaranya sedikit bergetar untuk pertama kalinya. “Gue langsung peluk aja. Gue nangis di situ.”

    “Terus, lagi gue nangis meluk nyokap,” katanya lagi, nadanya berubah dingin. “Dateng itu kucing sialan. Santai banget jalannya, kayak nggak ada apa-apa. Terus dia nyomot kulit deket muka nyokap gue yang udah… ah, anjing lah.”

    Jono terdiam, rahangnya mengeras. “Gue nggak inget apa-apa lagi, Meng. Tiba-tiba aja udah ada suara ‘gedebuk’. Itu kucing udah nempel di tembok. Gue bahkan nggak sadar kapan gue berdiri dan ngelemparnya. Semuanya gelap.”

    Cimeng diam saja, tidak mampu berkata-kata. Ia hanya bisa menatap sahabatnya, membayangkan kengerian yang baru saja diceritakan. “Parah, Jon,” bisiknya.

    Jono mengangguk pelan, lalu kembali mengambil sendoknya dan menghabiskan sisa nasi goreng di piringnya dengan gerakan mekanis. Seolah-olah dengan menghabiskan makanan itu, ia bisa menelan semua amarahnya kembali ke dalam.

    Setelah makan, mereka kembali ke mobil. Cimeng menyalakan sebatang rokok. “Jadi, rencana lo sekarang apa?” tanyanya hati-hati.

    Jono mengangkat bahu, tatapannya kosong. “Nggak tahu. Mungkin cari kerja lagi. Gue bisa numpang di rumah lo dulu, Meng?”

    “Ya jelas bisalah, Jon. Kapan aja. Anggap aja rumah sendiri. Kontrakan gue sepi kok. Nyokap sama Wina kan jualan di pasar, pulangnya maghrib.”

    “Makasih, Meng.”

    “Santai.”

    Mobil Kijang itu kembali bergerak, kali ini menuju Kukusan. Mereka masuk ke sebuah gang sempit dan berhenti di depan rumah petak sederhana.

    “Masuk, Jon. Jangan sungkan,” kata Cimeng sambil membuka pintu.

    Jono melangkah masuk ke ruang tamu yang kecil. Saat ia meletakkan tasnya yang lusuh di lantai, seekor kucing kampung berwarna oranye dengan santainya keluar dari bawah meja dan menggesekkan tubuhnya ke kaki Jono, seolah menyambut penghuni baru.

    Jono berhenti, menatap ke bawah. Ia tidak bergeming.

    Cimeng, yang baru saja menutup pintu, melihat pemandangan itu. Sebuah seringai jahil terbit di bibirnya.

    “Nah, Jon,” katanya sambil menunjuk kucing itu dengan dagunya. “Ini yang buat lu dipenjara?”

    Jono mengangkat kepalanya, menatap Cimeng. Selama sedetik, suasana terasa tegang. Lalu, sudut bibir Jono tertarik ke atas, disusul oleh tawa yang serak dan kering. Tawa yang terdengar seperti kerikil yang digiling.

    Melihat reaksi itu, Cimeng ikut tertawa terbahak-bahak. Tawa mereka yang kasar dan tanpa beban mengisi ruangan sempit itu.

    “Bangsattt,” kata Jono di sela-sela tawanya, sambil membungkuk untuk mengelus kepala si kucing oranye, yang langsung mendengkur puas.

    Menjelang maghrib, ibu Cimeng dan adiknya, Wina, pulang. Mereka menyambut Jono dengan hangat. Wina, adiknya, tampak senang saat Jono bermain-main dengan kucing oranye kesayangannya.

    Malam itu, setelah semua orang tidur, Jono tidak bisa memejamkan mata. Ia keluar ke teras belakang, menyalakan sebatang rokok. Tak lama, si kucing oranye datang dan duduk di dekat kakinya, menatapnya dengan mata bulat. Jono menatap balik ke arah kucing itu, ekspresinya datar. Sesaat, ia melirik ke arah pintu, memastikan tidak ada seorang pun yang melihat. Lalu, dengan gerakan cepat yang nyaris tanpa suara, ujung sepatunya menyentuh perut si kucing. Bukan tendangan keras, hanya dorongan kasar yang membuat hewan itu terkejut dan lari terbirit-birit ke dalam kegelapan.

