Jono memicingkan mata saat kakinya melangkah melewati gerbang besi yang menjulang dan berkarat. Sinar matahari Cipinang di sore hari terasa seperti tamparan panas di wajahnya, menusuk kulit setelah lima tahun hanya akrab dengan pendar lampu neon dan bayang-bayang kelabu sel penjara. Udara terasa berat, penuh dengan debu yang beterbangan dari jalan raya dan aroma samar-samar masakan padang yang menguar dari seberang. Lima tahun. Waktu yang terasa seperti keabadian, namun dunia di luar seolah tidak banyak berubah, hanya terasa lebih asing dan menyesakkan.
Di bawah naungan pohon mangga yang rimbun, Cimeng sudah menunggunya. Ia bersandar di kap mobil Kijang kotak cokelatnya yang legendaris, kendaraan yang menjadi saksi bisu petualangan mereka sejak SMA, dari sekadar bolos sekolah untuk main di rental PS dekat Stasiun Depok Lama hingga mengantarJono yang kemabukan setelah menginap di Puncak. Rambut Cimeng tampak sedikit menipis di bagian depan, dan perutnya yang dulu rata kini membuncit samar di balik kaus oblong bergambar band The Cure. Ia menyeringai lebar, memperlihatkan deretan gigi yang tidak lagi serapi dulu, kuning karena nikotin tembakau kretek yang sudah dihisapnya sejak menengah pertama.
“Jon!” serunya, melambaikan tangan dengan antusiasme yang canggung. “Bebas juga lo akhirnya, anjing.”
Jono menghampirinya. Mereka berpelukan canggung, tepukan di punggung terasa kaku, tetapi di balik gestur itu ada rasa familier yang tidak hilang setelah lima tahun.
“Gimana kabar lo, Meng?” suara Jono terdengar serak, seperti mesin yang lama tidak dinyalakan.
“Baik, Jon, baik. Ya, beginilah. Masih narik ojek online, sesekali bantu nyokap di warung. Lo… gimana di dalam?” Cimeng menatapnya lekat, matanya yang biasanya jenaka kini menyiratkan kekhawatiran yang tulus.
Jono menghela napas panjang, berat. “Hahaha, basa-basi lu jelek banget.” Ia menoleh ke belakang, menatap gerbang penjara yang kini tertutup rapat. Ada sebagian dari dirinya yang masih tidak percaya bahwa ia telah benar-benar keluar.
Cimeng membukakan pintu penumpang. Saat Jono masuk, aroma khas mobil Kijang itu langsung menyergap indranya: campuran wangi rokok kretek, pengharum mobil rasa kopi yang sudah habis, dan bau karpet yang sedikit lembap. Dasbornya adalah sebuah museum kecil kehidupan Cimeng; koin receh, bungkus permen Tolak Angin, dan sebuah gantungan kunci ondel-ondel yang warnanya sudah memudar tergantung di spion tengah.
“Mau langsung ke rumah nyokap lo?” tanya Cimeng sambil menyalakan mesin. Suara mesin diesel yang kasar itu terdengar familiar di telinga Jono.
Jono terdiam sejenak, bukan karena larut dalam kesedihan, melainkan menimbang pilihan. Baginya, rumah itu hanyalah properti yang perlu diurus. Sebuah masalah yang bisa ditunda.
“Nggak usah, Meng,” jawabnya datar, tatapannya lurus ke depan. “Nggak ada apa-apa lagi di sana. Nanti aja diurus.”
Cimeng meliriknya sekilas, menangkap nada dingin dalam suara sahabatnya. Ia tidak berkomentar, hanya meraih sebungkus rokok kretek dari dasbor. “Nih,” katanya sambil menyodorkan sebungkus Gudang Garam Filter yang sudah terbuka.
Jono mengambil sebatang. Tangannya sedikit kaku saat menjepit rokok itu di antara bibirnya. “Udah lama nggak ngerasain yang beginian. Di dalem jarang-jarang.”
Cimeng menyalakan korek api gas, apinya menari-nari sejenak sebelum menyambar ujung rokok Jono, lalu rokoknya sendiri. Ia menurunkan kaca jendela mobilnya yang masih engkol, begitu juga Jono di sebelahnya. Asap putih tebal mengepul, mengisi kabin sesaat sebelum tersedot keluar oleh angin jalanan.
