Novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati karya Brian Krishna yang terbit di awal tahun 2025 ini nyatanya cukup populer sepanjang tahun. Boleh jadi hal tersebut dikarenakan premis novel ini yang nampak pada sinopsisnya cukup menjanjikan dan relatable dengan banyak orang dewasa ini. Bagaimana tidak? Pikiran bunuh diri karena kerasnya hidup bukan hanya Ale, si tokoh utama, yang mengalami. Ditambah lagi Ale adalah penderita depresi—salah satu penyakit mental yang sering ditemui di Indonesia (Astutik et al., 2020; Prisie, 2025). Depresi yang diderita Ale sebenarnya bukan tanpa alas an, ia tidak diterima dan didukung oleh keluarganya, memiliki masalah dengan kepercayaan diri dan body image, serta kesepian. Hal-hal tersebut kemungkinan besar adalah sesuatu yang membuat pembaca merasa relate dengan apa yang dihadapi Ale mengingat kebanyakan pembaca novel ini adalah remaja sampai dewasa muda.
Ale adalah satu dari banyaknya laki-laki di Indonesia yang tanggap mencari bantuan ke psikiater. Padahal laki-laki yang depresif dan berpikir untuk bunuh diri biasanya diawali dari rasa malu dan enggan mencari bantuan mental karena dibebani oleh stigma (Oliffe et al., 2016). Meski telah mendapat pertolongan Ale berakhir berencana mengakhiri hidupnya. Mengingat audiens pembacanya, hal tersebut boleh jadi merupakan hal yang relatable. Kesehatan mental di dunia, termasuk di Indonesia belakangan ini menjadi lebih serius. Remaja dan dewasa muda makin rentan terkena penyakit mental, menyakiti diri sendiri, hingga melakukan bunuh diri bahkan ahli kesehatan di dunia mulai memberi peringatan tentang kasus ini (Lay, 2025). Data keluaran Ipsos pada Oktober 2024 menyatakan bahwa kesehatan mental menduduki peringkat pertama sebagai permasalahan yang dihadapi orang-orang di seluruh dunia (Nadler & Dunne, 2024). Indonesia dengan rata-rata 38% di tahun 2023 menyetujui argumen tersebut. Maka tak ayal jika kesehatan mental menjadi perhatian di bidang kesehatan dan memiliki urgensi untuk segera ditindaklanjuti (Ipsos Global Health Service Monitor – 2023, 2023). Ditambah lagi alasan Ale mengidap depresi juga karena body image. Studi menyatakan bahwa orang obesitas memiliki risiko 55% lebih tinggi untuk mengidap depresi karena obesitas mengganggu fungsi otak dan regulasi hormon (Fu et al., 2023).
Novel ini lantas membangkitkan kesadaran dengan memberi “solusi sederhana” untuk menangkis pikiran bunuh diri dengan semangkuk mie ayam. Tentu dibalik gagalnya bunuh diri tidak semata-mata dikarenakan mie ayam, oleh karenanya tulisan ini ada untuk mengungkap apa yang terjadi di benak Ale sampai-sampai ia batal mengakhiri hidupnya. Mungkinkah ada pergulatan batin dalam diri Ale? Benarkah relatabilitas yang membuat novel ini populer karena mengangkat isu kesehatan mental? Semuanya akan ditelaah dengan pendekatan psikologi sastra pada penelitian ini karena sejatinya karya sastra adalah cerminan dunia. Boleh jadi besar kemungkinan apa yang dialami Ale selain dialami oleh orang lain juga menjadi pelajaran bagi mereka bahwa pada akhirnya masih ada banyak hal dalam hidup yang dapat memberi arti. Ale makan mie ayam sebelum (akhirnya tidak jadi) mati.
Pertarungan Id, Ego, dan Superego
Sigmund Freud membagi struktur kepribadian manusia dalam tiga komponen utama, yaitu id, ego, dan superego. Hal ini turut berlaku pada tokoh Ale dalam novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati. Ketiga aspek tersebut berinteraksi secara dinamis dan bertabrakan satu sama lain, sehingga membentuk benturan yang terwujud dalam konflik batin yang kompleks.