    Karya Cikal Gibrani Miwaha

  • Tentang Hawa

    Pikirku mengembara

    Mendalami setiap inci goresan senja

    Menikmati kasih tulus yang bermuara

    Dari sukma sang pengabdi madrasah pertama

    Untukmu, sang pembawa surga….

    Tetaplah tersua selalu

     Kalas pola sabit di bibir manismu

    Menyimpannya di radar ufuk kalbu

    Untuk mengusir setiap gelap langitku

    Kepadamu, Sang penyempurna agama….

    Pesona indahmu meneduhkan semesta

    Hatimu sehalus perca sutra

    Cantikmu mengalahkan bijih permata

    Yang selamanya akan terus terjaga

    Bagimu, Sang penyampai aksara pertama….

    Lembutnya desir angin seolah memberi sebuah isyarat

    Yang Mengeja setiap kata menjadi sebuah amanat

    Untuk selalu menjunjung mahkota derajat

    Seorang wanita yang terhormat

    Karya Silvika Halwa Nabila

  • Mengeja Makna Nestapa

    Kuterawang sebuah kenangan using

    Bersama kalas bayangan seseorang

    Yang tiba-tiba menyusup tanpa berucap datang

    dan lenyap begitu saja seakan ditelan petang

    Kericuhan angin bermain melodi seolah mengeja sebuah pesan

    Untuk menakwilkan hikmah dalam setiap kejadian

    Menyulap serpihan tangis dan keputusasaan

    Menjadi lorong menuju bilik keikhlasan

    Aku ingin bercerita

    Tentangnya yang tak ada dua

    Tenyangnya yang abadi menjadi cinta pertama

    Tentangnya yang kasihnya tak pernah lenyap sepanjang masa

    Tentangnya yang hangatannya menetap di tiap benak manusia

    Walau hadirnya, kini hanya bisa dijemput lewat do’a

    Kerinduan ini akan terus ku semai

    Dengan ketaatan kepada-Nya supaya tidurmu damai

    Semua nasihatmu akan terus ku pahat dalam dinding-dinding perjalananku

    Hingga nanti diujung pencapaian tertinggiku,

    bisa kuceritakan dengan bangga di depan kuburmu

    betapa mahirnya putri kecilmu melawan bengisnya dunia yang berbatu

    Karya Silvika Halwa Nabila

  • SEBILAH EMPAT WAJAH

    Aku menulis ini sebagai anak perempuan—

    Yang diajar menata piring sebelum sempat menyusun mimpi.

    Yang hadir ke dunia dalam tubuh tuntutan bahwa harus cekatan mendongeng sebelum bisa berkata.

    Yang tumbuh di antara dinginnya pistol dan ego, diajar tunduk, sebelum sempat memilih arah berdiri.

    Yang tangannya dipenuhi tugas sebelum jemarinya mengenal dunia.

    Di antara sela jemari tangannya yang sembari menggenggam

    satu tanya tak kunjung reda;

    Bagaimanakah seharusnya menjadi anak perempuan?

    Aku menulis ini sebagai istri—

    Yang akhirnya tahu bagaimana dingin dikasihi tanpa perlu tuntutan berembun. Bukan karena patuh, tapi karena dirinya utuh.

    Yang pelukannya tak lagi bentuk anggara pengorbanan, melainkan ruang pulang yang setia.

    Yang tidak lagi perlu menebak apakah dirinya masih layak?

    Sebab, ada pelukan yang siap mendekap luka-lukanya tanpa ingin merakit ulang bentuknya.

    Aku menulis ini sebagai seorang ibu—

    Yang kini selalu dibelai oleh suara-suara kecil yang menjadikannya pusat semesta.

    Yang kini berusaha diucap dengan pengulangan suku kata “ma”

    Yang tubuhnya menjadi bilik berlindung,

    Meski sendirinya kadang tak sempat berlindung dari tombakan lelah.

    Dan, yang selalu siaga menyisipkan doa pada lipatan baju.

    Aku menulis ini untuk aku, si perempuan itu—

    Sebagai kesaksian.

    Yang menetap bukan sebab tak tahu jalan keluar,

    Melainkan ingin menjadi tanah yang tak lagi mengingkari akarnya,

    Dengan perempuan yang utuh di tubuhnya sendiri.

