
Divisi Humas Biro Kurasi baru saja melaksanakan program kerja Forum Diskusi Sastra Indonesia (Fordisa) perdana pada Sabtu, 17 Mei 2025. Fordisa yang dilaksanakan secara hybrid di selasar Gedung Serbaguna (GSG), membahas tentang puisi berjudul “Aku” karya Chairil Anwar, dipimpin oleh Wahyu Kartika Putra, mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2021 sebagai pembicara.
Kegiatan Fordisa diawali dengan pembacaan puisi oleh Kartika. Ia membacakan puisi “Aku” dengan penghayatan yang penuh makna. Kartika mengakui bahwa kegemarannya membaca puisi dimulai sejak ia duduk di bangku kelas 2 SMP.
“Puisi merupakan gerbang utama saat masuk sastra. Dimulai dari SMP kelas 8 saat diperintah oleh guru baca puisi ‘Aku’, dan mulailah mencintai sastra dan menjadi sering membaca puisi,” ujar Kartika.
Kartika mengawali pembahasan sosiologi sastra dalam puisi “Aku” tentang historis pengarangnya, Chairil Anwar yang lahir di Medan dengan orang tua yang memiliki strata sosial tinggi serta pemegang tradisi yang kental. Menurut Kartika, Chairil Anwar ingin hidup lebih bebas. Ia hidup dalam kemiskinan dan tidak menerima bantuan dari orang tuanya karena memilih jalan hidup yang berbeda.
Melihat dari sisi historis sosiologi pengarang, Kartika menginterpretasikan bait-bait puisi tersebut sebagai bentuk kebebasan yang Chairil Anwar dambakan terhadap kekangan keluarga.
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang‘kan merayu
Tidak juga kauTak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Pada bait tersebut, Kartika menginterpretasikan sebagai seseorang yang ingin hidup bebas. Baris “Dari kumpulannya terbuang” diinterpretasikan bahwa ia dikucilkan dari keluarganya.
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Bait di atas diinterpretasikan sebagai penderitaan kemiskinan Chairil Anwar waktu di Batavia.
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Pada bait tersebut diinterpretasikan sebagai kegigihan pengarangnya dalam menjalani hidupnya, serta majas metafora pada baris “Aku mau hidup seribu tahun lagi”, sebagai perandaian kehidupan yang layak.
Kartika juga membahas interpretasi puisi “Aku” dalam tiga zaman, yaitu zaman revolusi sebelum kemerdekaan, setelah kemerdekaan, dan masa kini. Pada revolusi sebelum kemerdekaan, puisi tersebut digunakan sebagai senjata revolusi untuk menyemangati pejuang supaya gigih mempertahankan eksistensi ke negaranya dalam menumpas kolonial. Bait “Kalau sampai waktuku, ‘Ku mau tak seorang’kan merayu, Tidak juga kau” diinterpretasikan sebagai bom waktu atau sebuah rasa di mana bangsa Indonesia tidak mau kalah dengan penjajah. Selanjutnya, bait “Aku ini binatang jalang, Dari kumpulannya terbuang” diinterpretasikan sebagai sebuah pribumi yang dikucilkan kolonial.
Pada masa setelah kemerdekaan sekitar tahun 1966-1998, puisi “Aku” diinterpretasikan sebagai perlawanan kepada penindasan ideologi oleh bangsa Indonesia sendiri. Pada masa kini, puisi “Aku” diinterpretasikan sebagai eksplorasi kedirian dan menunjukkan perlawanan kepada penyakit di zaman sekarang, khususnya mental health yang mengenai seseorang agar pulih dari penyakit itu.
Puisi ini dimaknai sebagai ketidaknyamanan dalam suatu lingkungan entah itu dalam keluarga, negara, maupun diri sendiri. Puisi “Aku” yang sangat melegenda menunjukkan bagaimana Chairil Anwar disebut sebagai pelopor puisi modern. Menurut Kartika, Chairil Anwar dikatakan sebagai pelopor puisi modern karena penggunaan bahasa yang lugas, peletakkan tipografi tidak lengkap, menciptakan nada pada penegasan di akhir.
Menurut Kartika, pembedahan karya sastra seperti ini berarti mencoba untuk memahami fenomena dunia yang diciptakan pengarang sebagai acuan realitas.
Pada acara perdana ini, Kartika membagikan perasaan senangnya diundang sebagai pembicara. Ia mengaku lingkungan diskusi tersebut memberinya perasaan seperti kembali ke rumah. Selain itu, Kartika juga turut menyampaikan harapannya agar Fordisa bisa membuka ruang diskusi yang lebar bagi mahasiswa Sastra Indonesia.
“Saya rasa untuk iklim diskusi yang dilakukan ini bagus sekali, melihat biro sebelumnya kurang efektif. Ini menjadi harapan baru untuk mewadahi ruang diskusi teman-teman Sastra Indonesia,” tuturnya.
Penulis: Arih Azzahrah dan Amalia Vidhyana
Reporter: Arih Azzahrah
Leave a Reply