
Senin malam, 28 April 2025, bait-bait puisi menggema di Gedung Serba Guna (GSG), Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Diponegoro (UNDIP), dalam sebuah acara kolaborasi antara Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI), Teater Emper Kampus (EMKA), dan Wadah Musik Sastra (WMS) bertajuk “Peringatan 1 Abad Pram x Hari Puisi”.
Acara ini digelar untuk memperingati Hari Puisi Nasional sekaligus merayakan 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer. Momen ini menjadi ajang refleksi atas peran seni dan sastra dalam lintasan sejarah dan relevansinya di masa kini, dengan melibatkan mahasiswa
dan masyarakat umum secara langsung.
Acara dibuka dengan penyerahan hadiah Lomba Puisi Parlansa, kompetisi puisi antar mahasiswa yang telah diadakan sejak Maret 2025 oleh Departemen Mikatbud KMSI.
Kompetisi ini menghasilkan tiga pemenang utama: M. Irham Maolana (Universitas Diponegoro) dengan puisi “Kami yang Sukar Mengeja Bahasa-Bahasa Janabijana” kembali menegaskan dominasinya sebagai juara berulang. Disusul Hasna Fata Hamidah (Universitas
Sebelas Maret) yang dengan puisi “Biarkan Kami Meniti di Kertas Soak”. Posisi ketiga diraih oleh Naishela Putri Larasati (SMA Muhammadiyah 1 Klaten) lewat puisi “Merajut Perih dalam Kamar Gelap”.
Penampilan monolog oleh Intan Adelia Putri menyoroti pergulatan batin perempuan dalam menghadapi tekanan sosial, diikuti pembacaan puisi oleh Rifani Aulia Putri. Pertunjukan puisi yang berbeda ditampilkan melalui Puisi Rampak “Tujuan Kita Satu, Ibu!” karya Wiji Thukul, dibawakan oleh Atikah Nur Hazimah dan Tathum Kautsarulqolbi. Keduanya berhasil menyampaikan pesan perlawanan terhadap ketidakadilan dengan intensitas yang memukau.
Tidak kalah menggugah, musikalisasi puisi oleh Kurnain Akbar dan Meiyanti Arini menghidupkan karya Chairil Anwar melalui alunan gitar dan vokal yang menyentuh.
Bagian penutup diisi oleh pementasan lakon “Tiga Gundah Utara” oleh Teater EMKA, disutradarai Damar Hisam Dwi Pasha. Drama ini mengkritik praktik korupsi aparat dan kesenjangan ekonomi melalui kisah tiga tokoh; Surya (jurnalis idealis), Kiwil (pengangguran), dan Didik (polisi korup). Dengan setting rumah bedeng dari seng dan
pencahayaan dramatis, pertunjukan ini berhasil menggambarkan resistensi kaum marginal terhadap sistem yang menindas.
Sutradara Damar Hisam Dwi Pasha menegaskan bahwa lakon Gundah Utara diharapkan dapat menjadi cermin realitas sosial. “Kami ingin penonton tidak hanya terhibur, tetapi juga tersadar bahwa masalah struktural masih membelenggu masyarakat kecil,” ucap Damar.
Kolaborasi tiga organisasi ini tidak lepas dari tantangan. Revalina, perwakilan KMSI, mengungkapkan, “Keterbatasan anggaran dan waktu latihan yang singkat memaksa kami bekerja ekstra. Tapi itu semua terbayar dengan acara yang berhasil dan antusias penonton
yang meriah.”
Kamelyta Zuhraloka Aulia (Sastra Inggris) terkesan dengan musikalisasi puisi: “Aku suka banget semuanya jujur. Setiap performance bawa aku ngerasain perasaan yang berbeda tapi
intinya sama. Kalo yang paling memorable itu penampilan Diponegoro punya Chairil Anwar, entah kenapa cara penampil mengekspresikan puisi sambil diiringi alunan gitar bisa ngebuat aku ingin memberontak juga. Tambahan, aku suka banget pembawaan lagunya Efek Rumah Kaca di akhir, pas banget kaya merangkum keseluruhan penampilan”.
Acara ini tidak hanya menjadi panggung seni, tetapi juga pengingat akan peran sastra dalam merawat kesadaran kritis. Seperti disampaikan Atikah Nur Hazimah sebagai penampil puisi, “Puisi bukan sekadar kata-kata, tapi alat untuk menyuarakan keadilan.”
Kolaborasi ini harus menjadi pemicu, bukan sekadar pemanis. Harapan besar tertumpah agar perayaan seperti ini terus dihidupkan di masa depan, menggerakan semangat perjuangan lewat sastra dan seni. Bersama, kita tak hanya merayakan warisan, tapi menciptakan sejarah
baru.
Penulis: Cikal Gibrani M
Leave a Reply