    Karya Revalina Suci

  • Tikaman Sunyi

    Bagai embun menyejuk dikala pagi

    Bak lentera menjuang bersinar dengan terang

    Ku sapa indah wahai kau mentari

    Bersama dengan dersik anila yang berlalu-lalang

    Tentang malam-malam sepi yang kulewati

    Aku berterima kasih kepada sang sanubari

    Karena telah weharima sampai kini, disini

    Tat kala disaat perih menikam diri ini

    Lantas sekarang, ke mana arah yang kutuju?

    Dengan hanyut dalam lara di setiap langkahku

    Tanpa kusadari,

    Tak ada satu pun insan peduli terhadapku

    Kini, aku sendiri bersama dengan lamunan sendu

    Jiwa yang selalu ku arungi, kini tak lagi niskala

    Berontak, menyayat luka entah ke sekian kalinya

    Layaknya atma yang saling berdebat

    Ya, aku hanya berargumentasi sendiri atas lara yang ada

    Hampir saja aku mati dibunuh oleh sepi

    Dengan butiran kesunyian, tanpa adanya pengharapan

    Semakin sulit bagi ku menyembunyikan rasa sakit ini

    Sampai kapan aku bisa terus bertahan?

    Terpikir untukku menyerah, tapi

    Sampai pada bait-bait puisi ini ku tumpahkan di penghujung hari

    Bertahanlah, akan ada pelangi yang mewarnai di kemudian hari

    Karya Nurul Hidayah

  • Stasiun Kecil Bagian Utara

    aku melihat orang berjalan tergesa-gesa,

    meninggalkan jejak pada lantai sepi itu.

    namun aku melangkah pelan, enggan

    lalu, langkahku terhenti di ujung peron.

    tas punggung, berat oleh harapan dan doa.

    mata menatap rel yang tak pernah tidur,

    seperti hatiku — yang tak pernah benar-benar pulang.

    stasiun ini bukan rumah,

    tapi selalu jadi awal dan akhir cerita,

    tempat kusimpan sunyi,

    dan rindu yang tak muat dalam jinjinganku.

    setiap peluit kereta mengingatkanku

    pada suara mama memanggil dari dapur,

    pada aroma pagi yang hilang

    di antara deru mesin dan kota yang asing.

    setiap gesekan sepatu mengingatkanku

    pada langkah ayah — yang selalu menghampiriku,

    kala malam, untuk bubuh kecupan

    lalu bisikan sebuah pengantar lelap.

    aku belajar mengukur jarak dengan air mata,

    menyulam mimpi di tempat jauh,

    meski bayang rumah selalu lekat di jendela.

    di sini, di stasiun yang tak mengenal namaku,

    aku jadi penumpang bagi waktu dan kenangan.

    pulang mungkin hanya jeda,

    tapi stasiun — selalu jadi tempat aku belajar bertahan.

    Karya Aprilia Wening Sukma

    Deskripsi Singkat Karya:

    Sebuah tulisan perihal seorang anak pertama yang merindukan rumah karena ia sedang merajut mimpi nun jauh di sana. pada stasiun yang selalu menjadi saksi dari sebuah harapan oleh orang yang kita sayang, pada stasiun yang selalu erat dengan sebuah rindu dan pulang.

  • Karang

    Meraung sang laksamana

    Bagai menilik kaum ternama

    Tentu tidak lebih hebat dari seonggok keledai

    Jika pasir berwarna hijau

    Sudah pasti terhardik biru ombak

    Pun pasir hitam begitu melindungi barisannya

    Mungkin teritorial tak berkata

    Lain jelata yang memberi tanda

    Cerdik ia menggaung garis dalam perahu

    Wajar dara kian menutup diri

    Takut miliknya diambil alih

    Oleh siapa pun yang berlakon kasih

    Sejatinya pembungkusan perak permata

    Akan kembali kepada sang empunya

    Yang tak doyan bersua ialah kepalanya

    Karya Nurul Athiyah Hilmi

    Deskripsi karya “Karang” : Karya dan pengarang Nurul Athiyah Hilmi, membawakan puisi dengan tema perlawanan. Puisi ini diciptakan sebagai bentuk sindiran kepada pemerintah pada tahun 1998 mengenai berbagai kerusuhan dan kekacauan masa itu, pun sebagai bentuk penghargaan terhadap hati yang tegar dan tulus kepada para pejuang era kehancuran. Mengambil inspirasi dari novel “Laut Bercerita” karya Leila S. Chudori

