
Bidang Sosial dan Politik (Sospol) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Budaya (BEM) Universitas Diponegoro (Undip) kembali menggelar acara tahunan Malam Berkabung Sastra (Mabes), Kamis (18/09/25). Acara ini digelar di Gedung Serba Guna (GSG) FIB dengan mengusung tema “Merawat Ingat, Menolak Lupa: Seni, Negara, dan Ingatan yang Luka.”
Acara tersebut diinisiasi oleh Bidang Sospol BEM FIB Undip yang berkolaborasi dengan Wadah Musik Sastra (WMS), Teater Emper Kampus (Emka), dan Kolektif Hysteria. Rangkaian Mabes meliputi pameran seni dan lapak baca, diskusi politik, serta penampilan teater dan band mahasiswa.
Ifal, mahasiswa Sejarah sekaligus Kepala Bidang Sospol BEM FIB, menegaskan bahwa pemilihan seni sebagai medium utama dalam Mabes bukan tanpa alasan. Menurutnya, belakangan ini seni dipandang sebagai sesuatu yang melawan pemerintah
“Kenapa aku mengangkat seni? Karena seni adalah salah satu medium yang menurutku aman untuk berekspresi dan melakukan perlawanan kepada pemerintah,” ujarnya
Pujo Nugroho, pemateri dalam diskusi politik, mengaku terkesan dengan penyelenggaraan Mabes tahun ini.
“Aku kira acaranya ngobrol-ngobrol biasa, ternyata ada presentasinya juga. Terus ada pameran instalasi yang bagus banget. Jadi, banyak sekali medium atau cara kita bisa terlibat dalam perubahan sosial yang lebih baik dengan seni,” ujarnya.
Menurut Pujo, September Hitam memiliki posisi penting dalam sejarah Indonesia. Ia melihat momen ini sebagai bentuk memoralisasi peristiwa pelanggaran HAM yang belum selesai hingga kini. “Semua orang bisa terlibat, sesederhana menggunakan hashtag,” tambahnya.
Keberanian untuk terus bersuara, kata Pujo, bukan lagi pilihan melainkan keharusan. “Kalau nggak berani, ya, gini-gini saja dan mungkin akan lebih parah. Jadi, ini satu-satunya cara yang bisa kita lakukan.”
Apresiasi juga datang dari penonton yang hadir. Panji, mahasiswa Sastra Indonesia, menyebut suasana acara berlangsung seru. Ia menilai penggunaan seni dan musik efektif untuk menghidupkan kembali memori kolektif.
“Kesannya sangat chaos dan begitu sangat seru. Tapi, saya jadi tahu kalau penculikan dan pelanggaran HAM itu sudah terjadi sejak lama,” ungkapnya.
Harapan juga disampaikan oleh Pujo Nugroho. Menurutnya, diskusi-diskusi tentang kekerasan aparat dan ketidakadilan harus terus digelar agar publik tidak lupa dan mendesak pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
“Acara seperti ini jadi ruang yang seharusnya diproduksi terus-menerus, apalagi oleh mahasiswa. Saya berharap intelektualitas teman-teman bisa membangun proses kritis di masyarakat,” pungkasnya.
Reporter: Cikal, Lia, Nadhira, Titin
Penulis: Titin
Publikasi: Zahidan
Dokumentasi: Ervina
Leave a Reply