
Di tengah perayaan yang khidmat, sebuah panggung teater membawakan cerita dari tiga sekawan dengan latar belakang profesi yang berbeda. Naskahnya yang apik membawa penonton ke dalam dinamika hubungan dan berbagai benturan kepentingan. Ini adalah inti dari naskah drama Tiga Gundah Utara, yang dipentaskan pada 28 April 2025 lalu di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (FIB Undip) sebagai bagian dari perayaan Hari Puisi dan Seabad Pram.
Lebih dari sekadar hiburan, pertunjukan ini lahir menjadi suara dari kegelisahan akan realitas sosial yang tak kunjung usai. Melalui karakter seorang polisi, jurnalis, dan pedagang sayuran, Tiga Gundah Utara membuka ruang diskusi tentang ketidakadilan, ketimpangan, dan bahkan sisa-sisa feodalisme yang sayangnya masih sangat mewarnai kehidupan kita. Pementasan ini menjadi penting karena ia menghubungkan warisan pemikiran Pram dengan isu-isu kontemporer yang mendesak untuk direfleksikan.
Jika menilik profesi dari ketiga tokoh utama tersebut, terdapat perbedaan motivasi yang disajikan dengan lihai dalam mewujudkan perseteruan di antara mereka. Sebagai seorang polisi, Didik selalu siap dengan mentalitas “Siap, Ndan!” yang menggambarkan kepatuhan mutlak terhadap atasannya hingga membuatnya mudah menawarkan suap kepada Surya demi mengamankan sebuah informasi. Di sisi lain, Surya yang berpegang pada idealismenya sebagai seorang jurnalis tidak bisa menafikan keinginan untuk menemukan ayahnya yang ‘hilang’ serta kemiskinan yang melilitnya. Lebih tragis lagi karakter Kiwil yang harus menafkahi kedelapan adiknya. Desakan ekonomi membuatnya mengambil jalan pintas, tanpa peduli benar atau salah, demi perut-perut yang tidak kelaparan.
Konflik yang masih sangat relevan dengan fenomena masa kini disorot dalam hubungan Didik dan Surya. Artikel dengan potensi besar dalam menyingkap praktik ketidakadilan yang ditulis Surya tentu saja menjadi ancaman bagi pihak-pihak tertentu, termasuk kemungkinan oknum dalam institusi kepolisian. Upaya suap yang dilakukan Didik tidak hanya menggambarkan adanya penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga upaya-upaya pembungkaman yang kerap dialami jurnalis di lapangan. Tentu suap bukan satu-satunya tantangan yang dihadapi jurnalis. Ada banyak jenis tantangan lainnya, mulai dari sabotase alat kerja, teror, bahkan kadang sebuah berita harus dibayar dengan nyawa, persis yang dialami Surya dalam drama ini. Tiga Gundah Utara berhasil dengan cermat mengangkat isu kebebasan jurnalis yang kian hari kian tipis dan terkikis.
Tidak berhenti pada perjuangan jurnalis dengan segala dilemanya menjaga integritas media, drama ini juga mengupas perjuangan kaum marginal dalam mendapatkan hidup yang layak. Sosok Handoko yang menggunakan rakyat kecil sebagai pion untuk menjalankan bisnis ilegalnya adalah representasi dari ketimpangan kekuasaan yang sesungguhnya. Sosok Kiwil yang ternyata merupakan kaki tangan Handoko dalam pendistribusian narkoba dan delapan adiknya merupakan potret buram kelompok-kelompok yang dilupakan negara. Mereka berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan kerap kali mengambil jalan-jalan yang tidak seharusnya. Ini tentu merupakan teguran bagi pemerintah untuk bisa lebih sigap dalam mengatasi masalah sosial yang mendasar. Adanya perbedaan kontras antara kemudahan hidup Didik dan kemelaratan ekstrem yang dialami tokoh Surya dan Kiwil menegaskan jurang ketimpangan sosial yang begitu dalam. Kemiskinan tidak boleh dipelihara. Pemerintah tidak boleh melestarikan kelompok rentan tanpa perlindungan dan keberpihakan yang nyata.
Isu-isu mengenai ketidakadilan sosial, ketimpangan, dan feodalisme yang diangkat Tiga Gundah Utara terasa sangat selaras dengan semangat dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Pada seratus tahun kelahirannya, gagasan-gagasan Pram mengenai penindasan, perjuangan kelas, dan pentingnya kemanusiaan masih terus mendampingi kita. Karya-karyanya di masa lalu menjadi bukti bisu dalam menyulut semangat melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan. Pembungkaman dan pembredelan yang dialami Pram sepanjang hidupnya juga semakin mempertegas perjuangannya dalam membela kebebasan berpikir dan berekspresi.
Pementasan Tiga Gundah Utara menggemakan kritik-kritik terhadap sistem sosial yang menindas rakyat kecil. Eksploitasi kaum miskin oleh Handoko, perjuangan hidup Kiwil yang berat, tekanan patuh yang dialami Didik dengan status polisinya, sampai perlawanan terhadap sensor dan represi intelektual yang dialami Surya merupakan kasus-kasus yang seolah tak pernah habis dimakan waktu. Menampilkan naskah ini dalam perayaan Seabad Pram bukan hanya sebagai bentuk penghormatan kepada sosok sastrawan besar, tetapi juga sebagai pengingat bahwa perjuangan Pram belum selesai. Melalui teater, keresahan kolektif dikemas menjadi ajakan merenungkan realitas sosial hari ini, sekaligus menggugah semangat perubahan. Dari panggung itulah, suara-suara yang lama terpinggirkan kembali bersuara, mengingatkan kita bahwa keadilan bukan sekadar cita-cita, melainkan perjuangan yang harus terus kita nyalakan bersama.
penulis: Nadhira Mazaya A. dan Allegra Dyah Rinjani P.
Leave a Reply