Antara idealisme dan realitas, memetakan makna sosial dari cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis

Forum Diskusi Sastra (Fordisa) kembali digelar oleh divisi Humas Biro Kurasi. Fordisa kali ini diselenggarakan di Crop Circle FIB pada Jumat, 29 Agustus 2025 pukul 18.30. Diskusi ini dipimpin oleh Rindu Agung Pangestu, mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2021 sebagai pembicara. Rindu membedah cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis dengan pokok pembahasan sosiologi sastra.

Kegiatan Fordisa diawali Rindu dengan menceritakan secara sinopsis cerpen “Robohnya Surau Kami”. Setelah pembacaan sinopsis selesai, masuk ke sesi diskusi. Rindu menyoroti tiga hal dalam pembahasan ini yaitu Surau, kakek tua dan orang-orang terdahulu. Surau yang awalnya menjadi tempat ibadah, seiring perkembangan zaman juga menjadi tempat menimba ilmu dan berinteraksi dengan masyarakat. Dilihat dari kaca mata sosial, surau bisa menjadi simbol yang memiliki makna bahwa kita tidak hanya menghadirkan Tuhan di dalam hati, namun kita juga menyadari bahwa kita menjadi makhluk sosial. Tuhan menghadirkan orang-orang di sekitar kita supaya kita mengenal dan hidup bermasyarakat. Menurut Rindu, hadirnya orang-orang di sekitar kita adalah cara Tuhan untuk berinteraksi dengan kita, cara Tuhan untuk mencoba menjawab doa-doa yang selama ini kita langitkan.

Rindu menyoroti tokoh kakek tua, dalam cerpen tokoh tersebut menjadi perwakilan kelompok masyarakat yang menekankan ibadah ritual. Rindu menyoroti nilai kritik bahwa ibadah tidak sebatas ritual, ketika kita berinteraksi dengan sesama manusia itu juga termasuk ibadah. Terakhir, Rindu menyoroti tentang kisah orang-orang terdahulu yang digambarkan rajin beribadah, namun Tuhan murka dan dimasukkan ke dalam neraka.

Cerpen ini menggambarkan adanya dekonstruksi atau pembalikan struktur yang dianggap hierarkis. “pembalikan dalam cerpen ini adalah ketika kita melakukan hal baik, impactnya adalah baik, tapi ternyata tidak juga, karena ternyata pembenaran Tuhan bersifat absolut.” Tutur Rindu. Pada akhir cerpen, tokoh kakek tua digambarkan bunuh diri dan akhirnya surau menjadi terbengkalai. Bunuh diri  menjadi simbol jika manusia kehilangan pandangan hidup. Rindu menggarisbawahi jika ibadah tidak hanya sebatas ritual, namun berinteraksi dengan sesame manusia juga dapat disebut sebagai ibadah. Menurut Rindu, hal tersebut merepresentasikan ketidakseimbangan antara idealisme dan realisme.

Sesi selanjutnya adalah FGD. Peserta dibagi menjadi dua tim yang akan mendiskusikan aspek-aspek sosiologi lainnya yang ada dalam karya sastra yang telah dibahas oleh pembicara. Sesi diskusi berjalan dengan partisipan yang aktif dalam menyampaikan pendapatnya. Agung, selaku peserta Fordisa kali ini berpendapat “FGD asik, di forum tersebut kami banyak bertukar pikiran mengenai karya. Kami juga mendapatkan banyak hal baru dari diskusi ini”. Dari hasil yang sudah didiskusikan, masing-masing tim akan memaparkan hasil diskusinya. Setiap orang bebas berpendapat, hal ini menumbuhkan ruang diskusi yang lebih luas lagi.

Fordisa kali ini tidak lepas dari tantangan. Rara, selaku ketua pelaksana Fordisa kali ini berpendapat “Alhamdulillahnya bisa dibilang lancar ya meskipun memang ada beberapa tantangannya tersendiri. mungkin emang buat fordisa ketiga ini ada beberapa kurang persiapan, banyak peserta yang berhalangan haddir karena masih sibuk di UKM atau magang dan yang lainnya.”

Meskipun begitu, acara ini berhasil membuat kesan bagi para pesertanya. Naisya, sebagai salah satu peserta berpendapat “Jujur, ini udah fordisa yang ketiga kalinya aku ikutin tuh sangat insightful banget walaupun tempatnya kita sederhana, simpel, tapi hidup sangatlah bermakna banget karena kita juga membahas terkait sastra Indonesia juga, hal hal yang kita dekat juga dengan lingkungan sekitar juga. Pesanku, semoga bisa selalu ke depannya itu semakin menambah masukan apa menarik orang orang atau menarik massa untuk ikutan tertarik untuk ikut diskusi yang sangat bermanfaat.”

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *