Anindhita; Yang Diminta Untuk Berpuisi

Adalah Aninditha, yang harinya dipenuhi retorika demi membiaskan sempurna. Diucapkannya selalu kata-kata baik dan penuh cinta kepada sesama demi mendapat refleksi sepadan dari yang diberikannya. Dhita selalu belajar bahwa apa yang dia dapatkan adalah semata-mata karena apa yang telah dia lakukan. Maka ketika dia ingin dicintai, haruslah dia menabur cinta terlebih dahulu.

Orang-orang selalu menilainya sebagai yang paling. Paling memperhatikan hal-hal kecil karena dia ingin juga diperhatikan. Paling berhati-hati dalam berucap karena maunya orang-orang mengerti hatinya semudah itu terluka karena cuitan kecil tanpa makna. Paling ingin diperhatikan karena itu yang tidak pernah didapatkannya selama ini. Dhita juga berpura-pura pandai berpuisi sebab ingin seseorang mengiriminya kata-kata bersumbat cinta pula. Tapi punya kuasa apa dia atas takdirnya, ingin-ingin itu hanya selamanya menjadi keinginan.

Dhita terbiasa dipandang sebagai seorang yang pandai berpuisi hanya karena sesekali berkicau ketika hatinya gundah dan tak punya tempat berserah. Keinginannya untuk diperhatikan yang tidak terwujudkan menjadikannya semakin menutup diri hingga terbiasa untuk selalu menyimpan semuanya sendiri. Dhita sungguh sudah biasa akan hal itu, tapi dia hanya terbiasa, tidak benar-benar bisa.

Dhita hanya terbiasa untuk memasang tampang baik meski hatinya terasa pelik, terbiasa tersenyum di atas kepedihannya yang selalu ranum.  Sungguh hanya terbiasa, bukan benar-benar bisa. Termasuk dalam memainkan kata-kata dalam rangkaian bait bermetafora, dia hanya mencoba terbiasa, tetapi tak pernah benar-benar bisa untuk meluapkan apa yang dirasa lewat aksara. Tapi begitu kejamnya dunia, hanya karena seseorang mencoba terbiasa, lalu dianggapnya dia mampu melakukannya tanpa luka.

Sudah dua jam lebih Dhita berdiam sambil mengorek makna, dipaksanya otaknya untuk bekerja demi sebaris kata. Namun, lagi-lagi selama ini dia hanya terbiasa, bukannya bisa. Tidak kurang dan lebih dari satu baris aksara yang telah berhasil dipilihnya untuk mewakil rasa, selebihnya hanya ada kosong yang dia punya. Tidak peduli sudah sebanyak apa dia membangun rasa, meminum ribuan puisi racikan sastrawan kecintaannya, Dhita masih saja merasa belum bisa. Sedangkan kurang dari dua puluh empat jam lagi, lomba menulis puisi yang ingin diikutinya akan segera menutup pendaftaran.

Semakin dipaksa untuk berpikir, semakin jauh saja rasanya dari kumpulan kata yang pernah dipelajarinya. Barangkali karena sebuah puisi harusnya datang dari hati, tetapi sayangnya Dhita sudah–lagi-lagi–terbiasa tidak mengikutkan hatinya dalam berbagai perkara. Sebab yang sudah-sudah, memakai hati justru semakin melukai.

“Sastrawan itu gak galau sama dirinya sendiri.” Secangkir chamomile tea mendarat tepat di hadapannya.

“Maksudnya, Pak?” Orang yang dipanggil Pak itu mengambil posisi tepat di hadapan Dhita. Sambil mengangsurkan beberapa buku sastra lama kepada pelanggan sekaligus anak didiknya.

“Nih, coba deh perhatiin. Sastrawan lama itu kebanyakan berangkat dari permasalahan sosial yang ada di sekitarnya. Literally tidak membahas masalah pribadi,” jelasnya dijeda, membiarkan gadis itu untuk semakin berpikir. “Tau, karena apa?” Jeda lagi setelahnya.

“Karena dia sudah selesai sama dirinya sendiri,” tukasnya begitu tidak mendapatkan jawaban dari Dhita. Sehabisnya lelaki berkacamata itu kembali meninggalkan anak didiknya untuk kembali berpikir. Yang ditinggalkan benar-benar dibuat berpikir setelahnya.

Barangkali Dhita memang belum pernah selesai dengan dirinya sendiri. Hatinya yang kerap merasa sepi mencoba berlari pada kumpulan diksi demi menemukan pengakuan atas eksistensinya. Barangkali memang yang selama ini dilakukannya memang hanya membiaskan apa yang ia ingin orang-orang lihat dari dirinya, sesosok kosong yang ingin diperhatikan–barangkali. Tetapi, bukankah memang fungsinya karya sastra sebagai alter-ego penulisnya? Sekurang-kurangnya mampu menjadi katarsis bagi yang menulis dan yang membaca?

Tapi toh puisi sudah tidak lagi terikat aturan kaku, Joko Pinurbo saja boleh menulis puisi dalam satu baris. Maka barangkali, satu baris yang telah ditulisnya itu sudah cukup untuk disebut puisi.

Kepada luka, akulah pecandunya

– Anindhita

Karya Dya Nisa Kamila

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *