Aku menulis ini sebagai anak perempuan—
Yang diajar menata piring sebelum sempat menyusun mimpi.
Yang hadir ke dunia dalam tubuh tuntutan bahwa harus cekatan mendongeng sebelum bisa berkata.
Yang tumbuh di antara dinginnya pistol dan ego, diajar tunduk, sebelum sempat memilih arah berdiri.
Yang tangannya dipenuhi tugas sebelum jemarinya mengenal dunia.
Di antara sela jemari tangannya yang sembari menggenggam
satu tanya tak kunjung reda;
Bagaimanakah seharusnya menjadi anak perempuan?
Aku menulis ini sebagai istri—
Yang akhirnya tahu bagaimana dingin dikasihi tanpa perlu tuntutan berembun. Bukan karena patuh, tapi karena dirinya utuh.
Yang pelukannya tak lagi bentuk anggara pengorbanan, melainkan ruang pulang yang setia.
Yang tidak lagi perlu menebak apakah dirinya masih layak?
Sebab, ada pelukan yang siap mendekap luka-lukanya tanpa ingin merakit ulang bentuknya.
Aku menulis ini sebagai seorang ibu—
Yang kini selalu dibelai oleh suara-suara kecil yang menjadikannya pusat semesta.
Yang kini berusaha diucap dengan pengulangan suku kata “ma”
Yang tubuhnya menjadi bilik berlindung,
Meski sendirinya kadang tak sempat berlindung dari tombakan lelah.
Dan, yang selalu siaga menyisipkan doa pada lipatan baju.
Aku menulis ini untuk aku, si perempuan itu—
Sebagai kesaksian.
Yang menetap bukan sebab tak tahu jalan keluar,
Melainkan ingin menjadi tanah yang tak lagi mengingkari akarnya,
Dengan perempuan yang utuh di tubuhnya sendiri.
Karya Revalina Suci
Leave a Reply