- Id: Dorongan Naluriah untuk Mengakhiri Penderitaan
Komponen id dalam diri Ale bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), yakni suatu prinsip dari sebuah tindakan impulsif yang dilakukan semata-mata untuk mencari kepuasan instan. Id dalam bentuk dorongan untuk mengakhiri hidup muncul akibat manifestasi Ale terhadap kebebasan atas konflik hidup yang kompleks. Dalam hal ini, tindakan mengakhiri hidup dipandang sebagai bentuk pemenuhan hasrat id. Pernyataan emosional seperti “Ia merasa satu-satunya cara untuk berhenti sakit adalah berhenti hidup” menggambarkan bahwa pikiran destruktif Ale merupakan hasil dominasi id yang berorientasi pada pemenuhan dorongan emosional semata, tanpa mempertimbangkan realitas eksternal atau nilai moral yang berlaku.
- Ego: Rasionalisasi dan Negosiasi terhadap Impulsivitas Id
Ego berfungsi sebagai pengendali yang bekerja berdasarkan prinsip realitas (reality principle). Dalam diri Ale, ego muncul ketika ia mulai mempertanyakan makna dari kematian dan mempertimbangkan konsekuensi dari tindakannya. Ego menjadi wadah rasionalisasi yang mencoba menengahi desakan impulsif id dengan nilai-nilai moral yang dijaga oleh superego. Proses kerja ego tergambar ketika Ale menunda niatnya untuk bunuh diri dan memutuskan untuk menikmati seporsi mie ayam. Hal ini berarti bahwa ego yang terwujud dalam seporsi mie ayam berperan penting dalam menengahi pikiran sadar dan bawah sadar.
- Superego: Moral dan Kemanusiaan
Superego Ale berfungsi sebagai struktur moral yang menginternalisasi nilai-nilai etika, ajaran sosial, serta rasa tanggung jawab terhadap kehidupan. Hal ini dibuktikan dengan terhapusnya keinginan Ale untuk mengakhiri hidup karena ia merasakan makna dalam hidup. Pada titik ini, superego menekan dorongan id dan memperkuat kontrol ego agar Ale tidak larut dalam keinginan destruktif. Keputusan tersebut menandakan tercapainya keseimbangan psikis, saat ego berhasil mengharmonisasikan dorongan naluriah id dengan kendali moral superego. Superego menuntun Ale menuju penerimaan terhadap realitas hidup sekaligus mendorong munculnya empati dan apresiasi terhadap kehidupan.
Faktor Internal dan Eksternal yang Memperkuat Ketegangan Psikologis Tokoh Utama
Faktor internal dalam suatu karya sastra berisikan konflik batin yang berasal dari dalam diri tokoh, seperti kecemasan, rasa iri, depresi, ketidakpuasan terhadap diri sendiri, hingga dorongan dan pertentangan yang diungkapkan melalui konsep psikologis seperti id, ego, dan superego. Dalam novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati, terdapat beberapa faktor internal yang mempengaruhi perkembangan konflik tokoh Ale dalam rangkaian peristiwa pada cerita. Berawal dari pergulatan batin yang menyebabkan dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Faktor internal yang mendorong keputusannya tersebut diantaranya:
- Kesendirian atau Kesepian
Disebutkan dalam novel bahwa latar belakang tokoh Ale adalah seorang pekerja kantoran yang merantau di ibu kota. Di tengah rutinitas hariannya yang monoton dan melelahkan, dia selalu mengharapkan kehidupan seperti orang lain yang selepas bekerja dapat bercengkrama dengan keluarga atau orang terkasih. Akan tetapi, yang terjadi padanya adalah kenyataan mengenaskan bahwa dirinya tidak memiliki siapapun yang dekat dengannya, bahkan keluarganya di rumah juga tidak pernah menanyakan kabarnya di perantauan.
… Tampaknya hari ini aku akan menghabiskan malam-malam sendiri lagi. Aku mengusap wajahku beberapa kali. Rasanya lelah sekali. Kota yang dulu kupikir bisa menyelamatkanku dari sepinya hidup, ternyata justru menjadi kota yang membuatku benar-benar ingin berhenti menjalani hidup. (Khrisna, 2025: 4)
Disebutkan dalam cerita bahwa kesepian yang dialami tokoh Ale menyebabkan dia mempertanyakan kehidupannya. Dia dijatuhkan oleh kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan awal dari rencana hidupnya untuk pergi merantau. Hari-harinya yang menyedihkan itu berhasil menurunkan gairahnya untuk menjalani hidup.