“Oke. Ke rumah gue dulu aja, berarti,” kata Cimeng setelah mengembuskan asap pertama. Ia menjentikkan abu rokoknya ke luar jendela dengan gerakan santai yang sudah menjadi kebiasaan. Jono mengikutinya. Mereka berdua terdiam, abu rokok mereka berjatuhan ke aspal Margonda yang panas, hilang ditelan hiruk pikuk kota. Cimeng lalu memutar kemudi, dan mobil Kijang itu perlahan bergabung dengan kemacetan yang tak pernah punya belas kasihan.
Mereka menyusuri jalan arteri kota Depok itu. Sepeda motor menyelinap di antara mobil-mobil seperti ikan, sementara angkot-angkot berhenti mendadak tanpa aba-aba, menciptakan simfoni klakson yang riuh. Jono menatap keluar jendela. Margo City terlihat lebih megah, dan di dekatnya, sebuah apartemen baru yang dulu hanya berupa lahan kosong kini menjulang angkuh. Ia merasa seperti seorang turis di kotanya sendiri. Mereka melewati lampu merah Juanda, dan Jono tanpa sadar teringat saat ia dan Cimeng sering duduk-duduk di trotoar sambil membahas setelah lulus mau diapakan lagi hidup mereka.
“Lapar?” tanya Cimeng, memecah keheningan.
“Nasi goreng gila di Arif Rahman Hakim, mau? Yang deket stasiun.”
“Terserah lo aja, Meng.”
Cimeng belok naik melewati flyover dan menepikan Kijangnya di depan sebuah warung tenda nasi goreng yang ramai. Aroma bawang putih dan cabai yang ditumis dengan minyak panas langsung menyambut mereka. Suara spatula yang beradu dengan wajan besi besar terdengar berisik. Beberapa pengemudi ojek online tampak menunggu pesanan mereka di kursi-kursi plastik yang disediakan.
“Bang, nasgor gila dua, ya! Yang satu pedes, satunya jangan pedes-pedes,” seru Cimeng kepada si juru masak yang gerakannya cekatan. “Minumnya es teh tawar aja dua.”
Mereka duduk di bangku plastik yang agak reyot. Pesanan mereka datang, dua piring nasi goreng mengepul. Mereka makan dalam diam untuk beberapa saat, hanya suara lalu lintas dan spatula si abang tukang nasi goreng yang mengisi kekosongan.
“Jon,” Cimeng memulai, setelah menelan suapan terakhirnya. “Gue… lima tahun ini cuma denger cerita dari berita sama dari orang-orang. Gue nggak pernah denger langsung dari lo.”
Jono berhenti mengunyah. Ia meletakkan sendoknya. “Cerita apa? Udah jelas semua kan. Gue bunuh kucing, gue masuk penjara. Selesai.”
“Bukan itu,” kata Cimeng, menggeser piringnya yang sudah kosong. “Maksud gue… cerita versi lo. Bukan yang gue baca di berita. Semuanya, dari awal.”
Jono menghela napas, kali ini terasa lebih berat. “Lo beneran mau denger?” tanyanya, lebih seperti sebuah pernyataan daripada pertanyaan. Cimeng hanya mengangguk.
“Oke,” Jono memulai, suaranya datar. “Gue pulang dari proyek luar kota itu. Nyampe depan rumah nyokap, udah kecium bau bangkai dari teras. Pintu dikunci. Gue gedor, gue panggil-panggil, nggak ada yang jawab. Firasat udah nggak enak, jadi gue lari manggil Pak RT sama beberapa tetangga.”
Ia berhenti, meminum es tehnya. “Kita rame-rame dobrak pintunya. Ada satu anak muda, gue kenal, ngerekam pake HP. Katanya buat bukti, jaga-jaga. Si anjing itu ternyata yang pertama nyebarin videonya.”
Jono menatap kosong ke arah wajan si abang nasi goreng. “Baunya makin parah di dalem, dari arah dapur. Gue lari ke sana duluan. Nyokap… di lantai. Kondisinya udah… ya lo bayangin aja sendiri, Meng. Udah busuk. Beberapa bagian udah jadi tulang.”
“Gue nggak peduli baunya,” lanjut Jono, suaranya sedikit bergetar untuk pertama kalinya. “Gue langsung peluk aja. Gue nangis di situ.”
“Terus, lagi gue nangis meluk nyokap,” katanya lagi, nadanya berubah dingin. “Dateng itu kucing sialan. Santai banget jalannya, kayak nggak ada apa-apa. Terus dia nyomot kulit deket muka nyokap gue yang udah… ah, anjing lah.”
Jono terdiam, rahangnya mengeras. “Gue nggak inget apa-apa lagi, Meng. Tiba-tiba aja udah ada suara ‘gedebuk’. Itu kucing udah nempel di tembok. Gue bahkan nggak sadar kapan gue berdiri dan ngelemparnya. Semuanya gelap.”
Cimeng diam saja, tidak mampu berkata-kata. Ia hanya bisa menatap sahabatnya, membayangkan kengerian yang baru saja diceritakan. “Parah, Jon,” bisiknya.
Jono mengangguk pelan, lalu kembali mengambil sendoknya dan menghabiskan sisa nasi goreng di piringnya dengan gerakan mekanis. Seolah-olah dengan menghabiskan makanan itu, ia bisa menelan semua amarahnya kembali ke dalam.
Setelah makan, mereka kembali ke mobil. Cimeng menyalakan sebatang rokok. “Jadi, rencana lo sekarang apa?” tanyanya hati-hati.
Jono mengangkat bahu, tatapannya kosong. “Nggak tahu. Mungkin cari kerja lagi. Gue bisa numpang di rumah lo dulu, Meng?”
“Ya jelas bisalah, Jon. Kapan aja. Anggap aja rumah sendiri. Kontrakan gue sepi kok. Nyokap sama Wina kan jualan di pasar, pulangnya maghrib.”
“Makasih, Meng.”
“Santai.”
Mobil Kijang itu kembali bergerak, kali ini menuju Kukusan. Mereka masuk ke sebuah gang sempit dan berhenti di depan rumah petak sederhana.
“Masuk, Jon. Jangan sungkan,” kata Cimeng sambil membuka pintu.
Jono melangkah masuk ke ruang tamu yang kecil. Saat ia meletakkan tasnya yang lusuh di lantai, seekor kucing kampung berwarna oranye dengan santainya keluar dari bawah meja dan menggesekkan tubuhnya ke kaki Jono, seolah menyambut penghuni baru.
Jono berhenti, menatap ke bawah. Ia tidak bergeming.
Cimeng, yang baru saja menutup pintu, melihat pemandangan itu. Sebuah seringai jahil terbit di bibirnya.
“Nah, Jon,” katanya sambil menunjuk kucing itu dengan dagunya. “Ini yang buat lu dipenjara?”
Jono mengangkat kepalanya, menatap Cimeng. Selama sedetik, suasana terasa tegang. Lalu, sudut bibir Jono tertarik ke atas, disusul oleh tawa yang serak dan kering. Tawa yang terdengar seperti kerikil yang digiling.
Melihat reaksi itu, Cimeng ikut tertawa terbahak-bahak. Tawa mereka yang kasar dan tanpa beban mengisi ruangan sempit itu.
“Bangsattt,” kata Jono di sela-sela tawanya, sambil membungkuk untuk mengelus kepala si kucing oranye, yang langsung mendengkur puas.
Menjelang maghrib, ibu Cimeng dan adiknya, Wina, pulang. Mereka menyambut Jono dengan hangat. Wina, adiknya, tampak senang saat Jono bermain-main dengan kucing oranye kesayangannya.
Malam itu, setelah semua orang tidur, Jono tidak bisa memejamkan mata. Ia keluar ke teras belakang, menyalakan sebatang rokok. Tak lama, si kucing oranye datang dan duduk di dekat kakinya, menatapnya dengan mata bulat. Jono menatap balik ke arah kucing itu, ekspresinya datar. Sesaat, ia melirik ke arah pintu, memastikan tidak ada seorang pun yang melihat. Lalu, dengan gerakan cepat yang nyaris tanpa suara, ujung sepatunya menyentuh perut si kucing. Bukan tendangan keras, hanya dorongan kasar yang membuat hewan itu terkejut dan lari terbirit-birit ke dalam kegelapan.
Karya Cikal Gibrani Miwaha