  • Suara yang Tak Pernah di Dengar

    Pagi hari kala itu, Sadewa datang terlambat ke kelas. Dia baru saja bangun karena begadang semalaman mengerjakan tugas yang hampir ia lupakan. Dosen sudah mulai masuk ke ruang kelas, dan teman-teman sudah menduduki bangku favorite mereka. Sadewa terburu-buru mencari tempat duduk di barisan belakang, tentunya baris belakang baris paling nyaman, nggak terlalu kelihatan dan nggak perlu banyak ngobrol.

    Sadewa merupakan mahasiswa jurusan Hukum di Universitas Indonesia. Semenjak masuk kuliah, dia mulai belajar banyak tentang Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, dia nggak terlalu peduli soal itu. Cuma hal basic yang Sadewa tau tentang Hak Asasi Manusia yaitu kebebasan, kesetaraan, dan perlakuan yang adil terhadap sesama. Tapi, setelah masuk kuliah, dia mulai mikir “apa sebenernya hak asasi manusia itu? dan kenapa banyak orang yang nggak bisa dapet hak mereka dengan adil?”

    Hari itu, dosen mereka, Pak Hamid, mengajar tentang “Hak atas Kebebasan Berpendapat.” Teman-teman banyak yang terlihat antusias, beberapa ada yang nyatet, dan ikut berdiskusi. Tapi Sadewa lebih sering mikir, dia mikir tentang kehidupan sehari-hari, tentang orang-orang yang dia temui, dan tentang dunia di luar kampus yang nggak terlalu berjalan mulus seperti yang dia pelajari di kelas.

    Sadewa merasa bahwa banyak orang di luar sana yang hak-haknya sering dilanggar, bahkan nggak pernah didengar. Kayak misalnya, orang-orang di kampung halaman Sadewa yang tinggal di daerah yang belum berkembang, mereka sering kalah perihal akses pendidikan yang layak, nggak bisa hidup sejahtera, bahkan serinh diperlakukan semena-mena oleh para penguasa.

    Teringat Sadewa beberapa bulan lalu, dia pulang kampung untuk liburan. Di kampungnya, ada kasus yang bikin dia merasa nggak enak banget. Ada seorang perempuan bernama Kaluna, yang tinggal di desa sebelah. Kaluna punya dua anak, dan suaminya seorang buruh tani. Mereka hidup pas-pasan banget. Kaluna sehari-hari kerja sambilan di rumah tetangga buat bantu-bantu masak dan bersih-bersih. Suatu hari, Kaluna dipanggil sama kepala desa untuk ke kantoe desa. Waktu itu, Sadewa masih ada di kampung dan ikut mendengar cerita dari orang-orang.

    Waktu itu, Sadewa merasa kecewa. Kenapa sih hak orang untuk menyuarakan pendapat bisa semudah itu diabaikan? Kaluna cuma mau suara dia didengar, nggak lebih, tapi malah dibungkam. Sadewa mikir, ini kan jelas-jelas melanggar hak asasi manusia. Setiap orang berhak untuk berpendapat, termasuk Kaluna, yang hanya ingin memperbaiki kondisi desanya yang buruk, tapi hanyalah ancaman dan salah yang Kaluna dapatkan.

    Kembali ke kelas, Pak Hamid mulai menjelaskan tentang contoh-contoh pelanggaran hak asasi manusia yang sering terjadi di Indonesia. Pak Hamid menekankan bahwa meskipun hak asasi manusia sudah diatur dalam berbagai konvensi internasional, kenyataannya masih banyak orang yang hak-haknya dilanggar. Bahkan di negara yang sudah mengklaim dirinya demokratis dan menghargai hak asasi manusia.Kaluna mulai berpikir lagi. Apa sih yang sebenernya bisa dia lakukan? Gimana cara dia untuk bisa memperjuangkan hak-hak orang lain? Apakah cukup hanya dengan belajar teori dikelas, atau ada hal nyata yang bisa dilakukan untuk membantu orang-orang seperti Kaluna?

    Setelah kuliah, Sadewa ngobrol sama beberapa teman sekelasnya. Dia cerita tentang apa yang terjadi di kampungnya dan tentang Kaluna. Teman-temannya kebanyakan cuma ngasih respon singkat. Ada yang jawab dengan ketus, “Ya, itu kan masalah desa, nggak bisa kita ikut campur.” bahkan ada yang menjawab dengan meremehkan “Ya, emang sih, tapi kan orang desa juga nggak sepenuhnya ngerti soal hak asasi manusia.”

    Sadewa merasa frustasi. Kenapa sih banyak orang yang nggak peduli? Padahal, hak asasi manusia itu bukan cuma soal teori di kelas. Itu adalah soal kehidupan setiap hari, soal setiap orang yang berhak hidup dengan aman, berpendapat, dan diperlakukan dengan adil. Kaluna, misalnya, cuma pengen didengar dan diperhatikan. Dia cuma pengen haknya untuk hidup lebih baik, tapi malah diperlakukan sebaliknya. Padahal, dia juga punya hak asasi sebagai manusia, kan? Malam itu, Sadewa nggak bisa tidur. Dia terus mikir tentang apa yang bisa dia lakukan. Dia sadar, dia nggak bisa menyelesaikan semuanya sendirian. Tapi kalau semua orang nggak mulai peduli, siapa yang bakal bantu orang-orang yang haknya sedang tertindas seperti Kaluna?

    Sadewa mulai cari cara untuk mengedukasi orang-orang di sekitarnya. Dia mulai diskusi tentang hak asasi manusia dengan teman-temannya, nggak cuma di kampus, tapi juga di luar kampus. Dia bikin grup di media sosial yang isinya orang-orang yanng peduli soal hak asasi manusia. Mereka mulai diskusi isu-isu lokal yang sering diabaikan, kayak yang terjadi di kampung halaman Sadewa. Sadewa percaya, sebuah perubahan besar memerlukan waktu, langkah-langkah kecil itu penting untuk menciptakan sebuah kesadaran.

    Suatu hari, Sadewa mengajak Kaluna untuk datang ke acara diskusi yang diadakan oleh organisasi kampus yang peduli soal hak asasi manusia. Meskipun awalnya Kaluna ragu, akhirnya dia mau datang. Kaluna bercerita tentang pengalamannya di depan teman-teman kampus yang hadir. Meskipun di awal ada rasa canggung, dia merasa ada yang mendengarkan. Teman-teman di kampus yang hadir mulai memberi dukungan, dan beberapa di antaranya berjanji untuk membantu menyuarakan masalah jalan rusak yang ada di desa Kaluna.

    Sadewa merasa bangga. Walaupun belum banyak yang berubah, dia tahu bahwa suara kecil Kaluna dan orang lain yang haknya tertindas bisa didengar. Setiap orang memiliki hak untuk didengar dan dihargai, tidak peduli siapa mereka atau dari mana asal mereka. Sadewa sadar, hak asasi manusia bukan hanya sekedar pembicaraan di kelas atau teori yang dibaca didalam buku. Hak asasi manusia merupakan kenyataan hidup yang harus diperjuangkan setiap hari, dan setiap orang, sekecil apapun langkahnya, bisa menjadi bagian dari perubahan tersebut

    Karya Tasya Kamila

  • Lagi-lagi

    Waktu tak lagi berjalan, ia menari,

    menumpahkan rasa asing ke dalam cangkirku

    Langkahmu menggetarkan lantai yang sunyi

    dan hatiku jatuh tanpa kau tahu

    Kau bukan cahaya, tapi semacam nyala,

    yang tak menyilaukan, tapi membuatku ingin tinggal.

    Ada hangat yang tak pernah kupinta,

    selalu datang tiap kau menyapa.

    Karya Titin Prihartini

  • Di Ujung Senyap

    Di langit itu aku menyimpan namamu,

    di antara gugur daun dan desir waktu.

    Aku memeluk bayangmu yang bisu,

    seperti menggenggam angin yang penuh luka

    Senyap menjadi teman setia,

    saat rinduku menua di dada

    Tak ada kabar, tak ada suara

    hanya kenangan yang terus bertakhta.

    Karya Titin Prihartini