- Depresi Akut
Depresi yang dimiliki oleh Ale ini berakar pada luka masa kecil yang disebabkan oleh faktor eksternal, seperti teman dan keluarga. Pada novel diceritakan bahwa sejak kecil tokoh Ale sudah menerima perlakuan buruk dari teman-teman dan orang sekitarnya, tetapi hal tersebut justru diwajarkan oleh orang tuanya dan Ale hanya diminta untuk bersabar menerima hal-hal tersebut. dari situlah muncul kemarahan kekecewaan dan kebencian Ale terhadap dirinya sendiri. Perasaan-perasaan itu yang terus menghantuinya hingga Ale dewasa.
… Sebab di rumah itu selain mimpi kepercayaan diri semangat juang dan kasih sayang yang turut dikubur oleh orang tuaku di halaman belakang adalah keinginanku untuk tetap menjalani hidup. (Khrisna, 2025: 13)
Kutipan tersebut dapat menjelaskan bahwa perlakuan yang diberikan oleh orang tuanya ketika Ale masih kecil membuatnya tumbuh menjadi seorang yang tidak percaya diri. Ale menjadi seseorang yang penuh keragu-raguan dalam mengejar impiannya. Selain itu, dia juga merasa tidak pantas untuk siapapun. Hingga pada akhir ketika Ale memutuskan untuk berhenti dari kehidupannya, dia masih sempat beranggapan bahwa kehadirannya adalah masalah dalam kehidupan orang lain.
- Keterpurukan Atas Kegagalan
Masih berkaitan dengan poin sebelumnya, dalam hidupnya, tokoh Ale sangat sering mendapatkan perlakuan buruk dari orang lain. Semua perlakuan buruk itu mengacu pada berbagai kekurangan yang dimilikinya. Hal tersebut menyebabkan tokoh Ale menilai kehidupannya tak seindah kehidupan orang lain dan pandangannya tentang itu justru tumbuh menjadi sugesti yang membentuk keraguan pada dirinya sendiri. Ale terus menerus merasa bahwa dirinya tidak pantas dan tidak akan pernah memiliki kehidupan yang menyenangkan seperti orang lain.
- Keputusasaan dan Kekecewaan
“Am I living? or just passing time?” Dalam cerita disebutkan bahwa tokoh Ale merasa lelah menjalani kehidupannya. Ia merasa tidak memiliki keberhasilan dalam hidupnya. Poin ini masih berkaitan dengan poin-poin sebelumnya. Ketidakpercayaan diri yang terbentuk akibat sistem pengasuhan orang tua akhirnya membuat tokoh Ale juga merasa tidak pantas untuk siapapun dan ragu untuk mencapai sesuatu. Semuanya itu membuat dirinya putus asa.
Akhirnya faktor-faktor tersebut lah yang mendorong keinginan tokoh Ale untuk menuruti id dan merealisasikan egonya. Selain dorongan dari dalam diri tokoh, juga terdapat faktor eksternal yang mempengaruhi pengambilan keputusan tokoh Ale.
Selain dipengaruhi oleh dorongan dari dalam diri, konflik batin yang dialami Ale juga dipertegas oleh faktor-faktor eksternal yang bersumber dari lingkungan sosial, tekanan pekerjaan, serta hubungan antar manusia yang kurang mendukung keseimbangannya secara emosional. Unsur eksternal ini menjadi pemicu utama yang memperdalam penderitaan psikologis Ale karena menimbulkan rasa keterasingan dan ketidakberdayaan dalam menghadapi realitas hidupnya. Dalam novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati, terdapat beberapa faktor eksternal yang turut memperkuat konflik batin tokoh Ale, antara lain sebagai berikut:
- Tekanan Pekerjaan dan Lingkungan Sosial
Ale digambarkan sebagai pekerja kantoran yang hidup di lingkungan kerja yang keras dan kompetitif. Rutinitas yang monoton, tuntutan produktivitas tinggi, serta minimnya dukungan sosial membuatnya merasa terjebak dalam kehidupan yang kering secara emosional. Situasi ini memunculkan stres berkepanjangan yang memperdalam benturan antara keinginan pribadinya untuk memperoleh kebahagiaan (id) dengan kenyataan sosial yang mengekangnya (superego). Hal ini tergambar melalui keluhan Ale terhadap kehidupan kota yang “menelan waktu dan tenaga, tetapi tak pernah memberi ruang untuk bernapas.” (Khrisna, 2025: 7). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tekanan lingkungan telah menekan sisi kemanusiaan Ale dan memperburuk kondisi kejiwaannya.
- Minimnya Dukungan Sosial
Ale tinggal di tengah masyarakat urban yang cenderung individualistis, di mana hubungan antarmanusia hanya sebatas formalitas tanpa kedekatan emosional. Tidak adanya figur pendukung atau teman tempat berbagi membuat Ale semakin terjebak dalam perasaan sepi. Dalam perspektif psikologis, ketiadaan dukungan sosial semacam ini dapat memperbesar risiko depresi serta memperkuat perasaan tidak berharga. Sejalan dengan pandangan Freud, lemahnya relasi sosial dapat memicu dominasi dorongan-dorongan negatif dalam diri seseorang (Freud dalam Yusuf, 2008: 53).
- Keterasingan Budaya dan Tantangan Hidup di Perantauan
Sebagai seorang perantau, Ale menghadapi benturan nilai antara budaya asal yang hangat dan kehidupan kota yang serba individualis. Ketidaksesuaian ini menimbulkan rasa tidak nyaman dan kehilangan arah, hingga membuatnya meragukan makna hidup yang dijalani. Faktor eksternal ini akhirnya memperkuat penderitaan batin yang sudah lebih dulu tumbuh dari dalam dirinya dan menjadi alasan utama di balik keputusan tragisnya.
Dengan demikian, tekanan eksternal yang dihadapi Ale tidak hanya memperparah konflik batin yang telah ada, tetapi juga memperlihatkan keterkaitan antara tekanan sosial dan ketegangan psikologis individu. Perpaduan antara kesepian batin dan himpitan lingkungan inilah yang membentuk kompleksitas konflik kejiwaan tokoh utama dalam novel “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati.”
Penyelesaian Konflik Batin Tokoh Ale Berkontribusi pada Perkembangan Karakter dan Makna Cerita Secara Keseluruhan
Penyelesaian konflik batin tokoh Ale terjadi melalui rangkaian peristiwa tak terduga yang mengubah cara pandangnya terhadap hidup. Awalnya, ia ingin mengakhiri hidup setelah menikmati seporsi mie ayam kesukaannya, tetapi rencana itu terganggu oleh kenyataan bahwa penjual mie ayamnya telah meninggal. Penyelesaian konflik batin ini memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan karakter dan makna cerita. Tokoh Ale berkembang dari sosok rapuh dan terpinggirkan menjadi pribadi yang berani menghadapi hidup. Kesadaran baru ini mengajarkan bahwa penerimaan dan penghargaan diri tidak selalu datang dari luar, tetapi juga dari dalam diri sendiri dan dari orang-orang yang tulus. Penyelesaian konflik batin tokoh Ale dapat dilihat melalui kutipan berikut.
Tiga puluh tujuh tahun aku hidup, ini kali pertama aku merasakan sebuah perasaan yang tak bisa aku jelaskan bagaimana besarnya kebanggaan itu di hatiku. Perasaan itu justru hadir dari orang terburuk yang pernah aku kenal Namun hangatnya jauh lebih terasa dibandingkan perasaan hormat yang diberikan oleh orangtua yang melahirkanku. (Khrisna, 2025:82)
Kutipan di atas menunjukkan tokoh Ale mengalami pergolakan batin ketika merasa dihargai untuk pertama kali melalui tokoh Murad, sosok yang dianggap kriminal. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan dan penerimaan sosial sangat berpengaruh pada pemulihan harga diri tokoh Ale. Konflik batin yang selama ini berakar dari penolakan dan perundungan mulai berubah menjadi kepercayaan diri. Hal ini memperkuat karakter tokoh Ale sebagai sosok yang belajar menemukan arti penghargaan. Makna cerita berkembang pada gagasan bahwa penghargaan dan kasih tidak selalu datang dari tempat yang dianggap benar oleh masyarakat.
Ternyata selama ini banyak yang melihatku. Aku pikir aku sendirian. Tapi ternyata tidak. Aku saja yang tak mampu melihat mereka. (Khrisna, 2025:127)
Kutipan di atas menunjukkan tokoh Ale menyadari bahwa kesepian yang dialaminya bukan karena benar-benar ditinggalkan, melainkan karena ia memilih menutup diri. Ini menjadi titik balik dalam penyelesaian konflik batin tokoh Ale. Dari yang awalnya memiliki perasaan tak diinginkan, kini berubah menjadi seseorang yang merasa dilihat dan diakui. Karakter tokoh Ale berkembang dari tertutup menjadi terbuka dengan orang lain. Makna cerita menegaskan pentingnya membuka diri sebagai jalan keluar dari kesepian.
Di setiap langkah kaki yang kuambil di jalanan setapak sebelah rel kereta ini, aku merasakan sesuatu yang hangat di dalam diriku. Sebuah rasa hangat yang tak bisa aku deskripsikan. Seperti ada sebagian kecil dari trauma masa kecilku yang perlahan sembuh. (Khrisna, 2025:150)
Kutipan di atas menandai tahap penyelesaian konflik batin tokoh Ale. Rasa hangat adalah simbol penerimaan diri dan berdamai dengan masa lalu. Trauma masa kecil yang selama ini menjadi sumber luka batin tokoh Ale mulai perlahan terurai melalui pertemuannya dengan tokoh Bu Marni. Hal ini menunjukkan perkembangan karakter tokoh Ale yang tidak lagi hanya berani menghadapi dunia luar, tetapi juga berdamai dengan dirinya sendiri. Makna cerita diperdalam dengan gagasan bahwa penyelesaian luka batin itu bertahap dan terkadang melalui bantuan orang lain.
Pertemuan dengan Pak Uju ini memberikan jawaban yang selama ini aku cari. Rupanya pertanyaan-pertanyaanku selama ini dijawab bukan dari nasihat, bukan dari khotbah-khotbah agama, melainkan dari pengalaman orang-orang kecil yang justru berdampak besar bagi hidupku. (Khrisna, 2025:170)
Kutipan di atas menunjukkan tokoh Ale menemukan makna hidup melalui pengalaman hidup orang kecil yang ia temui secara kebetulan, yaitu Pak Uju. Melalui pertemuan itu, tokoh Ale mampu melihat nilai dari kehidupan sehari-hari dari berbagai sudut pandang. Kemudian, karakter tokoh Ale juga berkembang menjadi sosok yang reflektif dan lebih bijak. Makna cerita menggarisbawahi bahwa jawaban hidup sering kali datang dari tempat yang sederhana.
Aku tidak tahu sudah berapa kali aku memutuskan untuk mati dan mencoba bunuh diri selama 37 tahun aku hidup. Namun sekarang, aku telah memutuskan untuk tidak membiarkan kematian menghampiriku lebih dulu (Khrisna, 2025:208)
Kutipan di atas menunjukkan puncak penyelesaian konflik batin tokoh Ale. Ia bukan hanya berhenti ingin mati, tapi juga memilih untuk hidup. Hal ini menunjukkan perubahan besar karakter tokoh Ale dari korban perundungan dan kesepian menjadi individu yang mampu memaknai hidupnya sendiri. Penyelesaian konflik ini memberi kontribusi besar terhadap makna cerita secara keseluruhan bahwa hidup, seberat apa pun, tetap layak diperjuangkan.
Referensi:
Astutik, E., Hidajah, A. C., Tama, T. D., Efendi, F., & Li, C.-Y. (2020). Prevalence and determinants of depressive symptoms among adults in Indonesia: A cross-sectional population-based national survey. Nursing Forum, 56(1), 37–44. https://doi.org/10.1111/nuf.12508
Fu, X., Wang, Y., Zhao, F., Cui, R., Xie, W., Liu, Q., & Yang, W. (2023). Shared biological mechanisms of depression and obesity: Focus on adipokines and lipokines. Aging. https://doi.org/10.18632/aging.204847
Ipsos Global Health Service Monitor—2023 (p. 45). (2023). Ipsos. https://www.ipsos.com/en-id/global-health-service-monitor-2023
Lay, K. (2025, December 10). High youth death rates are an ‘emerging crisis’, global health study warns. The Guardian. https://www.theguardian.com/global-development/2025/oct/12/global-burden-disease-study-high-youth-death-rates-drugs-alcohol-suicide-emerging-crisis
Nadler, J., & Dunne, M. (2024). Ipsos World Mental Health Day 2024 Global Charts (p. 24) [Charts]. Ipsos. https://www.ipsos.com/en-id/ipsos-world-mental-health-day-report-2024
Oliffe, J. L., Ogrodniczuk, J. S., Gordon, S. J., Creighton, G., Kelly, M. T., Black, N., & Mackenzie, C. (2016). Stigma in Male Depression and Suicide: A Canadian Sex Comparison Study. Community Mental Health Journal, 52(3), 302–310. https://doi.org/10.1007/s10597-015-9986-x
Prisie, M. Y. (2025). Jakarta ranks highest in depression, anxiety risk, free checkup shows. ANTARA. https://en.antaranews.com/amp/news/379209/jakarta-ranks-highest-in-depression-anxiety-risk-free-checkup-shows
Yusuf, Syamsu. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Leave a Reply